MAKNA KULTURAL DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA MENGENAI KEHIDUPAN REMAJA


MAKNA KULTURAL DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA MENGENAI KEHIDUPAN REMAJA
Slamet Setya Budi 1
Abstrak
Judul penelitian ini adalah Makna Kultural Dalam Gugon Tuhon Masyarakat Jawa Mengenai Kehidupan Remaja. Objek kajian dalam penelitian ini adalah Gugon Tuhon pada kehidupan remaja yang berkembang di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo. Data yang dikumpulkan adalah data lisan yang dikumpulkan dari para narasumber. Permasalahan yang diangkat yaitu mengenai 1) Bagaimanakah makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon masyarakat Jawa mengenai kehidupan remaja?.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian menggunakan tekhnik simak libat cakap. Dengan tekhnik ini diusahakan peneliti dapat memperoleh data selengkap-lengkapnya, sebanyak data yang dikehendaki atau diharapkan. Dalam metode ini juga diperlukan teknik pancing, yaitu memancing informan untuk berbicara serta tekhnik catat untuk mencatat setiap Gugon Tuhon, dengan terlebih dahulu dipersiapkan daftar sejumlah pertanyaan sebagai panduan untuk mengarahkan peneliti memperoleh data akurat. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan atau data lisan pada Masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo. Untuk menganalisa data Untuk menganalisis data digunakan metode agih dan metode padan.
Simpulan dari penelitian ini adalah 1) Gugon Tuhon yang memiliki makna sebab akibat yaitu ditandai dengan kata Aja ‘jangan’ yang menunjukan larangan dan mundhak ‘nanti/menyebabkan’ yang menunjukan akibat, 2) Gugon Tuhon mengunakan kata aja ‘jangan’ di depan kalimat memiliki arti larangan, 3) Gugon Tuhon menggunakan kata yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ menunjukan perumpamaan, dan 4) Gugon Tuhon mengunakan frasa Ora ilok ‘tidak pantas’ menandakan tidak sepatutnya dilakukan.
Kata Kunci    : Gugon Tuhon, Makna Kultural, Semantik
 

