google-site-verification:google0761525834d001de.html Slamet Setya Budi: Rimbo Bujang
Tampilkan postingan dengan label Rimbo Bujang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rimbo Bujang. Tampilkan semua postingan

Pertanyaan Seputar HUT Desa Tirta Kencana ke 40 Tahun 2018

Pertanyaan Perihal HUT Desa Tirta Kencana ke 40

1. Band Perform🎸

Kami dari Panitia Pelaksana hanya menyediakan fasilitas Panggung, Alat Musik, Lightening, Live Youtube dan Pendaftaran Gratis bagi kalian yang memiliki minat dan bakat dalam bermusik untuk tampil dengan berbagai genre, Ingat Band Perform bukanlah Lomba namun ajang kreatifitas anak muda maupun yang bakat bermusik untuk tampil.

🎹 Untuk confirmasi tampilnya bisa kirim SMS/WA Ketik Nama Group Band Kalian (spasi) Nama Ketua Band (spasi) Alamat (spasi) Genre kirim ke nomor 082176448963 (Slamet Setya Budi) paling lambat 15 Desember 2018, apabila peserta mencapai 15 - 20 Band maka akan dibagi penjadwalannya. Band Perform hari Sabtu, 22 Desember 2018 Pukul 20.00 WIB

2. Lampion Fest

Untuk festival lampion akan diterbangkan setiap hari yaitu antara 17 - 22 Desember 2018 namun untuk puncaknya pada tanggal 22 Desember 2018 Pukul 20.00 WIB. Untuk pembelian lampion dikenakan biaya Rp. 15.000,- pembelian dapat dilakukan pada waktu acara yaitu antara tanggal 17 - 22 Desember 2018.

3. Puisi📝

Nah untuk puisi ini kami berharap conten dari puisi yang kita ciptakan akan menginspirasi banyak pemuda untuk pulang membangun Desa, ya salah satu untuk memajukan Indonesia ialah dari desanya. Tema puisi yaitu Tirta Kencana dan Pemuda Membangun Desa, Untuk biaya pendaftaran perlombaannya gratis namun kalian akan mendapatkan hadiah.

Teknis pendaftarannya yaitu kalian ciptakan puisinya lalu print out dan serahkan naskahnya ke Sekretariat Panitia HUT Desa Tirta Kencana Jl. Meranti No. 01 Desa Tirta Kencana (Unit 6) Kecamatan Rimbo Bujang atau naskahnya dapat dikirim dalam bentuk soft copy ke nomor WA 082176448963 (Slamet Setya Budi). Deadline pendaftara tanggal 15 Desember 2018, setelah didaftarkan maka tanggal tampilnya akan di informasikan selanjutnya. Jadi kalian wajib ciptakan dan baca puisinya.

Jangan lupa ketika menulis naskah cantumkan dibawah puisinya :
1. Judul Puisi :
2. Nama Pengarang :
3. Alamat Lengkap :
4. Nomor Hp :
5. Tanda tangan.

4. Bazzar🛍️

Bazaar in Tirta Kencana Days dibuka antara tanggal 17 - 23 Desember 2018 yang terdiri dari beraneka ragam kuliner dll. Pendaftaran Stand dibuka antara tanggal 01 - 12 Desember 2018 dengan harga bervariatif tergantung lokasi untuk lebih lengkapnya datang langsung ke Sekretariat Panitia.

5. Karaoke🎤

Karaoke Dangdut 2018 dengan lagu bebas namun harus beraliran Dangdut (Koplo, Klasik, Melayu). Biaya pendaftaran Rp. 30.000,- dengan sistem penjurian yaitu 100% Voting Penonton semakin banyak kalian bawa teman semakin banyak kesempatan untuk menang. Pendaftaran dibuka antara tanggal 01 - 12 Desember 2018, ketika mendaftar wajib mencantumkan nada dasar dan judul lagu yang dibawakan.

Info lebih lanjut dapat menghubungi Sdr. Nurdin (0853 8279 6045)

6. Kuda Lumping Fest Se Kabupaten Tebo

Dalam melestarikan Kesenian Tradisional maka di HUT Desa Tirta Kencana ke 40 Tahun akan mengadakan Festival Kuda Lumping Se Kabupaten Tebo. Biaya pendaftaran Rp. 300.000,- dengan total Hadiah Rp. 8.000.000 + Sertifikat +Trophy. Aspek yang dinilai yaitu Wirogo, Wiromo, dan Wirasa (Olag Gerak dan Pakaian, Kreasi Iringan Gamelan, Penghayatan Pemainnya) selain itu dibantu SMS Voting dari Penonton. Pendaftaran dapat menghubungi sekretariat Panitia Pelaksana HUT Desa Tirta Kencana ke 40 juga dapat mendaftarkan secara online dengan membayar biaya pendaftaran ke Bank BRI A/n Sugiyanti 0607-01-005952-53-9 setelah itu confirmasi pembayaran ke nomor WA : 082176448963 (Slamet Setya Budi) dengan cara ketik : Nama Group (Spasi) Nama Pimpinan (Spasi) Alamat (Spasi) Tanggal Pembayaran

7. Fun Games (Aku Indonesia)

Berisi game menarik yang disediakan oleh sponsorship setiap hari 17 - 23 Desember 2018 sebagai ice breaker untuk selingan acara.

8. Kenduri Akbar

Kenduri akbar dilaksanakan pada hari Jum'at, 21 Desember 2018 Pukul 13.00 WIB

9. Karnaval Pembangunan

Menampilkan berbagai kreasi lokal masyarakat Desa Tirta Kencana pada Hari Senin, 17 Desember 2018.

10. Expo Rimbo Bujang

Kami mengundang seluruh Desa dan Kelurahan dalam Kecamatan Rimbo Bujang dan menyediakan stand untuk menampilkan produk unggulan Desa dan Kelurahan dalam Kecamatan Rimbo Bujang dari tanggal 17 - 23 Desember 2018. Ini merupakan gagasan baru untuk kita maju bersama dalam membangun Indonesia.

