Tampilkan postingan dengan label Gugon Tuhon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gugon Tuhon. Tampilkan semua postingan

MAKNA KULTURAL DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA MENGENAI KEHIDUPAN REMAJA


MAKNA KULTURAL DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA MENGENAI KEHIDUPAN REMAJA
Slamet Setya Budi 1
Abstrak
Judul penelitian ini adalah Makna Kultural Dalam Gugon Tuhon Masyarakat Jawa Mengenai Kehidupan Remaja. Objek kajian dalam penelitian ini adalah Gugon Tuhon pada kehidupan remaja yang berkembang di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo. Data yang dikumpulkan adalah data lisan yang dikumpulkan dari para narasumber. Permasalahan yang diangkat yaitu mengenai 1) Bagaimanakah makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon masyarakat Jawa mengenai kehidupan remaja?.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian menggunakan tekhnik simak libat cakap. Dengan tekhnik ini diusahakan peneliti dapat memperoleh data selengkap-lengkapnya, sebanyak data yang dikehendaki atau diharapkan. Dalam metode ini juga diperlukan teknik pancing, yaitu memancing informan untuk berbicara serta tekhnik catat untuk mencatat setiap Gugon Tuhon, dengan terlebih dahulu dipersiapkan daftar sejumlah pertanyaan sebagai panduan untuk mengarahkan peneliti memperoleh data akurat. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan atau data lisan pada Masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo. Untuk menganalisa data Untuk menganalisis data digunakan metode agih dan metode padan.
Simpulan dari penelitian ini adalah 1) Gugon Tuhon yang memiliki makna sebab akibat yaitu ditandai dengan kata Aja ‘jangan’ yang menunjukan larangan dan mundhak ‘nanti/menyebabkan’ yang menunjukan akibat, 2) Gugon Tuhon mengunakan kata aja ‘jangan’ di depan kalimat memiliki arti larangan, 3) Gugon Tuhon menggunakan kata yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ menunjukan perumpamaan, dan 4) Gugon Tuhon mengunakan frasa Ora ilok ‘tidak pantas’ menandakan tidak sepatutnya dilakukan.
Kata Kunci    : Gugon Tuhon, Makna Kultural, Semantik
 