1 Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo
Abstract
The title of this research is Cultural Meaning In Gugon Tuhon Javanesse People About Teenager’s lifes . Object of this research are Gugon Tuhon to teenager’s lifes that develop in Tirta Kencana Village Rimbo Bujang Subdistrict Tebo Regency. Data collected are oral data that collect from informant. The
problem of this research is How is the cultural meaning in Gugon Tuhon Javanesse People about Teenager’s life?
Method of the research are qualitative descriptive method. This research also used simak libat cakap technique. It technique be able to get complete data. In this method also use pancing technique that is wheedle the informant for speak and and write technique to write gugon tuhon who speak in conversation. Besides that, the researcher also provide some question to direct the researcher to get the accurate data. Source of data this research is verbal data javanesse people in Tirta Kencana Village Rimbo Bujang Subdistrict Tebo Regency. To Analize  data, the researcher used agih and padan method.
Conclusion of this research are 1) Gugon Tuhon cause and effect marked by word Aja ’don’t’ that reference prohibit and mundhak ‘cause’ that reference effect, 2) Gugon Tuhon used word aja ‘ don’t’ as preposition has meaning prohibit, 3) Gugon Tuhon used word yen ‘if’ and mundhak ‘cause’ seem parable, and 4) Gugon Tuhon used phrase Ora ilok ‘Unproper’ seem unproper to do.
Keyword        : Gugon Tuhon, Cultural Meaning
1.         PENDAHULUAN
Transmigrasi di tahun 1970an telah merubah wajah Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo tidak terkecuali untuk Desa Tirta Kencana. Latar belakang dari berbagai macam daerah dan kebudayaan menambah warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat dimana mayoritas penduduk berasal dari daerah Jawa. 37 tahun sudah Desa Tirta Kencana berdiri, ini merupakan usia yang tidak muda lagi. Kebudayaan penduduk yang berasal dari berbagai daerah Jawa memaksa mereka untuk melebur menjadi satu. Pernahkah kita berfikir bagaimanakah kebudayaan jawa di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang.
Walaupun kadang kala adat istiadat berbeda misalkan dalam hal pernikahan, kehidupan remaja, kelahiran anak maupun hukum adat. Namun nasihat – nasihat dari orang tua yang berasal dari Masyarakat Jawa atau yang disebut Gugon Tuhon tentu memiliki kesamaan. Gugon Tuhon merupakan salah satu nasihat – nasihat ataupun larangan dalam kehidupan masyarakat jawa. Menurut Subalindinata (Dikutip dalam Arifah, 2011, hal. 19) menjelaskan bahwa “Gugon Tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran – ajaran tersebut tidak jelas hanya samar –samar yang isinya berupa larangan, tujuan dari larangan tersebut adalah supaya tidak dilanggar”.
Dari pendapat diatas mengungkapkan bahwa Gugon Tuhon adalah sebuah ujaran yang mengandung larangan namun larangan tersebut tidak jelas walaupun tujuanya adalah untuk kebaikan. Seringkali kita mendengar nasihat orang tua terhadap anaknya Aja mangan nang lawan mengko lamarane balik ’Jangan makan di pintu nanti kalau dilamar, lamaranya kembali’. Nasihat tersebut memiliki makna agar tidak makan dipintu jika dikaji menurut makna kultural bahwa jika kita makan di depan pintu maka akan menghalangi orang berjalan.
Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 2012, Dalam Herawati, Hermintoyo, & Amin , Hal. 1). Menurut Marsono (2011, Hal. 36-40) yang menyatakan bahwa bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, “Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah merupakan bahasa yang digunakan untuk alat komunikasi penduduk Jawa yang tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan di beberapa daerah lainnya. Fungsi bahasa daerah yaitu: 1) sebagai lambang kebanggaan daerah, 2) sebagai lambang identitas daerah, dan 3) sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah”.
Namun nasihat – nasihat atau Gugon Tuhon sekarang ini sudah tidak lagi digunakan oleh para remaja, biasanya mereka menganggap ini adalah takhayul. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwadi, (Dalam Arifah, 2011, hal 19) “Gugon Tuhon yaitu percaya pada adat dan tahayul”. Karena salah satu ungkapan kenapa remaja menganggap ini takhayul dikarenakan setiap Gugon Tuhon tidak diberikan alasan – alasan yang kuat. Padahal, tanpa disadari Gugon Tuhon memiliki tujuan ataupun maksud yang baik untuk kehidupan kita. Dengan antusias pemerintah dalam melestarikan kebudayaan indonesia dengan membentuk slogan 100% Indonesia ataupun I Love Indonesia maka kita selayaknya pemuda harus mengetahui Kebudayaan indonesia terlebih dahulu.