11. Bouncy Ballons🎈

Dalam acara nantinya Sponsorship menyediakan wahana untuk permainan anak - anak

📞Contact Person :
1. Muslim (Ketua Panitia : 0822 8289 3435)
2. Suyatmin (Sekretaris Panitia : 0852 6400 0125)
3. Slamet Setya Budi (Koordinator Acara : 0821 7644 8963)
4. Ria (Wk. Sekretaris : 0853 7735 9722)

🏠 Alamat Sekretariat : Jl. Meranti No. 01 Desa Tirta Kencana (Unit 6) Kecamatan Rimbo Bujang 37253 Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
🛣️Tempat Acara : Halaman Kantor Desa Tirta Kencana (Unit 6) Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo
🎉Tanggal Pelaksanaannya : 17 - 23 Desember 2018
🥇Pengumuman Hadiah : Sabtu, 22 Desember 2018 Pukul 19.30 WIB

#tirtakencana_hebat
#tirtakencana_luarbiasa
#tirtakencana_mendunia

Baca selengkapnya

Jambi Daerah Paling Sebentar Dijajah Belanda

Sumber data diambil dari Museum Perjuangan Rakyat Jambi
(http://kajanglako.com/id-804-infografis-infografis-residen-jambi-masa-kolonial-belanda-19061942.html)
 
 
Peperangan besar terakhir yang terjadi di Jambi menjelang kemerdekaan terjadi pada 1925 yang dipimpin oleh Wahid. Perang itu sering disebut sebagai Perang Raja Batu atau Perang Serikat Abang.
Jambi (ANTARA News) - Peneliti Sejarah Jambi, Fachruddin Saudagar, Selasa (28/6) menyatakan, wilayah Jambi merupakan salah satu daerah di Nusantara yang paling sebentar dijajah Belanda.

Menurut dia, penelitian terkait keberadaan Belanda di Negeri Jambi telah dilakukan, dan berdasarkan bukti-bukti yang ada, ditarik kesimpulan bahwa Belanda menjajah Jambi termasuk paling singkat dari daerah lain di Nusantara.

"Analisa itu kami simpulkan setelah melakukan penelitian panjang atas perlawanan dan perjuangan rakyat Jambi yang dipimpin oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Dan Didapat fakta bahwa negeri Jambi termasuk daerah yang paling singkat mengalami penjajahan Belanda," katanya.

Belanda Masuk ke Tanah Jambi dimulai dengan misi perdagangan yang dilakukan oleh VOC pada tahun 1615. VOC, terangnya, saat itu memohon kepada Sultan Abdul Kohar dari Kesultanan Jambi untuk mendirikan Loji di Muara Kumpeh.

"Dalam cerita rakyat setempat, Belanda pada waktu itu meminta izin untuk menanam labu di Jambi. Oleh sultan diizinkan, tapi Belanda kemudian tidak saja menanam labu di bidang yang telah disediakan, tapi malah menanam di lahan yang lain, sampai masuk ke dalam pekarangan dan perkebunan warga pribumi," sebut penulis buku
`Sultan Thaha Syaifuddin, Perang Tak Kenal Damai (1855-1904)' itu.

Namun, kelicikan Belanda itu mendapat perlawanan sengit dari rakyat Jambi, dan mengalami puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Thaha Syaifuddin yang naik tahta menggantikan ayah dan pamannya Sultan Fachruddin dan Sultan Abdurrahman Nazaruddin pada 1855.

"Selama 46 tahun Sultan Thaha Syaifuddin mengobarkan perlawanan kepada Belanda, meskipun pada saat itu beliau harus menyingkir dari keraton dan wilayah kekuasaaanya di Kota Jambi yang diduduki oleh penjajah. Ia menyingkir ke Muara Tembesi, dan Desa Betung Berdarah, di Kabupaten Tebo," lanjut Fachruddin.

Meskipun serangan Belanda ke Desa Betung Berdarah yang merupakan tempat pertahanan Sultan pada malam 27 April 1904 menyebabkan kematiannya, namun perlawanan rakyat yang dipimpin oleh panglima-panglima andalan Sultan terus berlanjut.

"Sepeninggal Sultan, perang masih terus dilanjutkan secara sporadis oleh Raden Mattahir, Depati Parbo, Haji Umar, Raden Pamuk, Raden Perang, dan Wahid serta lainnya yang merupakan prajurit-prajurit andalan Sultan," jelasnya.

"Peperangan besar terakhir yang terjadi di Jambi menjelang kemerdekaan terjadi pada 1925 yang dipimpin oleh Wahid. Perang itu sering disebut sebagai Perang Raja Batu atau Perang Serikat Abang," lanjut dia.

Setelah Perang Raja Batu atau Perang Sarikat Abang ini usai dan Rakyat Jambi mengalami kekalahan pada 1925, barulah seluruh daerah Jambi dapat dikuasai oleh Belanda.

"Oleh karena itu, daerah Jambi termasuk salah satu daerah yang paling sedikit mengalami penjajahan Belanda," jelas dosen Universitas Jambi itu.

(PSO - 290)

Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © ANTARA 2011

Sumber :  https://www.antaranews.com/berita/265575/jambi-daerah-paling-sebentar-dijajah-belanda
Baca selengkapnya

Posted on Monday, 20 July 2015 | garis 05:48

Muslimedianews.com ~

Oleh: Slamet Setya Budi*


Kabupaten Tolikara yang terletak di Provinsi Papua sesaat meledak menjadi buah bibir dan menyita perhatian masyarakat di Indonesia bahkan Dunia. Sesaat predikat Indonesia yang dikenal dimata dunia atas Kerukunan Umat Beragamanya mulai luntur akibat konflik antara Agama Minoritas dan Agama Mayoritas di Kabupaten Tolikara. 17 Juli 2015 menjadi tragedi yang menyayat hati Umat Islam, dimana Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia walaupun menjadi minoritas di Tolikara.

