Kudeta Di Pagaruyung dan Hubungannya dengan Tebo (1514- 1524)
Kudeta Di Pagaruyung (1514-
1524), Peristiwa Tragis Yang Terlupakan
Penyerbuan Dewang Parakrama
Dari pihak dalam negeri,
ketidaksenangan terhadap pemerintahan Maharaja Dewana dan Raja Bagewang,
ditimbulkan oleh Dewang Palokamo Pamowano (Dewang Parakrama Parmawana) atau
Dewang Parakrama. Pangeran ini seorang dari Wangsa Malayupura yang tinggal di
Darmasyraya. Jika di Pagaruyung para Pangeran (Puto-Puto) dan raja-raja dari
Wangsa Melayupura telah menjadi pemeluk agama Islam yang taat sejak Daulat Yang
Dipertuan Maharaja Sakti I, maka Dewang Parakrama masih menganut agama Budha
Mahayana dari Tarikat Tantrayana. Sebagian keterangan tradisi mengatakan bahwa
sebenarnya Pangeran ini tidak memeluk agama alias Pagan. Pangeran ini dari
pihak kakek dan neneknya (dari belahan ayah maupun belahan ibu) sudah berada di
kawasan sekitar Ulu Tebo. Kakeknya (ayah dari ayahandanya) menjadi Raja Ulu
Tebo yang kemudian diganti ayahandanya. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama
menggantikan.
Dewang Parakrama tidak
pernah bersetia kepada Raja Ranah Sekelawi sebagai atasan yang ditunjuk
Pagaruyung. Sebaliknya raja ini juga tidak menyatakan diri di bawah Raja Tebo
yang merupakan wilayah bawahan Raja Jambi. Raja ini menyatakan dirinya sebagai
raja merdeka, dan berdaulat sendiri. Untuk menunjukkan kemerdekaan dan
kedaulatannya, raja ini memaklumkan dirinya sebagai Maharaja Swarnabhumi yang
sah dengan menduduki Siguntur di Darmasyraya. Hal itu di mungkinkan karena
sebelumnya dengan diam-diam Raja Pamowano (Dewang Parakarma) mengadakan
perjanjian persaudaraan dengan Portugis, orang Rupik Sipa tokah dari Tanah
Alang Buwana. Portugis berhasil merebut Malaka 1511 M, dan ini dijadikan
sebagai batu loncatan untuk kemudian dengan memperalat kaki tangannya (Raja
Pamowano) menguasai Sumatera, dengan mencoba merebut Pagaruyung. Emas
berbungkal diserahkan/dijual raja ini kepada orang Rupik sebagai imbalannya.
Dengan demikian semua
kawasan Darmasyraya (Tiga Laras) dapat ditundukkannya. Dari Darmasyraya, Dewang
Parakrama memasuki kawasan Jambi. Pasukan Jambi memeberikan perlawanan.
Pertempuran dahsyat dengan pasukan Jambi berlangsung dengan hebatnya di Tebo.
Pasukan Jambi kewalahan, kemudian mundur dan kawasan kuala sungai Tembesi yang
direbut oleh Dewang Parakrama. Tetapi kemudian kembali balik menyerang Tebo.
Pasukan Dewang Parakrama dapat di pukul mundur ke hulu sungai Tembesi. Namun
kawasan hulu Tembesi bahkan bebe rapa kawasan di Kerinci dapat direbutnya.
Untuk selanjutnya Dewang Parakrama kembali ke Darmasyraya, dan dari sini sebuah
pasukan besar disiapkan. Dengan pasukan besar ini Dewang Parakrama memasuki
Luak Tanah Datar.