Untuk meningkatkan pemahaman remaja mengenai tujuan Gugon Tuhon dalam masyarakat jawa maka saya tertarik untuk meneliti mengenai makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon itu sendiri. Sehingga diharapkan remaja mampu memahami tujuan Gugon Tuhon tersebut. Namun dikarenakan Gugon Tuhon ataupun nasihat dalam masyarakat jawa sangat banya yaitu mencakup semua aspek kehidupan maka saya akan membatasi permasalahan tersebut yaitu mengenai 1) makna kultural yang terkandung dalam Gugon Tuhon masyarakat Jawa mengenai kehidupan remaja Di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
2.         KERANGKA TEORI
2.1.      Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan dengan struktur makna suatu wicara. Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok (Griffiths, 2006, hal. 6). Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Berbagai jenis makna kata dikaji dalam ilmu semantik. Menurut Tarigan (1985, Hal. 7) semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Jadi semantik senantiasa berhubungan dengan makna yang dipakai oleh masyarakat penuturnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semantik adalah ilmu yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut.
2.2.      Pengertian Makna
Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Semantik berkedudukan sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna suatu kata dalam bahasa, sedangkan linguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa lisan dan tulisan yang memiliki ciri-ciri sistematik, rasional, empiris sebagai pemerian struktur dan aturan-aturan bahasa (Verhaar, Dalam Hilman, 2010, Hal. 22). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna suatu kata dalam bahasa dapat diketahui dengan landasan ilmu semantik.
Sastromiharjo (2011, hal. 50) berpendapat bahwa makna adalah maksud pengarang/ penulis terhadap peristiwa yang dituturkan. Poerwadarminta (dalam Pateda, 1988:45) mengatakan makna : arti atau maksud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Pateda, 2001:82) kata makna diartikan : (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Dari batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
2.3.      Makna Kultural
Makna Kultural adalah makna yang berhubungan dengan kebudayaan untuk memaknainya kita harus memahami konteks kebudayaanya (Palmer, dalam Arifah 2011). Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh makna dari setiap Gugon Tuhon kita perlu memahami konteks budayanya.
2.4.      Gugon Tuhon
Gugon Tuhon berasal dari dua kata yaitu ‘Gugon’ dan ‘Tuhon’ berasal dari kata ‘gugu’ yang mendapat akhiran [–an], yang mempunyai arti yang mudah percaya terhadap ucapan ataupun cerita, sedangkan ‘Tuhon’ berasal dari kata ‘tuhu’ yang mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai orang lain (Subalidinata, dalam Arifah, 2011, hal. 19). Gugon Tuhon dalam bahasa jawa biasanya dalam bentuk tuturan yang disampaikan sebagai bentuk nasihat atau larangan.
3.         METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini berdasar pada penggunaan data yang murni dan alamiah yang diperoleh dari lapangan, sehingga diperoleh hasil penelitian yang dapat menjelaskan realita yang sebenarnya (Sudaryanto, Dalam Rohim, 2013. Hal. 50). Metode penelitian menggunakan tekhnik simak libat cakap. Menurut Sudaryanto (Dalam Arifah, 2011, Hal. 37) “ tekhnik simak libat cakap adalah dimana peneliti menyimak pembicaraan calon data dan berpartisipasi dalam dialog.. Dengan kedua metode ini diusahakan peneliti dapat memperoleh data selengkap-lengkapnya, sebanyak data yang dikehendaki atau diharapkan. Dalam metode ini juga diperlukan teknik pancing yaitu memancing informan untuk berbicara serta tekhnik catat untuk mencatat setiap Gugon Tuhon yang diucapkan, dengan terlebih dahulu dipersiapkan daftar sejumlah pertanyaan sebagai panduan untuk mengarahkan peneliti memperoleh data akurat. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan atau data lisan pada Masyarakat Jawa yang tinggal di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
Untuk menganalisis data digunakan metode agih dan metode padan. Metode agih atau distribusional, yaitu metode analisis data yang alat penentunya dari dalam bahasa itu sendiri (Sudaryanto, Dalam Rustam, 2011, Hal. 3). Metode padan, yaitu metode analisis data yang alat penentunya di luar bahasa itu, dalam hal ini situasi pengguna bahasa (Djadjasudarma, Dalam Rustam, 2011, Hal. 3)