1 Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo
Abstract
The title of this research is Cultural Meaning In Gugon Tuhon Javanesse People About Teenager’s lifes . Object of this research are Gugon Tuhon to teenager’s lifes that develop in Tirta Kencana Village Rimbo Bujang Subdistrict Tebo Regency. Data collected are oral data that collect from informant. The
problem of this research is How is the cultural meaning in Gugon Tuhon Javanesse People about Teenager’s life?
Method of the research are qualitative descriptive method. This research also used simak libat cakap technique. It technique be able to get complete data. In this method also use pancing technique that is wheedle the informant for speak and and write technique to write gugon tuhon who speak in conversation. Besides that, the researcher also provide some question to direct the researcher to get the accurate data. Source of data this research is verbal data javanesse people in Tirta Kencana Village Rimbo Bujang Subdistrict Tebo Regency. To Analize  data, the researcher used agih and padan method.
Conclusion of this research are 1) Gugon Tuhon cause and effect marked by word Aja ’don’t’ that reference prohibit and mundhak ‘cause’ that reference effect, 2) Gugon Tuhon used word aja ‘ don’t’ as preposition has meaning prohibit, 3) Gugon Tuhon used word yen ‘if’ and mundhak ‘cause’ seem parable, and 4) Gugon Tuhon used phrase Ora ilok ‘Unproper’ seem unproper to do.
Keyword        : Gugon Tuhon, Cultural Meaning
1.         PENDAHULUAN
Transmigrasi di tahun 1970an telah merubah wajah Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo tidak terkecuali untuk Desa Tirta Kencana. Latar belakang dari berbagai macam daerah dan kebudayaan menambah warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat dimana mayoritas penduduk berasal dari daerah Jawa. 37 tahun sudah Desa Tirta Kencana berdiri, ini merupakan usia yang tidak muda lagi. Kebudayaan penduduk yang berasal dari berbagai daerah Jawa memaksa mereka untuk melebur menjadi satu. Pernahkah kita berfikir bagaimanakah kebudayaan jawa di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang.
Walaupun kadang kala adat istiadat berbeda misalkan dalam hal pernikahan, kehidupan remaja, kelahiran anak maupun hukum adat. Namun nasihat – nasihat dari orang tua yang berasal dari Masyarakat Jawa atau yang disebut Gugon Tuhon tentu memiliki kesamaan. Gugon Tuhon merupakan salah satu nasihat – nasihat ataupun larangan dalam kehidupan masyarakat jawa. Menurut Subalindinata (Dikutip dalam Arifah, 2011, hal. 19) menjelaskan bahwa “Gugon Tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran – ajaran tersebut tidak jelas hanya samar –samar yang isinya berupa larangan, tujuan dari larangan tersebut adalah supaya tidak dilanggar”.
Dari pendapat diatas mengungkapkan bahwa Gugon Tuhon adalah sebuah ujaran yang mengandung larangan namun larangan tersebut tidak jelas walaupun tujuanya adalah untuk kebaikan. Seringkali kita mendengar nasihat orang tua terhadap anaknya Aja mangan nang lawan mengko lamarane balik ’Jangan makan di pintu nanti kalau dilamar, lamaranya kembali’. Nasihat tersebut memiliki makna agar tidak makan dipintu jika dikaji menurut makna kultural bahwa jika kita makan di depan pintu maka akan menghalangi orang berjalan.
Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 2012, Dalam Herawati, Hermintoyo, & Amin , Hal. 1). Menurut Marsono (2011, Hal. 36-40) yang menyatakan bahwa bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, “Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah merupakan bahasa yang digunakan untuk alat komunikasi penduduk Jawa yang tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan di beberapa daerah lainnya. Fungsi bahasa daerah yaitu: 1) sebagai lambang kebanggaan daerah, 2) sebagai lambang identitas daerah, dan 3) sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah”.
Namun nasihat – nasihat atau Gugon Tuhon sekarang ini sudah tidak lagi digunakan oleh para remaja, biasanya mereka menganggap ini adalah takhayul. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadi, (Dalam Arifah, 2011, hal 19) “Gugon Tuhon yaitu percaya pada adat dan tahayul”. Karena salah satu ungkapan kenapa remaja menganggap ini takhayul dikarenakan setiap Gugon Tuhon tidak diberikan alasan – alasan yang kuat. Padahal, tanpa disadari Gugon Tuhon memiliki tujuan ataupun maksud yang baik untuk kehidupan kita. Dengan antusias pemerintah dalam melestarikan kebudayaan indonesia dengan membentuk slogan 100% Indonesia ataupun I Love Indonesia maka kita selayaknya pemuda harus mengetahui Kebudayaan indonesia terlebih dahulu.