Pada tahun kl. 1514, melalui
sebuah pertempuran besar, Pagaruyung khususnya dan Luhak Tanah Datar umumnya
jatuh ke tangan Dewang Parakrama. Maharaja De wana dan keluarga istana lainnya
cerai berai akibat penyerbuan Dewang Parakrama yang dengan tiba-tiba sudah
sampai saja ke istana. Maharaja Dewana sempat lolos dan menyingkir dengan
dikawal sepasukan bersenjata ke Lipat Kain dan di Kampar Kiri Sedangkan
permaisuri yakni Dewi Ranggowani, bersama Puti Reno Bulian (putri baginda),
sudah diselamatkan terlebih dahulu ke Koto Anau Kubuang Tigo baleh. Untuk
selanjutnya Dewang Parakrama menjadi raja di Pagaruyung dan dike nal dengan
nama Maharajo Palokamo atau Maharaja Parakrama.
Pemerintahan Maharaja
Parakrama (1514- 1524)
Maharaja Parakrama, hanya
menguasai Luak Tanah Datar bagian utara dan ti mur, disamping kawasan
Darmasyraya. Maharaja ini dengan segera membuka hu bungan resmi dengan Portugis
di Melaka. Sebuah delegasi dipimpin oleh tiga orang pemuka kerajaan dikirim ke
Melaka. Ketiganya adalah pemimpin-pemimpin penga nut Sekte Tantrayana agama
Budha Mahayana. Karena Sekte Tantrayana merupakan sekte yang mengandalkan diri
lewat mantra-mantra, karena itu dianggap penganutnya pemeluk kepercayaan
animisme (Pagan) oleh Portugis. Sehingga pihak Portugis mencatat Minangkabau
penduduknya pada saat itu tidak beragama, karena ketiga utusan yang datang ke
Malaka menemui pimpinan Portugis itu penganut keperca yaan yang masih pagan
(animisme). Tambo mengisyaratkan tentang raja ini , bahwa “agama
orang Makah tak disukainya, agama lamapun malas memakai.”
Sebuah berita Portugis
berasal dari penulis Jorge de Brito pada pertengahan abad ke-16 menceritakan:
bahwa utusan yang dipertuan Minangkabau yang berkun jung ke Bandar Malaka masih
“pagan”. Berita itu kiranya dapat dijadikan petunjuk, bahwa
hingga pertengahan abad ke-16 agama Islam belum lagi berkembang di Alam
Minangkabau, sekurang-kurangnya yang dipertuan Minangkabau dan anggota keluarga
terdekatnya belum lagi menganut agama itu. (INI CERITA PORTUGIS).
Dari berita ini banyak
pakar, penulis sejarah kita ikut menerima begitu saja bah wa Minangkabau pada
abad ke 16 belum Islam. Pada hal Islam telah masuk ke Minangkabau dalam
beberapa tahap perkembangannya sejak dari abad ke 7-8 M dengan masuknya
komunitas Arab di Pesisir Barat Sumatera Barat (baca Hamka) kemudian pada abad
ke 12 -13 M (naik dari Indrapura ke Pariangan) dan di awal abad ke 15 M sejak
Yang Dipertuan Raja Nan Sakti I di Bukit Batu Patah murid Syaikh Maghribi, dan
ayah kandung Daulat Yang Dipertuan Puteri Panjang Rambut II (Bundo Kandung-Mande
Rubiah). Sampai kepada puncak kesempurnaan dan meratanya Islam di Minangkabau
di zaman Syaikh Burhanuddin Ulakan Pariaman.
Hal ini juga terlihat dari
sikap dan tindakan Maharaja Parakrama yang bertindak keras terhadap
peniaga-peniaga beragama Islam. Ialah dengan cara melarang dari kalangan
peniaga itu berdagang ke wilayah kerajaan .Yang dibenarkan hanyalah
peniaga-peniaga beragama Budha Mahayana ataupun Hindu. Begitu juga
peniaga-peniaga Minangkabau yang berada di luar negeri tetapi sudah memeluk Islam,
dila rang datang berkunjung ke kampung halaman, apa lagi untuk berniaga.
Sementara itu peniaga-peniaga dari kalangan bangsa Portugis pergi ke
pelabuhan-pelabuhan utama wilayah timur untuk membeli emas dan membawanya ke
Melaka. Penduduk yang beragama Islam ditindas, dan agama Budha Mahayana dari
tarikat Tantrayana disebar luaskan kembali. Pendeta-pendeta utama berada di
sekeliling baginda di Istana Pagaruyung.