4.         HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.      Gugon Tuhon yang memiliki makna sebab akibat yaitu ditandai dengan kata Aja ‘jangan’ yang menunjukan larangan dan mundhak ‘nanti/menyebabkan’ yang menunjukan akibat.

Aja mangan karo turu mundhak bojone gembeng
‘Jangan makan sambil tidur nanti istrinya  pemalas‘
(Suroto, 42 tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna Kultural dalam masyarakat jawa mengenai Gugon Tuhon tersebut adalah larangan mengenai makan sambil tidur karena menandakan bahwa orang tersebut adalah pemalas. Jika seseorang tersebut di cap sebagai pemalas maka para perempuan tidak menyukai orang tersebut. Selaku laki – laki seharusnya tidak boleh malas karena nantinya akan menjadi contoh dalam berumah tangga. Namun dalam kondisi tertentu diperbolehkan makan sambil tidur yaitu ketika sakit.

Aja adus kesoren mundhak keneng putraning njala
‘Jangan mandi sore – sore nanti terkena putraning njala’
(Suroto, 42 tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna Kultural dalam masyarakat Jawa mengenai Gugon Tuhon tersebut adalah larangan mengenai mandi di sore hari sedangkan makna dari putraning njala adalah jauh jodohnya. Alasannya sore hari waktunya orang santai, berpakaian rapi dan berangkat sembahnyang. Jika pada sore hari belum mandi maka baik laki – laki maupun perempuan akan di cap sebagai orang yang tidak bersih ataupun jorok sehingga alasan tersebut yang membuat jauh jodohnya.

Aja mangan brutu mundhak lalinan mengkone
‘Jangan makan pantat ayam nanti menjadi pelupa’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan memakan pantat ayam karena dipercayai hal tersebut akan berakibat buruk pada seorang remaja yaitu menjadi pelupa sehingga akan menjadi pembicaraan orang nantinya, jika dilihat dari segi kesehatan pantat ayam banyak mengandung kolestrol sehingga tidak baik bagi kesehatan.