Berbondong - bondong media menyorot tragedi ini walaupun kadang kala berita yang disampaikan masih simpang siur. Mendengar kejadian tersebut JK notabene Wapres RI menyataan konflik tersebut diakibatkan oleh Pengeras Suara. Orang nomor dua di Indonesia ini dianggap melakukan pernyataan yang tidak sesuai dengan realita.

Pernyataan dari Pak JK mendapat bantahan dari berbagai pihak setelah beredar Surat dari GIDI (Gereja Injil Di Indonesia) wilayah Tolikara tertanggal 11 Juli 2015 lengkap dengan kop surat, stempel, serta tandatangan Ketua dan Sekretarisnya di Dunia Maya. Surat tersebut disampaikan juga kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD, Kepolisian Resor Tolikara, Komando Rayon Militer TNI. Adapun isi dari Surat tersebut Pemberitahuan bahwa mereka mengadakan seminar dan KKR Pemuda GIDI yg (menurutnya) tingkat Internasional, Pelarangan kegiatan hari raya Idul Fitri (takbir dan shalat Ied) di seluruh wilayah Kab. Tolikara, Jika umat Islam tetap ingin merayakan hari raya Idul Fitri, hendaklah merayakannya di luar Kab. Tolikara, Pelarangan penggunaan jilbab, Bahwa GIDI melarang pendirian tempat ibadah selain mereka, termasuk aliran Kristen yg lain (Katholik dan Protestan lainnya).

Surat tersebut dituding menjadi penyebab adanya Konflik di Tolikara. Namun adanya pernyataan mengenai Kelalaian aparat menjadi tambahnya kisruh di Tolikara. Konflik ini seharusnya dapat diantisipasi jika sosialisasi dan toleransi terus dijalankan. Konflik ini meluas dan saling menyalahkan bahkan BIN (Badan Intelijen Negara) dituding menjadi garda terdepan dalam kelalaian mengantisipasi Konflik di Tolikara. Umat muslim di Indonesia sudah terlanjur tersayat hatinya dan mengecam kejadian tersebut. Walaupun di akhir paragraf tercantum larangan kepada umat beragama lainnya namun meletusnya konflik dengan Umat Muslim membuat konflik ini membesar. Dikhawatirkan kejadian ini akan menjadi konflik antar umat beragama yang meluas di seluruh Indonesia ataupun dimanfaatkan sebagai ajang politik. Untuk itu umat Islam seluruh Indonesia ataupun yang menjadi korban perlu adanya Intropeksi dan belajar dari masalah ini.

Islam Toleransi

Tersayatnya hati umat muslim dikarenakan kecintaan terhadap agama mereka. Karena rasa cinta itulah yang menyebabkan kita merasa sakit hati, tersulut emosi, dikhawatirkan menjadi tidak adil. Ditambah lagi, pemberitaan yang belum lengkap yang terus dikonsumsi tanpa melihat hasil nantinya menyebabkan rumitnya permasalahan ini.

Emosi karena kebencian yang terus disuarakan ditakutkan akan menyulutkan api - api kecil yang akan membesar di seluruh penjuru negeri. Bahkan dikhawatirkan memunculkan statemen yang mengatakan dan menghujat agama lain berasal dari kaum yang dibenci Allah. Sebagai umat muslim janganlah kita hanya memandang dari satu arah seperti mengharamkan toleransi sehingga kita memeranginya hanya karena ada ayat yang berbunyi " Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka " (QS Al - Baqarah :120). Kebencian timbul biasanya disebabkan karena ketidakadilan baik oleh umat lain, pemerintah, LSM, pemberitaan, dll. Sehingga kadangkala kita menuntut hal tersebut bahkan berlaku tidak adil juga bahkan sampai melarangnya padahal ada ayat yang menyatakan "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah! karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al - Maidah :8).

Kita sebagai umat muslim juga harus belajar memahami umat minoritas lainnya. Mungkin kadangkala mereka juga merasakan kepenatan yang sama. Untuk itu, kehidupan beragama perlu adanya toleransi, belajar merasa, dan berlaku adil terhadap sesama maupun umat lainnya. Memahami bahwa arti adil mendekati dengan Takwa maka Janji Allah bagi umatnya adalah “Kalau seandainya penduduk-penduduk negeri tersebut mau beriman dan bertaqwa kepada Allah maka pasti Kami akan bukakan untuk mereka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi” (QS. Al - Araf : 96). Umat muslim harus  kembali memahami dan menerapkan syariat Islam Kaffah seperti Rasulullah dan para sahabat beliau menerapkanya Dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jangan hanya karena tragedi Tolikara kita menjadi buta mata dan melakukan Jihad dan Perang terhadap umat lain. Jika kita menuruti ego masing - masing maka setiap ada Agama atau Kaum yang merasa terganggu maka akan melakukan hal yang sama akibat tidak adanya keadilan. Karena Al - Qur'an memang telah memerintahkan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.

Sesuai dengan perintah tersebut juga menerangkan jalannya. Jika terjadi hal yang tidak baik maka bantahlah dengan jalan yang baik seperti yang diterangkan dalam QS. An - Nahl : 125 " Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik ". Untuk itu petiklah pelajaran berharga dalam menyikapi Tragedi di Tolikara dan mulailah ciptakan Toleransi antar umat beragama. Perang terbesar adalah melawan diri sendiri Jihad utama adalah melawan amarah. Islam yang dicintai Allah adalah "Al-Hanifiyyah As-Samhah - Islam Yang Toleran". Sehingga kita harus saling kenal mengenal, memahami, serta memiliki sifat toleransi terhadap suku - suku dan bangsa - bangsa.