Sementara itu kawasan pantai
barat dicoba untuk direbut. Tetapi pada mulanya gagal. Barulah setelah
mengerahkan jumlah pasukan yang cukup besar, beberapa kawasan di sepanjang
pantai barat Minangkabau akhirnya jatuh ke tangan kekuasaan Maharaja Parakrama.
Namun tak lama, kemudian lepas lagi. Berlainan dengan raja-raja sebelumnya,
perniagaan emas dilakukan oleh orang-orang kerajaan dan men jualnya langsung ke
tangan peniaga-peniaga asing yang datang ke pelabuhan pelabuhan dan pasar pasar
pengekspor di wilayah timur. Semua keuntungan dan cukai diserahkan kepada
Maharaja Parakrama untuk kepentingan kerajaan.
Luhak Limapuluh yang
berhubungan rapat dengan kawasan timur, sejauh ini menjadi penghalang dari
perniagaan yang diatur baginda. Maka Maharaja Parakrama mengerahkan tentaranya
ke Luhak Limapuluh. Setelah bertempur mati-matian akhirnya Luhak Limapuluh pun
jatuh ke tangan Pagaruyung. Suatu pertempuran di Mungka terjadi, dan pasukan
Pagaruyung (pasukan Maharaja Parakrama) mencapai kemenangan. Mulai saat itu,
kawasan rantau timur (termasuk Darmasyraya), Luhak Limapuluh dan bagian timur
serta utara Luak Tanah Datar berada dibawah kekuasaan Maharaja Parakrama yang
berkedudukan di Pagaruyung. Sedangkan kawasan Luhak Agam, kawasan Kubuang
Tigobaleh (bagian selatan Luak Tanah Datar) dan wilayah rantau barat tidak
berhasil direbut Pagaruyung (Maharaja Parakrama). Wilayah yang tak dapat
dikuasai itu, tetap mengakui Maharaja Dewana sebagai Maharaja Suwarnabhumi –
Minangkabau yang waktu itu mengungsi ke Koto Anau.
Perang Melawan Maharaja
Parakrama
Untuk beberapa lama, seperti
terjadi penghentian permusuhan Maharaja Parakrama berdaulat di wilayah
kekuasaannya sedangkan Maharaja Dewana diakui untuk wilayah-wilayah yang masih
setia kepadanya. Yang menunjukkan permusuhan di antara kedua belah pihak, ialah
para pemimpin utama kerajaan ada yang pindah ke Luak Agam dan ada yang pindah
ke Kubung Tigabelas. Datuk Nan Baranam di Istana Gudam beserta keluarga
kerajaan dan Datuak Nan Batujuah di Istana Balai Janggo meninggalkan
Pagaruyung. Yang mendampingi Maharaja Parakrama, di istana Balai Gudam
benar-benar orang yang ditunjuk oleh Maharaja Parakrama. Seterusnya tidak
diperkenankan siapapun dari Luak Agam, Rantau Mudik (Rantau Barat) dan Kubung
Tigabelas memasuki wilayah yang dikuasai Maharaja Parakrama. Keadaan seperti
api di dalam sekam.
Suatu gejolak timbul,
dikarenakan pasukan bawahan Maharaja Parakrama me masuki wilayah Kubung
Tigabelas. Ialah pasukan dari Maharaja itu yang ditempatkan di Saningbakar.
Maka para pemuka Kubung Tigabelas melakukan perundingan di Supayang. Kemudian
menghubungi Luak Agam. Akhirnya datanglah pihak Luak Agam. Kesepakatan kedua
belah pihak ialah melakukan pembebasan Pagaruyung. Dengan segera baik di Luak
Agam maupun di Kubung Tiga belas disusun pasukan yang kuat, untuk membebaskan Pagaruyung.
Kedua pasukan dengan segera melaku kan penyerangan ke bagian utara Luak Tanah
Datar.