Untuk meningkatkan pemahaman remaja mengenai tujuan Gugon Tuhon dalam masyarakat jawa maka saya tertarik untuk meneliti mengenai makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon itu sendiri. Sehingga diharapkan remaja mampu memahami tujuan Gugon Tuhon tersebut. Namun dikarenakan Gugon Tuhon ataupun nasihat dalam masyarakat jawa sangat banya yaitu mencakup semua aspek kehidupan maka saya akan membatasi permasalahan tersebut yaitu mengenai 1) makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon masyarakat Jawa mengenai kehidupan remaja Di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
2.         KERANGKA TEORI
2.1.      Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan dengan struktur makna suatu wicara. Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok (Griffiths, 2006, hal. 6). Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Berbagai jenis makna kata dikaji dalam ilmu semantik. Menurut Tarigan (1985, Hal. 7) semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Jadi semantik senantiasa berhubungan dengan makna yang dipakai oleh masyarakat penuturnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semantik adalah ilmu yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut.
2.2.      Pengertian Makna
Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Semantik berkedudukan sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna suatu kata dalam bahasa, sedangkan linguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa lisan dan tulisan yang memiliki ciri-ciri sistematik, rasional, empiris sebagai pemerian struktur dan aturan-aturan bahasa (Verhaar, Dalam Hilman, 2010, Hal. 22). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna suatu kata dalam bahasa dapat diketahui dengan landasan ilmu semantik.
Sastromiharjo (2011, hal. 50) berpendapat bahwa makna adalah maksud pengarang/ penulis terhadap peristiwa yang dituturkan. Poerwadarminta (dalam Pateda, 1988:45) mengatakan makna : arti atau maksud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Pateda, 2001:82) kata makna diartikan : (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Dari batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
2.3.      Makna Kultural
Makna Kultural adalah makna yang berhubungan dengan kebudayaan untuk memaknainya kita harus memahami konteks kebudayaanya (Palmer, dalam Arifah 2011). Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh makna dari setiap Gugon Tuhon kita perlu memahami konteks budayanya.
2.4.      Gugon Tuhon
Gugon Tuhon berasal dari dua kata yaitu ‘Gugon’ dan ‘Tuhon’ berasal dari kata ‘gugu’ yang mendapat akhiran [–an], yang mempunyai arti yang mudah percaya terhadap ucapan ataupun cerita, sedangkan ‘Tuhon’ berasal dari kata ‘tuhu’ yang mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai orang lain (Subalidinata, dalam Arifah, 2011, hal. 19). Gugon Tuhon dalam bahasa jawa biasanya dalam bentuk tuturan yang disampaikan sebagai bentuk nasihat atau larangan.
3.         METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini berdasar pada penggunaan data yang murni dan alamiah yang diperoleh dari lapangan, sehingga diperoleh hasil penelitian yang dapat menjelaskan realita yang sebenarnya (Sudaryanto, Dalam Rohim, 2013. Hal. 50). Metode penelitian menggunakan tekhnik simak libat cakap. Menurut Sudaryanto (Dalam Arifah, 2011, Hal. 37) “ tekhnik simak libat cakap adalah dimana peneliti menyimak pembicaraan calon data dan berpartisipasi dalam dialog.. Dengan kedua metode ini diusahakan peneliti dapat memperoleh data selengkap-lengkapnya, sebanyak data yang dikehendaki atau diharapkan. Dalam metode ini juga diperlukan teknik pancing yaitu memancing informan untuk berbicara serta tekhnik catat untuk mencatat setiap Gugon Tuhon yang diucapkan, dengan terlebih dahulu dipersiapkan daftar sejumlah pertanyaan sebagai panduan untuk mengarahkan peneliti memperoleh data akurat. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan atau data lisan pada Masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
Untuk menganalisis data digunakan metode agih dan metode padan. Metode agih atau distribusional, yaitu metode analisis data yang alat penentunya dari dalam bahasa itu sendiri (Sudaryanto, Dalam Rustam, 2011, Hal. 3). Metode padan, yaitu metode analisis data yang alat penentunya di luar bahasa itu, dalam hal ini situasi pengguna bahasa (Djadjasudarma, Dalam Rustam, 2011, Hal. 3)