*Slamet Setya Budi
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2015/07/berkaca-dari-tragedi-tolikara.html#ixzz3k4s5P0Ht

 

 

Berkaca Dari Tragedi Tolikara



(Foto:Ist)
Kabupaten Tolikara yang terletak di Provinsi Papua sesaat meledak menjadi buah bibir dan menyita perhatian masyarakat di Indonesia bahkan Dunia. 
Sesaat predikat Indonesia yang dikenal dimata dunia atas Kerukunan Umat Beragamanya mulai luntur akibat konflik antara Agama Minoritas dan Agama Mayoritas di Kabupaten Tolikara. 17 Juli 2015 menjadi tragedi yang menyayat hati Umat Islam, dimana Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia walaupun menjadi minoritas di Tolikara.

Berbondong - bondong media menyorot tragedi ini walaupun kadang kala berita yang disampaikan masih simpang siur. Mendengar kejadian tersebut JK notabene Wapres RI menyataan konflik tersebut di akibatkan oleh Pengeras Suara. Orang nomor dua di Indonesia ini dianggap melakukan pernyataan yang tidak sesuai dengan realita.

Pernyataan dari Pak JK mendapat bantahan dari berbagai pihak setelah beredar Surat dari GIDI (Gereja Injil Di Indonesia) wilayah Tolikara tertanggal 11 Juli 2015 lengkap dengan kop surat, stempel, serta tandatangan Ketua dan Sekretarisnya di Dunia Maya. 
Surat tersebut disampaikan juga kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD, Kepolisian Resor Tolikara, Komando Rayon Militer TNI. 
Adapun isi dari Surat tersebut Pemberitahuan bahwa mereka mengadakan seminar dan KKR Pemuda GIDI yang (menurutnya) tingkat Internasional, Pelarangan kegiatan hari raya Idul Fitri (takbir dan shalat Ied) di seluruh wilayah Kab. Tolikara, Jika umat Islam tetap ingin merayakan hari raya Idul Fitri, hendaklah merayakannya di luar Kab. Tolikara, Pelarangan penggunaan jilbab, Bahwa GIDI melarang pendirian tempat ibadah selain mereka, termasuk aliran Kristen yg lain (Katholik dan Protestan lainnya).

Surat tersebut dituding menjadi penyebab adanya Konflik di Tolikara. Namun adanya pernyataan mengenai Kelalaian aparat menjadi tambahnya kisruh di Tolikara.
 Konflik ini seharusnya dapat diantisipasi jika sosialisasi dan toleransi terus dijalankan. Konflik ini meluas dan saling menyalahkan bahkan BIN (Badan Intelijen Negara) dituding menjadi garda terdepan dalam kelalaian mengantisipasi Konflik di Tolikara. Umat muslim di Indonesia sudah terlanjur tersayat hatinya dan mengecam kejadian tersebut.
 Walaupun di akhir paragraf tercantum larangan kepada umat beragama lainnya namun meletusnya konflik dengan Umat Muslim membuat konflik ini membesar. 
Dikhawatirkan kejadian ini akan menjadi konflik antar umat beragama yang meluas di seluruh Indonesia ataupun dimanfaatkan sebagai ajang politik. Untuk itu umat Islam seluruh Indonesia ataupun yang menjadi korban perlu adanya Intropeksi dan belajar dari masalah ini.

Islam Toleransi

Tersayatnya hati umat muslim dikarenakan kecintaan terhadap agama mereka. Karena rasa cinta itulah yang menyebabkan kita merasa sakit hati, tersulut emosi, dikhawatirkan menjadi tidak adil. Ditambah lagi, pemberitaan yang belum lengkap yang terus dikonsumsi tanpa melihat hasil nantinya menyebabkan rumitnya permasalahan ini.

Emosi karena kebencian yang terus disuarakan ditakutkan akan  menyulutkan api - api kecil yang akan membesar di seluruh penjuru negeri. Bahkan dikhawatirkan memunculkan statemen yang mengatakan dan menghujat agama lain berasal dari kaum yang dibenci Allah. 
Sebagai umat muslim janganlah kita hanya memandang dari satu arah seperti mengharamkan toleransi sehingga kita memeranginya hanya karena ada ayat yang berbunyi " Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka " (QS Al - Baqarah :120). Kebencian timbul biasanya disebabkan karena ketidakadilan baik oleh umat lain, pemerintah, LSM, pemberitaan, dll. 
Sehingga kadangkala kita menuntut hal tersebut bahkan berlaku tidak adil juga bahkan sampai melarangnya padahal ada ayat yang menyatakan "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah! karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al - Maidah :8). 
Kita sebagai umat muslim juga harus belajar memahami umat minoritas lainnya. Mungkin kadangkala mereka juga merasakan kepenatan yang sama. Untuk itu, kehidupan beragama perlu adanya toleransi, belajar merasa, dan berlaku adil terhadap sesama maupun umat lainnya.
 Memahami bahwa arti adil mendekati dengan Takwa maka Janji Allah bagi umatnya adalah “Kalau seandainya penduduk-penduduk negeri tersebut mau beriman dan bertaqwa kepada Allah maka pasti Kami akan bukakan untuk mereka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi” (QS. Al - Araf : 96). Umat muslim harus kembali memahami dan menerapkan syariat Islam Kaffah seperti Rasulullah dan para sahabat beliau menerapkanya Dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Jangan hanya karena tragedi Tolikara kita menjadi buta mata dan melakukan Jihad dan Perang terhadap umat lain.
 Jika kita menuruti ego masing - masing maka setiap ada Agama atau Kaum yang merasa terganggu maka akan melakukan hal yang sama akibat tidak adanya keadilan. Karena Al - Qur'an memang telah memerintahkan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar. Sesuai dengan perintah tersebut juga menerangkan jalannya. 
Jika terjadi hal yang tidak baik maka bantahlah dengan jalan yang baik seperti yang diterangkan dalam QS. An - Nahl : 125 " Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik ". Untuk itu petiklah pelajaran berharga dalam menyikapi Tragedi di Tolikara dan mulailah ciptakan Toleransi antar umat beragama. 
Perang terbesar adalah melawan diri sendiri Jihad utama adalah melawan amarah. Islam yang dicintai Allah adalah "Al-Hanifiyyah As-Samhah - Islam Yang Toleran". 
Sehingga kita harus saling kenal mengenal, memahami, serta memiliki sifat toleransi terhadap suku - suku dan bangsa - bangsa.
 Ditulis Oleh : Slamet Setya Budi
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo
Baca selengkapnya