Pertempuran yang berkobar
tahun kl. 1524 ialah tahun ke-10 (sepuluh) pemerintahan Maharaja Parakrama,
berkecamuk di Tanah Datar. Dalam pertempuran dah syat yang memakan waktu
berhari-hari, akhirnya pasukan Maharaja Parakrama mun dur ke Darmasyraya.
Tetapi pasukan inipun dapat diusir dari kawasan ini dan dikejar ke hilir Batang
Hari. Setelah dihubungi Kerajaan Jambi, pasukan Jambi pun memu diki sungai
sehingga pasukan Maharaja Parakrama terjepit.
Maharaja Parakrama sendiri
menyingkir ke Jambi, tetapi dikejar oleh pasukan Jambi yang dipimpin oleh
Panglima Kilangan Besi. Maharaja Parakrama membawa pasukannya ke Kerinci.
Tetapi di Kerinci, baginda ini tertangkap dan dibawa ke Jambi. Di Jambi,
Maharaja Parakrama diadili sebagai penjahat dan dijatuhi hukuman mati. Maharaja
Parakrama dihukum mati atas titah Raja Jambi Rangkayo Hitam, sekaligus hukuman
mati itu menandai mulainya kedamaian, baik bagi masyarakat Jambi sendiri maupun
bagi masyarakat Kemaharajaan Swarnabhumi Pagaruyung.
Maharaja Dewana Kembali
Bertakhta dan Portugis Menyerbu.
Pada tahun kl. 1525 Maharaja
Dewana kembali bertakhta. Permaisuri dan putra-putra baginda dijemput ke Koto
Anau, dan kembali berdiam di istana Melayu Kampung Dalam di Gudam Pagaruyung.
Namun begitu baginda kembali bertakhta, Portugis mengirim ekpedisi militernya
untuk merebut tambang emas di kawasan wilayah barat. Pasukan Portugis mendarat
di Pasaman, di Pariaman, di Muara Pesisir (Rantau Empat Lurah), di Carocok
Gaduang Intan, Sungai Nyalo, Salido dan di Indrapura. Pertempuran-pertempuran
dahsyat terjadi. Portugis mengerahkan bajak laut berbangsa Cina dan India
(Sipahi) untuk membantunya. Beberapa kerajaan kecil seperti Taluak Sinyalai
Tambang Papan, Sungai Nyalo, Taluak Lelo Jati, Palinggam Jati di sepanjang
pantai barat tenggelam karena aksi bumi hangus dan bumi angkat Portugis.
Walaupun beberapa kerajaan kecil itu mulanya berupaya melawan namun sia-sia
belaka.
Pemerintahan Pagaruyung
mengirim pasukan tempur ke pesisir barat dan berhasil menghalau Portugis dari
wilayah Pasaman. Berbarengan dengan itu, pihak Portugis juga satu demi satu
meninggalkan pos-pos mereka di sepanjang pantai barat. Maharaja Dewana berusaha
untuk membangun kembali kemaharajaan Suwarnabhumi. Namun pada waktu itu Aceh
muncul di ujung utara pulau Sumatera. Atau tepatnya di ujung barat laut dari
pulau yang memanjang ke tenggara. Maharaja Dewana tidak memandang kehadiran
Aceh sebagai saingan, apalagi musuh, tetapi diterima sebagai negara sahabat.
Banyak dari kalangan warga Kemaharajaan Swarnabhumi Pagaruyung (orang
Minangkabau) yang pergi ke Aceh dalam rangka memperdalam ilmu agama Islam,
disamping berniaga. Seperti diketahui juga, Aceh pada zaman itu merupakan serambi
Mekah untuk tujuan melanjutkan perjalanan ke tanah suci. Walaupun sebagian ada
yang mengambil jalan darat lewat Malaysia, Birma, India dan seterusnya menuju
Jazirah Arab. Hubungan itu semakin erat dengan diambilnya adinda Sultan Aceh
yang dikenal dengan nama Putri Keumala sebagai permaisuri Maharaja Dewana.