4.         HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.      Gugon Tuhon yang memiliki makna sebab akibat yaitu ditandai dengan kata Aja ‘jangan’ yang menunjukan larangan dan mundhak ‘nanti/menyebabkan’ yang menunjukan akibat.

Aja mangan karo turu mundhak bojone gembeng
‘Jangan makan sambil tidur nanti istrinya  pemalas‘
(Suroto, 42 tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna Kultural dalam masyarakat jawa mengenai Gugon Tuhon tersebut adalah larangan mengenai makan sambil tidur karena menandakan bahwa orang tersebut adalah pemalas. Jika seseorang tersebut di cap sebagai pemalas maka para perempuan tidak menyukai orang tersebut. Selaku laki – laki seharusnya tidak boleh malas karena nantinya akan menjadi contoh dalam berumah tangga. Namun dalam kondisi tertentu diperbolehkan makan sambil tidur yaitu ketika sakit.

Aja adus kesoren mundhak keneng putraning njala
‘Jangan mandi sore – sore nanti terkena putraning njala’
(Suroto, 42 tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna Kultural dalam masyarakat Jawa mengenai Gugon Tuhon tersebut adalah larangan mengenai mandi di sore hari sedangkan makna dari putraning njala adalah jauh jodohnya. Alasannya sore hari waktunya orang santai, berpakaian rapi dan berangkat sembahnyang. Jika pada sore hari belum mandi maka baik laki – laki maupun perempuan akan di cap sebagai orang yang tidak bersih ataupun jorok sehingga alasan tersebut yang membuat jauh jodohnya.

Aja mangan brutu mundhak lalinan mengkone
‘Jangan makan pantat ayam nanti menjadi pelupa’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan memakan pantat ayam karena dipercayai hal tersebut akan berakibat buruk pada seorang remaja yaitu menjadi pelupa sehingga akan menjadi pembicaraan orang nantinya, jika dilihat dari segi kesehatan pantat ayam banyak mengandung kolestrol sehingga tidak baik bagi kesehatan.

Aja nganggo klambi kewalik mundhak dadi omong uwong
‘Jangan memakai baju terbalik nanti menjadi omongan orang’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan menggunakan pakaian secara terbalik alasannya yaitu jika menggunakan pakaian terbalik itu di ibaratkan orang gila sehingga dapat menyebabkan menjadi banyak perbincangan bagi orang lain.

Gadis aja metu wengi mundhak elek mburine
‘Gadis jangan keluar malam nanti buruk akhirnya’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)

Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan keluar malam bagi perempuan/gadis karena mengakibatkan hal buruk pada akhirnya. Alasannya yaitu wanita rentan dengan hal – hal negatif jika keluar pada malam hari walaupun tidak melakukan hal negatif namun dapat menjadi bahan pembicaraan orang.

4.2.      Gugon Tuhon mengunakan kata Aja ‘jangan’ di depan memiliki arti larangan

Aja mangan karo kecap
‘Jangan makan sambil berkecap’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon adalah larangan mengenai makan sesuatu sambil berkecap menurut para orang tua makan sambil berkecap menandakan mereka tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan. Menurut Mbah Tarmo (Diwawancarai pada 21 November 2014) Biasanya, orang yang makan sambil berkecap mereka pada umumnya merasakan makanan terlebih dahulu namun jika tidak enak maka mereka tidak melanjutkan makan dan cenderung menghina. Gugon Tuhon ini sering diucapkan oleh orang tua kepada anak – anak maupun remaja dikarenakan agar memahami bahwa masyarakat jawa pada umunya tidak menyukai orang yang makan sambil berkecap.

Aja mlaku nang ngarepe wong tuo karo ngadek
‘Jangan berjalan di depan orang tua sambil berdiri’
            (Mbah Pahing, 63 Tahun, Petani, 23 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan berjalan di depan orang tua sambil berdiri alasanya yaitu karena tidak sopan dan selaku orang yang lebih muda kita harus menghormati yang lebih tua.

Aja mangan panganan nang nduwur piring ditumpuk
‘Jangan makan makanan diatas piring yang ditumpuk’
(Mbah Pahing, 63 Tahun, Petani, 23 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan memakan makanan di atas piring yang ditumpuk. Hal ini diyakini yaitu menyebabkan orang tersebut akan dituduh oleh orang lain dan tidak tahu penyebabnya. Menurut Mbah Pahing (Wawancara pada 23 November 204) mengungkapkan bahwa jika kita memakan makanan diatas piring yang ditumpuk kita akan tertuduh bahwa kita rakus dan tidak enak dipandang oleh orang lain.