MAKNA KULTURAL DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA MENGENAI KEHIDUPAN REMAJA


MAKNA KULTURAL DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA MENGENAI KEHIDUPAN REMAJA
Slamet Setya Budi 1
Abstrak
Judul penelitian ini adalah Makna Kultural Dalam Gugon Tuhon Masyarakat Jawa Mengenai Kehidupan Remaja. Objek kajian dalam penelitian ini adalah Gugon Tuhon pada kehidupan remaja yang berkembang di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo. Data yang dikumpulkan adalah data lisan yang dikumpulkan dari para narasumber. Permasalahan yang diangkat yaitu mengenai 1) Bagaimanakah makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon masyarakat Jawa mengenai kehidupan remaja?.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian menggunakan tekhnik simak libat cakap. Dengan tekhnik ini diusahakan peneliti dapat memperoleh data selengkap-lengkapnya, sebanyak data yang dikehendaki atau diharapkan. Dalam metode ini juga diperlukan teknik pancing, yaitu memancing informan untuk berbicara serta tekhnik catat untuk mencatat setiap Gugon Tuhon, dengan terlebih dahulu dipersiapkan daftar sejumlah pertanyaan sebagai panduan untuk mengarahkan peneliti memperoleh data akurat. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan atau data lisan pada Masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo. Untuk menganalisa data Untuk menganalisis data digunakan metode agih dan metode padan.
Simpulan dari penelitian ini adalah 1) Gugon Tuhon yang memiliki makna sebab akibat yaitu ditandai dengan kata Aja ‘jangan’ yang menunjukan larangan dan mundhak ‘nanti/menyebabkan’ yang menunjukan akibat, 2) Gugon Tuhon mengunakan kata aja ‘jangan’ di depan kalimat memiliki arti larangan, 3) Gugon Tuhon menggunakan kata yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ menunjukan perumpamaan, dan 4) Gugon Tuhon mengunakan frasa Ora ilok ‘tidak pantas’ menandakan tidak sepatutnya dilakukan.
Kata Kunci    : Gugon Tuhon, Makna Kultural, Semantik
 