Perkawinan berlangsung dan
pesta besar dilangsungkan di Aceh dan Pagaruyung. Di Aceh, Maharaja Dewana
membagi-bagikan emas kepada para pembesar dan pemuka Aceh, mulai dari tingkat
pusat sampai ke tingkat yang paling bawah sepanjang yang hadir pada pesta
perkawinan. Karena emas yang cukup banyak dibawa dari Pagaruyung habis, maka
Maharaja Dewana meminjam kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh, dengan janji begitu
sampai di Pagaruyung, akan dikirim petugas khusus untuk mengantarkannya. Tetapi
sesampai di Pagaruyung, bagindapun mengadakan pesta perkawinan yang lebih besar
dan setiap pembesar yang hadir ditambah dengan tamu-tamu kerajaan diberi hadiah
emas. Pengeluaran baginda baik ketika di Aceh maupun ketika di Pagaruyung
menimbulkan kebangkrutan kerajaan.
Putri Keumala langsung ke
Pagaruyung setelah pesta pernikahan di Aceh. Sebelum sampai baginda dan sang
putri ke Pagaruyung, terlebih dahulu Dewi Ranggowani sang permaisuri, (istri I)
meninggalkan Pagaruyung dan kembali ke Koto Anau. Juga ikut serta Putri Reno
Bulian, yakni putri baginda dan sang Dewi. Maharaja Dewana menjadi marah,
bahkan mengumumkan bahwa mulai saat kedatangan baginda dari Aceh, Dewi
Ranggowani hanyalah seorang istri biasa bagi baginda. Sedangkan sebagai raja
puteri (permaisuri) digantikan oleh Putri Keumala dengan nama Putri Reno Kumalo
(Putri Ratna Kumala). Baginda juga membuat keputusan-keputusan tanpa bersidang
dulu dengan Besar Empat Balai. Akibatnya, Besar Empat Balai menyatakan non-aktif
dan tidak akan turut campur soal kerajaan. Sejak itu Maharaja Dewana
mengendalikan kerajaan sendirian. Bersamaan dengan itu Kubung Tigabelas kembali
kepada kehadirannya semula untuk tidak tunduk kepada pemerintahan kerajaan.
Tindakan Kubung Tigabelas itu disusul oleh Tanjung Sungayang.
Penyerbuan Aceh
Hutang Maharaja Dewana
kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh ditagih oleh Bendahara yang memegang
kepemimpinan Baitul Mal itu kepada baginda. Tagihan itu melalui surat yang
ditujukan kepada Putri Ratna Kemala. Tagihan pertama setelah baginda setahun
selepas pernikahan. Namun baginda menjanjikan akan membawa kepada sidang Besar
Empat Balai untuk dapat ditanggulangi atau dicarikan jalan keluarnya sehingga
hutang terbayar. Besar Empat Balai tidak satupun memenuhi panggilan bersidang
dari baginda. Tiga bulan berselang hutang itu tidak ditagih lagi.
Namun setelah tiga bulan
itu, datang kembali tagihan untuk kedua kalinya. Maharaja amat gusar, karena
harta benda yang ada di Pagaruyung tidak ada yang berarti untuk pembayarnya.
Namun baginda membalas langsung ke Aceh dengan janji agar pengurus Baitul Mal
bersabar. Dan baginda akan membayar dengan segera, begitu pungutan yang
dilakukan dari pelabuhan-pelabuhan yang ada terlaksana. Baitul Mal kemudian
masih memberi kesempatan kepada baginda dan tiga bulan lagi pun berlalu.
Kali ini Baitul Mal kembali
mengirim surat tagihan yang juga dialamatkan ke pada Putri Kemala. Sang Putri
merasa malu dan mengutarakan langsung kepada baginda. Tetapi Maharaja Dewana
marah, dan menganggap sang putri terlalu membesar-besarkan persoalan.