Aja mangan karo mlaku
‘Jangan makan sambil berjalan’
                        (Mbah Wage, 55 Tahun, Petani, 25 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan makan sambil berjalan.  Menurut Mbah Wage (Diwawancarai Pada 25 November 2014) bahwa orang yang makan sambil berjalan itu tidak memiliki rasa tenang dan terburu – buru hal ini menyebabkan tersedak bahkan penyakit. Untuk itu ketika makan kita perlu duduk ataupun santai dalam menikmati makanan.

Aja tangi turu nganti kedisitan ayam tangi
‘Jangan bangun tidur sampai didahului ayam bangun’
(Mbah Wage, 55 Tahun, Petani, 25 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut menurut masyarakat jawa yaitu kita harus bangun lebih pagi dikarenakan untuk mempersiapkan pekerjaan nantinya agar tidak terburu – buru, Gugon Tuhon ini juga memiliki makna bahwa jika kita bangun lebih pagi kita dapat melaksanakan sholat. Membiasakan bangun pagi merupakan sebuah rutinitas bagi masyarakat jawa pada umumnya yaitu membiasakan untuk disiplin dan tidak bermalas – malasan. Menurut Mbah Wage (Wawancara pada 25 November 2014) menyebutkan bahwa pada zaman dahulu masyarakat jawa pada umunya bangun lebih awal sebelum ayam berkokok digunakan untuk persiapan berjualan kepasar, memasak, sholat dan bersih – bersih rumah sebelum mereka bekerja.

4.3.      Gugon Tuhon menggunakan kata yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ memiliki makna perumpamaan

Yen nyapu seng resik mundhak bojone jembrang
‘Kalau menyapu harus bersih nanti suaminya brewokan’
                        (Mbah Castro, 80 Tahun, Petani, 27 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita membersihkan halaman maka harus membersihkanya dengan sebaik mungkin karena tidak enak dipandang, jika masih ada kotoran digambarkan seperti halnya wajah yang memiliki banyak rambut tidak enak dipandang.

Yen iseh nom kerjone ojo males mundhak tuone rekoso
‘Kalau masih muda kerja jangan malas nanti tuanya menderita’
(Mbah Castro, 80 Tahun, Petani, 27 November 2014)
Makna kultural Gugon Tuhon tersebut mengajarkan pada kita bahwa kita harus giat dalam bekerja untuk mempersiapkan di hari tua, jika kita malas diwaktu muda maka dihari tua akan menderita. Karena pada masa muda tenaga kita masih kuat dan di masa tua tenaga kita mulai melemah.

Yen karo gadis ojo klayapan mundhak elek mburine
‘Kalau sama gadis jangan pergi kemana – mana nanti buruk akhirnya’
(Sakimin, 46 Tahun, Petani, 28 November 2014)
Makna kultural Gugon Tuhon tersebut mengajarkan kepada kita bahwa jika kita sedang bersama seorang gadis dan kita bawa berpergian kemana – mana maka akan menimbulkan hal buruk misalkan aib dan omongan orang – orang yang tidak baik pada kedua belah pihak. Untuk itu kita harus jaga jarak dan tidak terlewat batas karena akan merugikan diri kita.

4.4.      Gugon Tuhon mengunakan frasa Ora ilok ‘tidak pantas’ menandakan tidak sepatutnya dilakukan.

Ora ilok mbantah omongane wong tuo
‘Tidak pantas membantah omongan orang tua’
(Sakimin, 46 Tahun, Petani, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita dinasihati orang yang lebih tua tidak sepatutnya kita membantah dikarenakan omongan orang tua biasanya berdasarkan pengalaman dan baik untuk kedepannya.

Ora ilok mangan karo ngmong
‘Tidak pantas makan sambil berbicara’
(Suroto, 42 Tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita sedang makan tidak sepantasnya kita sambil berbicara selain kita tidak dapat menikmati makanan ketika makan sambil berbicara juga dapat menimbulkan kita tersedak.