1 Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo
Abstract
The title of this research is Cultural Meaning In Gugon Tuhon Javanesse People About Teenager’s lifes . Object of this research are Gugon Tuhon to teenager’s lifes that develop in Tirta Kencana Village Rimbo Bujang Subdistrict Tebo Regency. Data collected are oral data that collect from informant. The
problem of this research is How is the cultural meaning in Gugon Tuhon Javanesse People about Teenager’s life?
Method of the research are qualitative descriptive method. This research also used simak libat cakap technique. It technique be able to get complete data. In this method also use pancing technique that is wheedle the informant for speak and and write technique to write gugon tuhon who speak in conversation. Besides that, the researcher also provide some question to direct the researcher to get the accurate data. Source of data this research is verbal data javanesse people in Tirta Kencana Village Rimbo Bujang Subdistrict Tebo Regency. To Analize  data, the researcher used agih and padan method.
Conclusion of this research are 1) Gugon Tuhon cause and effect marked by word Aja ’don’t’ that reference prohibit and mundhak ‘cause’ that reference effect, 2) Gugon Tuhon used word aja ‘ don’t’ as preposition has meaning prohibit, 3) Gugon Tuhon used word yen ‘if’ and mundhak ‘cause’ seem parable, and 4) Gugon Tuhon used phrase Ora ilok ‘Unproper’ seem unproper to do.
Keyword        : Gugon Tuhon, Cultural Meaning
1.         PENDAHULUAN
Transmigrasi di tahun 1970an telah merubah wajah Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo tidak terkecuali untuk Desa Tirta Kencana. Latar belakang dari berbagai macam daerah dan kebudayaan menambah warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat dimana mayoritas penduduk berasal dari daerah Jawa. 37 tahun sudah Desa Tirta Kencana berdiri, ini merupakan usia yang tidak muda lagi. Kebudayaan penduduk yang berasal dari berbagai daerah Jawa memaksa mereka untuk melebur menjadi satu. Pernahkah kita berfikir bagaimanakah kebudayaan jawa di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang.
Walaupun kadang kala adat istiadat berbeda misalkan dalam hal pernikahan, kehidupan remaja, kelahiran anak maupun hukum adat. Namun nasihat – nasihat dari orang tua yang berasal dari Masyarakat Jawa atau yang disebut Gugon Tuhon tentu memiliki kesamaan. Gugon Tuhon merupakan salah satu nasihat – nasihat ataupun larangan dalam kehidupan masyarakat jawa. Menurut Subalindinata (Dikutip dalam Arifah, 2011, hal. 19) menjelaskan bahwa “Gugon Tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran – ajaran tersebut tidak jelas hanya samar –samar yang isinya berupa larangan, tujuan dari larangan tersebut adalah supaya tidak dilanggar”.
Dari pendapat diatas mengungkapkan bahwa Gugon Tuhon adalah sebuah ujaran yang mengandung larangan namun larangan tersebut tidak jelas walaupun tujuanya adalah untuk kebaikan. Seringkali kita mendengar nasihat orang tua terhadap anaknya Aja mangan nang lawan mengko lamarane balik ’Jangan makan di pintu nanti kalau dilamar, lamaranya kembali’. Nasihat tersebut memiliki makna agar tidak makan dipintu jika dikaji menurut makna kultural bahwa jika kita makan di depan pintu maka akan menghalangi orang berjalan.
Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 2012, Dalam Herawati, Hermintoyo, & Amin , Hal. 1). Menurut Marsono (2011, Hal. 36-40) yang menyatakan bahwa bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, “Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah merupakan bahasa yang digunakan untuk alat komunikasi penduduk Jawa yang tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan di beberapa daerah lainnya. Fungsi bahasa daerah yaitu: 1) sebagai lambang kebanggaan daerah, 2) sebagai lambang identitas daerah, dan 3) sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah”.
Namun nasihat – nasihat atau Gugon Tuhon sekarang ini sudah tidak lagi digunakan oleh para remaja, biasanya mereka menganggap ini adalah takhayul. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadi, (Dalam Arifah, 2011, hal 19) “Gugon Tuhon yaitu percaya pada adat dan tahayul”. Karena salah satu ungkapan kenapa remaja menganggap ini takhayul dikarenakan setiap Gugon Tuhon tidak diberikan alasan – alasan yang kuat. Padahal, tanpa disadari Gugon Tuhon memiliki tujuan ataupun maksud yang baik untuk kehidupan kita. Dengan antusias pemerintah dalam melestarikan kebudayaan indonesia dengan membentuk slogan 100% Indonesia ataupun I Love Indonesia maka kita selayaknya pemuda harus mengetahui Kebudayaan indonesia terlebih dahulu.
Untuk meningkatkan pemahaman remaja mengenai tujuan Gugon Tuhon dalam masyarakat jawa maka saya tertarik untuk meneliti mengenai makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon itu sendiri. Sehingga diharapkan remaja mampu memahami tujuan Gugon Tuhon tersebut. Namun dikarenakan Gugon Tuhon ataupun nasihat dalam masyarakat jawa sangat banya yaitu mencakup semua aspek kehidupan maka saya akan membatasi permasalahan tersebut yaitu mengenai 1) makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon masyarakat Jawa mengenai kehidupan remaja Di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
2.         KERANGKA TEORI
2.1.      Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan dengan struktur makna suatu wicara. Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok (Griffiths, 2006, hal. 6). Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Berbagai jenis makna kata dikaji dalam ilmu semantik. Menurut Tarigan (1985, Hal. 7) semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Jadi semantik senantiasa berhubungan dengan makna yang dipakai oleh masyarakat penuturnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semantik adalah ilmu yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut.
2.2.      Pengertian Makna
Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Semantik berkedudukan sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna suatu kata dalam bahasa, sedangkan linguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa lisan dan tulisan yang memiliki ciri-ciri sistematik, rasional, empiris sebagai pemerian struktur dan aturan-aturan bahasa (Verhaar, Dalam Hilman, 2010, Hal. 22). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna suatu kata dalam bahasa dapat diketahui dengan landasan ilmu semantik.
Sastromiharjo (2011, hal. 50) berpendapat bahwa makna adalah maksud pengarang/ penulis terhadap peristiwa yang dituturkan. Poerwadarminta (dalam Pateda, 1988:45) mengatakan makna : arti atau maksud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Pateda, 2001:82) kata makna diartikan : (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Dari batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
2.3.      Makna Kultural
Makna Kultural adalah makna yang berhubungan dengan kebudayaan untuk memaknainya kita harus memahami konteks kebudayaanya (Palmer, dalam Arifah 2011). Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh makna dari setiap Gugon Tuhon kita perlu memahami konteks budayanya.
2.4.      Gugon Tuhon
Gugon Tuhon berasal dari dua kata yaitu ‘Gugon’ dan ‘Tuhon’ berasal dari kata ‘gugu’ yang mendapat akhiran [–an], yang mempunyai arti yang mudah percaya terhadap ucapan ataupun cerita, sedangkan ‘Tuhon’ berasal dari kata ‘tuhu’ yang mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai orang lain (Subalidinata, dalam Arifah, 2011, hal. 19). Gugon Tuhon dalam bahasa jawa biasanya dalam bentuk tuturan yang disampaikan sebagai bentuk nasihat atau larangan.
3.         METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini berdasar pada penggunaan data yang murni dan alamiah yang diperoleh dari lapangan, sehingga diperoleh hasil penelitian yang dapat menjelaskan realita yang sebenarnya (Sudaryanto, Dalam Rohim, 2013. Hal. 50). Metode penelitian menggunakan tekhnik simak libat cakap. Menurut Sudaryanto (Dalam Arifah, 2011, Hal. 37) “ tekhnik simak libat cakap adalah dimana peneliti menyimak pembicaraan calon data dan berpartisipasi dalam dialog.. Dengan kedua metode ini diusahakan peneliti dapat memperoleh data selengkap-lengkapnya, sebanyak data yang dikehendaki atau diharapkan. Dalam metode ini juga diperlukan teknik pancing yaitu memancing informan untuk berbicara serta tekhnik catat untuk mencatat setiap Gugon Tuhon yang diucapkan, dengan terlebih dahulu dipersiapkan daftar sejumlah pertanyaan sebagai panduan untuk mengarahkan peneliti memperoleh data akurat. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan atau data lisan pada Masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
Untuk menganalisis data digunakan metode agih dan metode padan. Metode agih atau distribusional, yaitu metode analisis data yang alat penentunya dari dalam bahasa itu sendiri (Sudaryanto, Dalam Rustam, 2011, Hal. 3). Metode padan, yaitu metode analisis data yang alat penentunya di luar bahasa itu, dalam hal ini situasi pengguna bahasa (Djadjasudarma, Dalam Rustam, 2011, Hal. 3)

4.         HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.      Gugon Tuhon yang memiliki makna sebab akibat yaitu ditandai dengan kata Aja ‘jangan’ yang menunjukan larangan dan mundhak ‘nanti/menyebabkan’ yang menunjukan akibat.

Aja mangan karo turu mundhak bojone gembeng
‘Jangan makan sambil tidur nanti istrinya  pemalas‘
(Suroto, 42 tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna Kultural dalam masyarakat jawa mengenai Gugon Tuhon tersebut adalah larangan mengenai makan sambil tidur karena menandakan bahwa orang tersebut adalah pemalas. Jika seseorang tersebut di cap sebagai pemalas maka para perempuan tidak menyukai orang tersebut. Selaku laki – laki seharusnya tidak boleh malas karena nantinya akan menjadi contoh dalam berumah tangga. Namun dalam kondisi tertentu diperbolehkan makan sambil tidur yaitu ketika sakit.