Aja nganggo klambi kewalik mundhak dadi omong uwong
‘Jangan memakai baju terbalik nanti menjadi omongan orang’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan menggunakan pakaian secara terbalik alasannya yaitu jika menggunakan pakaian terbalik itu di ibaratkan orang gila sehingga dapat menyebabkan menjadi banyak perbincangan bagi orang lain.

Gadis aja metu wengi mundhak elek mburine
‘Gadis jangan keluar malam nanti buruk akhirnya’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)

Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan keluar malam bagi perempuan/gadis karena mengakibatkan hal buruk pada akhirnya. Alasannya yaitu wanita rentan dengan hal – hal negatif jika keluar pada malam hari walaupun tidak melakukan hal negatif namun dapat menjadi bahan pembicaraan orang.

4.2.      Gugon Tuhon mengunakan kata Aja ‘jangan’ di depan memiliki arti larangan

Aja mangan karo kecap
‘Jangan makan sambil berkecap’
(Mbah Tarmo, 72 Tahun, petani, 21 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon adalah larangan mengenai makan sesuatu sambil berkecap menurut para orang tua makan sambil berkecap menandakan mereka tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan. Menurut Mbah Tarmo (Diwawancarai pada 21 November 2014) Biasanya, orang yang makan sambil berkecap mereka pada umumnya merasakan makanan terlebih dahulu namun jika tidak enak maka mereka tidak melanjutkan makan dan cenderung menghina. Gugon Tuhon ini sering diucapkan oleh orang tua kepada anak – anak maupun remaja dikarenakan agar memahami bahwa masyarakat jawa pada umunya tidak menyukai orang yang makan sambil berkecap.

Aja mlaku nang ngarepe wong tuo karo ngadek
‘Jangan berjalan di depan orang tua sambil berdiri’
            (Mbah Pahing, 63 Tahun, Petani, 23 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan berjalan di depan orang tua sambil berdiri alasanya yaitu karena tidak sopan dan selaku orang yang lebih muda kita harus menghormati yang lebih tua.

Aja mangan panganan nang nduwur piring ditumpuk
‘Jangan makan makanan diatas piring yang ditumpuk’
(Mbah Pahing, 63 Tahun, Petani, 23 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan memakan makanan di atas piring yang ditumpuk. Hal ini diyakini yaitu menyebabkan orang tersebut akan dituduh oleh orang lain dan tidak tahu penyebabnya. Menurut Mbah Pahing (Wawancara pada 23 November 204) mengungkapkan bahwa jika kita memakan makanan diatas piring yang ditumpuk kita akan tertuduh bahwa kita rakus dan tidak enak dipandang oleh orang lain.

Aja mangan karo mlaku
‘Jangan makan sambil berjalan’
                        (Mbah Wage, 55 Tahun, Petani, 25 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah larangan makan sambil berjalan.  Menurut Mbah Wage (Diwawancarai Pada 25 November 2014) bahwa orang yang makan sambil berjalan itu tidak memiliki rasa tenang dan terburu – buru hal ini menyebabkan tersedak bahkan penyakit. Untuk itu ketika makan kita perlu duduk ataupun santai dalam menikmati makanan.

Aja tangi turu nganti kedisitan ayam tangi
‘Jangan bangun tidur sampai didahului ayam bangun’
(Mbah Wage, 55 Tahun, Petani, 25 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut menurut masyarakat jawa yaitu kita harus bangun lebih pagi dikarenakan untuk mempersiapkan pekerjaan nantinya agar tidak terburu – buru, Gugon Tuhon ini juga memiliki makna bahwa jika kita bangun lebih pagi kita dapat melaksanakan sholat. Membiasakan bangun pagi merupakan sebuah rutinitas bagi masyarakat jawa pada umumnya yaitu membiasakan untuk disiplin dan tidak bermalas – malasan. Menurut Mbah Wage (Wawancara pada 25 November 2014) menyebutkan bahwa pada zaman dahulu masyarakat jawa pada umunya bangun lebih awal sebelum ayam berkokok digunakan untuk persiapan berjualan kepasar, memasak, sholat dan bersih – bersih rumah sebelum mereka bekerja.

4.3.      Gugon Tuhon menggunakan kata yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ memiliki makna perumpamaan

Yen nyapu seng resik mundhak bojone jembrang
‘Kalau menyapu harus bersih nanti suaminya brewokan’
                        (Mbah Castro, 80 Tahun, Petani, 27 November 2014)
Makna kultural dari Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita membersihkan halaman maka harus membersihkanya dengan sebaik mungkin karena tidak enak dipandang, jika masih ada kotoran digambarkan seperti halnya wajah yang memiliki banyak rambut tidak enak dipandang.