Ora ilok lajang utowo gadis adus karo wudo
‘Tidak pantas bujang atau gadis mandi telanjang’
(Munjari, 46 Tahun, Guru, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika mandi kita harus menggunakan kain untuk menutupi aurat tubuh hal ini berguna untuk mencegah hal yang tidak kita inginkan seperti menimbulkan hasrat/nafsu bagi seseorang yang melihatnya.

Ora ilok urusan dirampungne wayah wengi
‘Tidak pantas segala urusan diselesaikan pada malam hari’
(Munjari, 46 Tahun, Guru, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah kita tidak pantas menyelesaikan segala urusan pada malam hari. Menurut Mbah Castro (Diwawancarai pada 26 November 2014) mengungkapkan bahwa segala urusan sebaiknya diselesaikan pada pagi hingga sore hari dikarenakan pada malam hari adalah waktunya untuk beristirahat dan hari terasa pendek kadang kala tidak menghasilkan keputusan seperti apa yang di inginkan.

5.         PENUTUP
5.1.      Kesimpulan
Gugon Tuhon dalam masyarakat jawa di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi memiliki berbagai bentuk khususnya untuk para Remaja. Sedangkan makna kultural Gugon Tuhon mengenai kehidupan remaja memiliki berbagai macam sesuai dengan kata dan juga frasa yang digunakan misalkan kata aja ’jangan’ dan mundhak ’nanti’ yang memiliki makna sebab akibat , aja ’jangan’ memiliki makna larangan, yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ memiliki makna perumpamaan, Ora ilok ‘tidak pantas’ memiliki makna tidak sepantasnya dilakukan.
5.2.      Saran
            Pada umumnya remaja kurang menyukai dengan nasihat – nasihat atau Gugon Tuhon masyarakat jawa. Jika dicermati dalam Gugon Tuhon memiliki tujuan untuk kebaikan kita dalam mengarungi kehidupan. Gugon Tuhon masyarakat jawa sangatlah banyak misalkan dalam hal Perjodohan, Kepemimpinan, Pernikahan, Anak – Anak, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti Gugon Tuhon lainnya. Sehingga walaupun kita bukan berada di daerah jawa aslinya diharapkan kebudayaan jawa tidak akan hilang.
6.         DAFTAR PUSTAKA
Arifah, Khairunnisa Noor. 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa Pada Wanita       Hamil Dan Ibu Balita Di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga; Suatu Kajian        Etnolinguistik. Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa: Universitas Sebelas Maret
Herawati, Deni, M. Hermintoyo, Mujid Farihul Amin. 2012. Afiks Pembentuk Verba Bahasa         Jawa Dialek Tegal Kajian Deskriptif Struktural. Jurnal Ilmu Budaya, Volume 1,            Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-7. (http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtekim,         diakses pada 15 November 2014)
Hilman, Muhammad. 2010. Analisis Semantik Pada Terjemahan Al – Qur’an (Surat Ad-    Dhuha dan Al - Insyirah) : Studi Komparatif Antara Terjemahan Mahmud Yunus           Dengan T.M. Hasbhy Ash Shiddieqy. Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora:            Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah.

Griffiths, Patrick. 2006. An Introduction to English Pragmatics and Semantics. Edinburgh:            Edinburgh University Press
Marsono. 2011. Morfologi Bahasa Indonesia dan Nusantara (Morfologi Tujuh Bahasa       Anggota Rumpun Austronesia dalam Perbandingan). Yogyakarta: Gadjah Mada         University Press.

Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa.

Rohim, Miftahur. 2013. Analisis Konstrastif Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab    Berdasarkan Kala, Jumlah, dan Persona. Skripsi Fakultas Bahasa Dan Seni:  Universitas Negeri Semarang

Rustam, 2011. Eufemisme Dalam Ungkapan Tradisional Daerah Melayu Jambi. Volume 13,          Nomor 1, Hal. 01-06 ISSN 0852-8349 Januari – Juni 2011

Sastromiharjo, M.Pd, Dr. Andoyo. 2011. Bahasa Dan Sastra Indonesia 1: SMA Kelas X.   Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

Baca selengkapnya