Aja adus kesoren mundhak keneng putraning njala
‘Jangan mandi sore – sore nanti terkena putraning njala’
(Suroto, 42 tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna Kultural dalam masyarakat Jawa mengenai Gugon Tuhon tersebut adalah larangan mengenai mandi di sore hari sedangkan makna dari putraning njala adalah jauh jodohnya. Alasannya sore hari waktunya orang santai, berpakaian rapi dan berangkat sembahnyang. Jika pada sore hari belum mandi maka baik laki – laki maupun perempuan akan di cap sebagai orang yang tidak bersih ataupun jorok sehingga alasan tersebut yang membuat jauh jodohnya.

Aja mangan brutu mundhak lalinan mengkone
‘Jangan makan pantat ayam nanti menjadi pelupa’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan memakan pantat ayam karena dipercayai hal tersebut akan berakibat buruk pada seorang remaja yaitu menjadi pelupa sehingga akan menjadi pembicaraan orang nantinya, jika dilihat dari segi kesehatan pantat ayam banyak mengandung kolestrol sehingga tidak baik bagi kesehatan.

Aja nganggo klambi kewalik mundhak dadi omong uwong
‘Jangan memakai baju terbalik nanti menjadi omongan orang’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan menggunakan pakaian secara terbalik alasannya yaitu jika menggunakan pakaian terbalik itu di ibaratkan orang gila sehingga dapat menyebabkan menjadi banyak perbincangan bagi orang lain.

Gadis aja metu wengi mundhak elek mburine
‘Gadis jangan keluar malam nanti buruk akhirnya’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)

Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan keluar malam bagi perempuan/gadis karena mengakibatkan hal buruk pada akhirnya. Alasannya yaitu wanita rentan dengan hal – hal negatif jika keluar pada malam hari walaupun tidak melakukan hal negatif namun dapat menjadi bahan pembicaraan orang.

4.2.      Gugon Tuhon mengunakan kata Aja ‘jangan’ di depan memiliki arti larangan

Aja mangan karo kecap
‘Jangan makan sambil berkecap’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon adalah larangan mengenai makan sesuatu sambil berkecap menurut para orang tua makan sambil berkecap menandakan mereka tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan. Menurut Mbah Tarmo (Diwawancarai pada 21 November 2014) Biasanya, orang yang makan sambil berkecap mereka pada umumnya merasakan makanan terlebih dahulu namun jika tidak enak maka mereka tidak melanjutkan makan dan cenderung menghina. Gugon Tuhon ini sering diucapkan oleh orang tua kepada anak – anak maupun remaja dikarenakan agar memahami bahwa masyarakat jawa pada umunya tidak menyukai orang yang makan sambil berkecap.

Aja mlaku nang ngarepe wong tuo karo ngadek
‘Jangan berjalan di depan orang tua sambil berdiri’
            (Mbah Pahing, 63 Tahun, Petani, 23 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan berjalan di depan orang tua sambil berdiri alasanya yaitu karena tidak sopan dan selaku orang yang lebih muda kita harus menghormati yang lebih tua.

Aja mangan panganan nang nduwur piring ditumpuk
‘Jangan makan makanan diatas piring yang ditumpuk’
(Mbah Pahing, 63 Tahun, Petani, 23 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan memakan makanan di atas piring yang ditumpuk. Hal ini diyakini yaitu menyebabkan orang tersebut akan dituduh oleh orang lain dan tidak tahu penyebabnya. Menurut Mbah Pahing (Wawancara pada 23 November 204) mengungkapkan bahwa jika kita memakan makanan diatas piring yang ditumpuk kita akan tertuduh bahwa kita rakus dan tidak enak dipandang oleh orang lain.

Aja mangan karo mlaku
‘Jangan makan sambil berjalan’
                        (Mbah Wage, 55 Tahun, Petani, 25 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan makan sambil berjalan.  Menurut Mbah Wage (Diwawancarai Pada 25 November 2014) bahwa orang yang makan sambil berjalan itu tidak memiliki rasa tenang dan terburu – buru hal ini menyebabkan tersedak bahkan penyakit. Untuk itu ketika makan kita perlu duduk ataupun santai dalam menikmati makanan.

Aja tangi turu nganti kedisitan ayam tangi
‘Jangan bangun tidur sampai didahului ayam bangun’
(Mbah Wage, 55 Tahun, Petani, 25 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut menurut masyarakat jawa yaitu kita harus bangun lebih pagi dikarenakan untuk mempersiapkan pekerjaan nantinya agar tidak terburu – buru, Gugon Tuhon ini juga memiliki makna bahwa jika kita bangun lebih pagi kita dapat melaksanakan sholat. Membiasakan bangun pagi merupakan sebuah rutinitas bagi masyarakat jawa pada umumnya yaitu membiasakan untuk disiplin dan tidak bermalas – malasan. Menurut Mbah Wage (Wawancara pada 25 November 2014) menyebutkan bahwa pada zaman dahulu masyarakat jawa pada umunya bangun lebih awal sebelum ayam berkokok digunakan untuk persiapan berjualan kepasar, memasak, sholat dan bersih – bersih rumah sebelum mereka bekerja.

4.3.      Gugon Tuhon menggunakan kata yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ memiliki makna perumpamaan

Yen nyapu seng resik mundhak bojone jembrang
‘Kalau menyapu harus bersih nanti suaminya brewokan’
                        (Mbah Castro, 80 Tahun, Petani, 27 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita membersihkan halaman maka harus membersihkanya dengan sebaik mungkin karena tidak enak dipandang, jika masih ada kotoran digambarkan seperti halnya wajah yang memiliki banyak rambut tidak enak dipandang.