Yen iseh nom kerjone ojo males mundhak tuone rekoso
‘Kalau masih muda kerja jangan malas nanti tuanya menderita’
(Mbah Castro, 80 Tahun, Petani, 27 November 2014)
Makna kultural Gugon Tuhon tersebut mengajarkan pada kita bahwa kita harus giat dalam bekerja untuk mempersiapkan di hari tua, jika kita malas diwaktu muda maka dihari tua akan menderita. Karena pada masa muda tenaga kita masih kuat dan di masa tua tenaga kita mulai melemah.

Yen karo gadis ojo klayapan mundhak elek mburine
‘Kalau sama gadis jangan pergi kemana – mana nanti buruk akhirnya’
(Sakimin, 46 Tahun, Petani, 28 November 2014)
Makna kultural Gugon Tuhon tersebut mengajarkan kepada kita bahwa jika kita sedang bersama seorang gadis dan kita bawa berpergian kemana – mana maka akan menimbulkan hal buruk misalkan aib dan omongan orang – orang yang tidak baik pada kedua belah pihak. Untuk itu kita harus jaga jarak dan tidak terlewat batas karena akan merugikan diri kita.

4.4.      Gugon Tuhon mengunakan frasa Ora ilok ‘tidak pantas’ menandakan tidak sepatutnya dilakukan.

Ora ilok mbantah omongane wong tuo
‘Tidak pantas membantah omongan orang tua’
(Sakimin, 46 Tahun, Petani, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita dinasihati orang yang lebih tua tidak sepatutnya kita membantah dikarenakan omongan orang tua biasanya berdasarkan pengalaman dan baik untuk kedepannya.

Ora ilok mangan karo ngmong
‘Tidak pantas makan sambil berbicara’
(Suroto, 42 Tahun, Petani, 20 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika kita sedang makan tidak sepantasnya kita sambil berbicara selain kita tidak dapat menikmati makanan ketika makan sambil berbicara juga dapat menimbulkan kita tersedak.

Ora ilok lajang utowo gadis adus karo wudo
‘Tidak pantas bujang atau gadis mandi telanjang’
(Munjari, 46 Tahun, Guru, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah ketika mandi kita harus menggunakan kain untuk menutupi aurat tubuh hal ini berguna untuk mencegah hal yang tidak kita inginkan seperti menimbulkan hasrat/nafsu bagi seseorang yang melihatnya.

Ora ilok urusan dirampungne wayah wengi
‘Tidak pantas segala urusan diselesaikan pada malam hari’
(Munjari, 46 Tahun, Guru, 28 November 2014)
Makna kultural dalam Gugon Tuhon tersebut adalah kita tidak pantas menyelesaikan segala urusan pada malam hari. Menurut Mbah Castro (Diwawancarai pada 26 November 2014) mengungkapkan bahwa segala urusan sebaiknya diselesaikan pada pagi hingga sore hari dikarenakan pada malam hari adalah waktunya untuk beristirahat dan hari terasa pendek kadang kala tidak menghasilkan keputusan seperti apa yang di inginkan.

5.         PENUTUP
5.1.      Kesimpulan
Gugon Tuhon dalam masyarakat jawa di Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi memiliki berbagai bentuk khususnya untuk para Remaja. Sedangkan makna kultural Gugon Tuhon mengenai kehidupan remaja memiliki berbagai macam sesuai dengan kata dan juga frasa yang digunakan misalkan kata aja ’jangan’ dan mundhak ’nanti’ yang memiliki makna sebab akibat , aja ’jangan’ memiliki makna larangan, yen ‘kalau’ dan mundhak ’nanti’ memiliki makna perumpamaan, Ora ilok ‘tidak pantas’ memiliki makna tidak sepantasnya dilakukan.
5.2.      Saran
            Pada umumnya remaja kurang menyukai dengan nasihat – nasihat atau Gugon Tuhon masyarakat jawa. Jika dicermati dalam Gugon Tuhon memiliki tujuan untuk kebaikan kita dalam mengarungi kehidupan. Gugon Tuhon masyarakat jawa sangatlah banyak misalkan dalam hal Perjodohan, Kepemimpinan, Pernikahan, Anak – Anak, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti Gugon Tuhon lainnya. Sehingga walaupun kita bukan berada di daerah jawa aslinya diharapkan kebudayaan jawa tidak akan hilang.
6.         DAFTAR PUSTAKA
Arifah, Khairunnisa Noor. 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa Pada Wanita       Hamil Dan Ibu Balita Di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga; Suatu Kajian        Etnolinguistik. Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa: Universitas Sebelas Maret
Herawati, Deni, M. Hermintoyo, Mujid Farihul Amin. 2012. Afiks Pembentuk Verba Bahasa         Jawa Dialek Tegal Kajian Deskriptif Struktural. Jurnal Ilmu Budaya, Volume 1,            Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 1-7. (http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtekim,         diakses pada 15 November 2014)
Hilman, Muhammad. 2010. Analisis Semantik Pada Terjemahan Al – Qur’an (Surat Ad-    Dhuha dan Al - Insyirah) : Studi Komparatif Antara Terjemahan Mahmud Yunus           Dengan T.M. Hasbhy Ash Shiddieqy. Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora:            Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah.