Pertengkaran mencapai puncaknya, ketika Maharaja mengusir sang putri. Putri
Kemala bersedia berangkat meninggalkan Pagaruyung jika diceraikan langsung oleh
baginda. Karena marahnya, maka bagindapun menceraikan sang permaisuri. Putri
Kemala setelah bermalam di rumah seorang teman sejawat, dengan beberapa
pengiring yakni dayang-dayang yang dibawa dari Aceh, meninggalkan Pagaruyung
dan sampai di Koto Gadang Luak Agam. Di Koto Gadang, sang putri berdiam untuk sementara
dan mengajar para gadis bertenun, menerawang dan menyulam.
Utusan yang dikirim Maharaja
Dewana yang membawa pesan baginda agar sang putri kembali datang berkali-kali,
namun ditolak. Sementara itu sang putri mengirim utusan khusus ke Aceh untuk
menemui Sultan Aceh, mengabarkan nasib yang menimpa dirinya. Sultan Aceh bukan
main marahnya. Pada tahun kl. 1528, tiga tahun setelah pernikahannya diusirnya
sang putri dari Pagaruyung, dengan segera memanggil para mentrinya yang
dipimpin oleh Wazir, atau Perdana Mentri Kesultanan Aceh. Dikirimlah suatu
pasukan khusus untuk menjeput sang putri ke Koto Gadang Agam. Namun ketika
sampai di Koto Gadang, sang putri telah berangkat terlebih dahulu dan sampai di
Natal. Di Natal sang putri diterima oleh Raja Natal. Nantinya dengan restu
Sultan Aceh, sang putri atau Putri Kemala menjadi permaisuri dari Raja Natal.
Seterusnya pasukan Aceh
dikirim ke Bandar Muar (Tiku), dan seorang Khalifah yakni wakil dari Sultan
Aceh ditempatkan di sana . Bandar Muar dirobah nama nya menjadi Bandar
Khalifah. Kemudian tentara Aceh juga ditempatkan di Pariaman, di Padang, di
Bayang, Painan dan Indrapura. Pasukan Aceh dalam waktu cepat menguasai bagian
barat dari Kemaharajaan Suwarnabhumi Pagaruyung. Pada tahun kl. 1539 hampir
seluruh pantai barat Minangkabau dari Bandar Khalifah sampai Indrapura jatuh ke
tangan Aceh. Awal tahun 1539 itu pula Aceh menundukkan kerajaan–kerajan
nagari. Mulai saat itu di wilayah kekuasaan Aceh di pantai barat Minangkabau,
tidak lagi memiliki rumah bergonjong seperti di pedalaman dan kawasan lain,
tetapi menggantinya dengan “rumah berlangkan”
yang disebut rumah gadang “Surambi Aceh”.
Kedudukan Aceh di pesisir
barat disahkan oleh Pagaruyung setelah berlangsung perundingan antara
Kesultanan Aceh dengan Pagaruyung atas inisiatif Raja Bagewang yang mengambil
alih permasalahan dari pihak Pagaruyung. Ditetapkan kawasan pesisir barat
(Rantau Mudik) terkecuali Pasaman, dikuasai oleh Aceh. Untuk itu pihak Aceh
tidak akan mencampuri pemerintahan kerajaan dan nagari yang telah ada. Di
wilayah kekuasaan ini, Aceh memiliki hak monopoli perniagaan, dan setiap hasil
dari pesisir barat yang dikuasai Aceh dikirim ke luar negeri melalui Aceh.
Sebagai imbalannya, Pagaruyung dibebaskan dari segala hutang piutang.
Maharaja Dewana Turun Takhta
Kehilangan wilayah pesisir
barat Minangkabau, dianggap karena “ulah”
Maharaja Dewana yang dikenal dengan gelar Daulat Tuanku Maharaja Sakti seperti
kakek moyangnya. Gelar ini diwarisi dari kakek moyangnya Daulat Yang Dipertuan
Raja Nan Sakti (I) ayah kandung Putri Panjang Rambut II yang kemudian mewarisi
takhta kerajaan sebagai Daulat Yang Dipertuan Putri Raja Alam Minangkabau.
Selepas perundingan dengan
Aceh, para pemuka kerajaan menolak untuk bekerjasama dengan Maharaja Dewana.