Yen iseh nom kerjone ojo males mundhak tuone rekoso
‘Kalau masih muda kerja jangan malas nanti tuanya menderita’
(Mbah Castro, 80 Tahun, Petani, 27 November 2014)
Makna kultural Gugon Tuhon tersebut mengajarkan pada kita bahwa kita harus giat dalam bekerja untuk mempersiapkan di hari tua, jika kita malas diwaktu muda maka dihari tua akan menderita. Karena pada masa muda tenaga kita masih kuat dan di masa tua tenaga kita mulai melemah.

Yen karo gadis ojo klayapan mundhak elek mburine
‘Kalau sama gadis jangan pergi kemana – mana nanti buruk akhirnya’
(Sakimin, 46 Tahun, Petani, 28 November 2014)
Makna kultural Gugon Tuhon tersebut mengajarkan kepada kita bahwa jika kita sedang bersama seorang gadis dan kita bawa berpergian kemana – mana maka akan menimbulkan hal buruk misalkan aib dan omongan orang – orang yang tidak baik pada kedua belah pihak. Untuk itu kita harus jaga jarak dan tidak terlewat batas karena akan merugikan diri kita.

4.4.      Gugon Tuhon mengunakan frasa Ora ilok ‘tidak pantas’ menandakan tidak sepatutnya dilakukan.

Ora ilok mbantah omongane wong tuo
‘Tidak pantas membantah omongan orang tua’
(Sakimin, 46 Tahun, Petani, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita dinasihati orang yang lebih tua tidak sepatutnya kita membantah dikarenakan omongan orang tua biasanya berdasarkan pengalaman dan baik untuk kedepannya.

Ora ilok mangan karo ngmong
‘Tidak pantas makan sambil berbicara’
(Suroto, 42 Tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita sedang makan tidak sepantasnya kita sambil berbicara selain kita tidak dapat menikmati makanan ketika makan sambil berbicara juga dapat menimbulkan kita tersedak.

Ora ilok lajang utowo gadis adus karo wudo
‘Tidak pantas bujang atau gadis mandi telanjang’
(Munjari, 46 Tahun, Guru, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika mandi kita harus menggunakan kain untuk menutupi aurat tubuh hal ini berguna untuk mencegah hal yang tidak kita inginkan seperti menimbulkan hasrat/nafsu bagi seseorang yang melihatnya.

Ora ilok urusan dirampungne wayah wengi
‘Tidak pantas segala urusan diselesaikan pada malam hari’
(Munjari, 46 Tahun, Guru, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah kita tidak pantas menyelesaikan segala urusan pada malam hari. Menurut Mbah Castro (Diwawancarai pada 26 November 2014) mengungkapkan bahwa segala urusan sebaiknya diselesaikan pada pagi hingga sore hari dikarenakan pada malam hari adalah waktunya untuk beristirahat dan hari terasa pendek kadang kala tidak menghasilkan keputusan seperti apa yang di inginkan.

5.         PENUTUP
5.1.      Kesimpulan
Gugon Tuhon dalam masyarakat jawa di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi memiliki berbagai bentuk khususnya untuk para Remaja. Sedangkan makna kultural Gugon Tuhon mengenai kehidupan remaja memiliki berbagai macam sesuai dengan kata dan juga frasa yang digunakan misalkan kata aja ’jangan’ dan mundhak ’nanti’ yang memiliki makna sebab akibat , aja ’jangan’ memiliki makna larangan, yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ memiliki makna perumpamaan, Ora ilok ‘tidak pantas’ memiliki makna tidak sepantasnya dilakukan.
5.2.      Saran
            Pada umumnya remaja kurang menyukai dengan nasihat – nasihat atau Gugon Tuhon masyarakat jawa. Jika dicermati dalam Gugon Tuhon memiliki tujuan untuk kebaikan kita dalam mengarungi kehidupan. Gugon Tuhon masyarakat jawa sangatlah banyak misalkan dalam hal Perjodohan, Kepemimpinan, Pernikahan, Anak – Anak, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti Gugon Tuhon lainnya. Sehingga walaupun kita bukan berada di daerah jawa aslinya diharapkan kebudayaan jawa tidak akan hilang.
6.         DAFTAR PUSTAKA
Arifah, Khairunnisa Noor. 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa Pada Wanita       Hamil Dan Ibu Balita Di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga; Suatu Kajian        Etnolinguistik. Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa: Universitas Sebelas Maret
Herawati, Deni, M. Hermintoyo, Mujid Farihul Amin. 2012. Afiks Pembentuk Verba Bahasa         Jawa Dialek Tegal Kajian Deskriptif Struktural. Jurnal Ilmu Budaya, Volume 1,            Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-7. (http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtekim,         diakses pada 15 November 2014)
Hilman, Muhammad. 2010. Analisis Semantik Pada Terjemahan Al – Qur’an (Surat Ad-    Dhuha dan Al - Insyirah) : Studi Komparatif Antara Terjemahan Mahmud Yunus           Dengan T.M. Hasbhy Ash Shiddieqy. Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora:            Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah.

Griffiths, Patrick. 2006. An Introduction to English Pragmatics and Semantics. Edinburgh:            Edinburgh University Press
Marsono. 2011. Morfologi Bahasa Indonesia dan Nusantara (Morfologi Tujuh Bahasa       Anggota Rumpun Austronesia dalam Perbandingan). Yogyakarta: Gadjah Mada         University Press.

Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa.

Rohim, Miftahur. 2013. Analisis Konstrastif Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab    Berdasarkan Kala, Jumlah, dan Persona. Skripsi Fakultas Bahasa Dan Seni:  Universitas Negeri Semarang

Rustam, 2011. Eufemisme Dalam Ungkapan Tradisional Daerah Melayu Jambi. Volume 13,          Nomor 1, Hal. 01-06 ISSN 0852-8349 Januari – Juni 2011

Sastromiharjo, M.Pd, Dr. Andoyo. 2011. Bahasa Dan Sastra Indonesia 1: SMA Kelas X.   Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

Baca selengkapnya