Tetapi tidak satupun yang mengingini Maharaja Dewana untuk turun takhta. Namun
Maharaja Dewana tidak mampu untuk mengendalikan kerajaan, karena setiap titah
yang dikeluarkan baginda tak satupun dari masyarakat yang mematuhinya. Setiap
nagari mengurus diri mereka sendiri.
Akhirnya Maharaja Dewana
menyatakan pengunduran dirinya. Maharaja Dewana turun takhta sekitar tahun 1539
M. Baginda setelah turun takhta sebentar menjenguk keluarga ke Koto Anau. Untuk
selanjutnya berangkat meninggalkan segala kemegahan dan keluarga yang ada.
Baginda berangkat ke Pagar Dewang Tanah Kahyangan dan berkhalwat di sana.
Kenapa berkhalwat harus ke
Pagar Dewang … ? Kenapa tidak di Pagaruyung Gunung Marapi saja ….?
Apa hubungan khalwat dengan Pagar Dewang…yang
terletak jauh di ujung Pesisir Barat bagian Selatan yang dikenal juga dengan
wilayah Kerajaan Kesultanan Indrapura ? Apakah seorang raja Pagaruyung ini
sajakah yang pernah pergi berkhalwat ke Pagar Dewang …
? Banyak pertanyaan muncul dari kalangan pemerhati yang menyimak misteri ini.
Baginda digantikan oleh
putra baginda yakni Dewang Sari Megowano dari keturunan Istano Gudam yang naik takhta
dengan gelar Daulat Yang Dipertuan Rajo Maharajo, atau Raja Maharaja. Sri
Baginda Maharaja Dewana dengan Putri Kemala tidak mempunyai keturunan. Dengan
Dewi Ranggowani mempunyai putra putri yakni Dewang Sari Megowano, Puti Reno
Bulian (permaisuri Raja Koto Anau), Puti Reno Kayangan Pagadewi (Permaisuri
Raja Sungai Nyalo di Koto XI Tarusan), dan Puti Reno Mahligai Cimpago Dewi
(permaisuri Raja Sungai Tarab Dewang Patualo Sanggowano Rajowano Datuk
Bandaharo Putiah (VI). Dan secara khusus disebut juga oleh anak kemenakan
beliau sebagai “Datuk Gudam”
(Datuk dari Balai Gudam).
Dari hubungan kekeluargaan
ini jelas pula terkait erat hubungan kerajaan Koto Anau, kerajaan Sungai Nyalo
di Koto XI Tarusan dengan Datuk Bandaro Putih VI yang kemudian menjadi Raja
Alam Minangkabau. Ketiga kerajaan ini menjadi kekuatan utama dalam melumpuhkan
Portugis di Pesisir Barat Sumatera, dan ini tidak terlepas dari kordinasi
kekuatan dan diplomasi intelektual yang dilakukan Raja / Sultan Kerajaan
Kesultanan Indrapura zaman itu. Dibalik hubungan kerajaan, sebenarnya mereka
memiliki hubungan kekerabatan yang amat dekat.
Kenapa sejarah ini
dihilangkan? Lalu muncul di abad 16 Maharaja Alif yang dibesar-besarkan …
? Inilah pertanyaan besar, seakan akan sejarah Minangkabau Pagaruyung hanya
dimulai dari Maharaja Alif dan menganggap pula bahwa Islam baru berkembang di
zaman raja ini … sebelumnya bagaimana …
? Inilah sejarah Minangkabau Pagaruyung yang terputus (sekira 2 abad) sejak
Ananggawarman (putra Adityawarman) abad 14 sampai munculnya Maharaja Alif (abad
16). Ada bagian sejarah “Minangkabau Pagaruyung”
yang sengaja atau tidak sengaja hilang dalam perjalanan kemelut sejarahnya ….
Semoga kita mendapatkan titik palito kembali.
Penulis : Emral Djamal Dt.
Rajo Mudo
Dok. Salimbado Buah Tarok.
2002, Diperbaharui Januari 2012.
Pusat Kajian Tradisi Alam
Minangkabau-Padang