Griffiths, Patrick. 2006. An Introduction to English Pragmatics and Semantics. Edinburgh:            Edinburgh University Press
Marsono. 2011. Morfologi Bahasa Indonesia dan Nusantara (Morfologi Tujuh Bahasa       Anggota Rumpun Austronesia dalam Perbandingan). Yogyakarta: Gadjah Mada         University Press.

Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa.

Rohim, Miftahur. 2013. Analisis Konstrastif Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab    Berdasarkan Kala, Jumlah, dan Persona. Skripsi Fakultas Bahasa Dan Seni:  Universitas Negeri Semarang

Rustam, 2011. Eufemisme Dalam Ungkapan Tradisional Daerah Melayu Jambi. Volume 13,          Nomor 1, Hal. 01-06 ISSN 0852-8349 Januari – Juni 2011

Sastromiharjo, M.Pd, Dr. Andoyo. 2011. Bahasa Dan Sastra Indonesia 1: SMA Kelas X.   Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

Baca selengkapnya
RESUME BUKU “TEORI, METODE, DAN TEKNIK PENELITIAN SASTRA” KARYA NYOMAN KUTHA RATNA

RESUME BUKU “TEORI, METODE, DAN TEKNIK PENELITIAN SASTRA” KARYA NYOMAN KUTHA RATNA

BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN
TEORI SASTRA
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep, proposisi, yang mempunyai korelasi, dan telah diuji kebenarannya. Pada umumnya teori dipertentangkan dengan praktik. Teori-teori yang tidak atau belum berhasil untuk diuji dalam prakti, dengan sendirinya belum bisa disebut sebagai teori yang valid. Objek mlahirkan teori, sebaliknya, teori memberikan berbagai kemudahan untuk memehami objek.dengan dibantu oleh metode dan teknik, teori meungkinkan ilmu pengetahuan berkembang secara lebih cepat.dengan ditemukannya metode dan teori, pengetahuan pada gilirannya berubah menjadi ilmu pengetahuan.menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977:175), penelitian terhadap karya sastra pada umumnya memanfaatkan teori-teori yang sudah ada. Secara genesis denngan demikian dalam proses penelitian teori diperoleh dengan dua cara, yaitu peneliti memanfaatkan teori terdahulu dan peneliti memanfaatkan teori yang dikemukakannya sendiri.
Sebagai alat, teori tidak harus selalu baru secara keseluruhan.kebaruan diperlukan dalam bentuk proses, sebagai modifikasi, cara-cara baru pada saat mempertemukan hakikat teori dengan objek. Srukturalisme adalah sebuah teori, yang secara genesis telah ada sejak zaman Aristoteles, tetapi secara terus menerus diperbaharui sepanjang sejarahnya, dan memperoleh bentuknya yanglebih sempurna. Teori-teori ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra, diadopsi melalui pemikiran para sarjana barat. Sifat-sifat teori sebagai berikut:
  1. Mudah disesuaikan dengan cirri-ciri karya yang akan dianalisis.
  2. Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
  3. dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis mapun berbeda.
  4. Memilki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
  5. Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Objek penelitian dalam hal ini karya sastra, memiliki banyak dimensi, aspek dan unsure. Dalam satu penelitian dimungkinkan untuk menggunakan lebih dari satu teori, sebagai metode triangulasi. Tujuannya jelas untuk memperoleh pemahamn yang lebih mendalam terhadap objek penelitian. Perbedaan antara objek dan teori, objek karya sastra ditafsirkan secara estetika, sesuai dengan prinsip-prinsip puitika sastra, sedangkan teori ditafsirkan secara logika, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengethuan yang bersangkutan.sebagai cara kerja teori dan metode terdiri atas konsep, proposisi, dan kerangka kerja. Dengan memanfaatkan teori dan metode tertentu maka dalam pemikiran oeneliti akan timbu kemampuan-kemampuan baru untuk memahami gejala yang sebelumnya sama sekali belum nampak.
Sebagai alat, teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih kongkret, yaitu metode dan teknik. Tujuan utama teori, dengan metode dan teknik, adalah mempermudah pemahaman terhadap objek sekaligus memberikan keluaran secara maksimal. Perkembangan ilmu pengetahuan tergantung dari perkembanganteori dan metode. Penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk social tertentu, kedua, teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan kreativitas.
Sebagai objek, khazanah sastra Indonesia terdiri atas dua macam, yaitu sastra lama (sastra Nusantara) dan satra modern (sastra nasional).berbeda dengan teori dan metode yang selalu dikaitkan dengan aspek-aspek kebaruannya, kemutakhirannya, objek karya sastra sepanjang sejarahnya dianggap memiliki kedudukan yang sama.aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok. Intensitas terhadap kebaruan teori disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: teeori merupakan alat dan cara penelitian, hasil penemuan dan iilmu pengetahuan. Karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai cara untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang saling melengkapi.pesatnya perkembangan teori sastra selam satu abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indicator, sebagai berikut:
  1. Medim utama sastra adalah bahasa.
  2. Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan
  3. Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles.
  4. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara, sebagai teori-teori yang baru.
  5. ragam sastra yang banyak dan berkembang secara dinamis.
Dalam ilmu sastra yang dimaksudkan dengan penelitian adalah untuk mengumpulkan data, menganalisis data, dan menyajikan hasil penelitian. Sebelum melakukan penelitian yang sesungguhnya, perlu disusun proposal atau rancangan penelitian. Pada dasarnya, butir-butir yang terkandung daam proposal hamper sama dengan penelitian yang sesungguhnya. Kualitas proposal, baik kelengkapan data maupun kesempurnaan teori dan metodenya berpengaruh besar terhadap penyelesain peneliti selanjutnya. Penelitian sastra mempertimbangkan cirri-ciri sebagai berikut:
  1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasi.
  2. Populasi dan sample tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu.
  3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
  4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat secara terus-menerus.
  5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tetapi wacana, teks.
BAB II
Paradigma Penelitian Sastra
Secara etimologis paradigma berasal dari bahasa latin (paradigma), berarti contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution,terbit pertamakali tahun 1962.
Menurut Ritzer (1980: 1-24), paradigma yaitu konsep-konsep dasar Kuhn itu sendiri, dibicarakan secara luas dalam berbagai ilmu pengetahuan sejak tahun 1970-an, dengan sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda beda, sesuai dengan disiplin yang bersangkutan. Pada dasarnya ilmu pengetahuan bersifat netral. Ilmuan mengadakan penelitian , yang kemudian disertai dengan penemuan-penemuan, tujuannya adalah untuk kesejahteraan umat manusia.
Dikaitkan dengan keberadaan subjek sebagai konsumen ilmu pengetahuan, maka pada umumnya yang lahir lebih dahulu adalah paradigma. Secara psikologis konsep-konsep yang mendukung lahirnya paradigma tertentu dalam diri subjek pada dasarnya telah ditanamkan sejak usia dini, yang kemudian memiliki pola-pola tertentu setelah subjek duduk di bangku sekolah. Sebagai pandangan hidup ilmu pengetahuan, selain factor-faktor dari dalam, seperti minat dan bakat , factor luar juga berpengaruh besar, seperti lingkungan dalam keluarga dan lingkungan di sekiternya.
Dengan adanya persamaan pandangan dalam hidup, khususnya dikalangan para ilmuan, maka akan terbentuk komunitas ilmuan tertentu, yang pada giliranya akan melahirkan sub komunitas, dengan pandanagan yang berbeda-beda, tetapi pada tingkat makro tetap menunjukan persamaan-persamaan. Dengan penjelasan di atas, maka paling sedikit ada tiga hal yang mempengaruhi perbedaan paradigma seorang ilmuan, sebagai berikut.
1. Unsur dalam diri sendiri.
2. Unsur luar berupa lingkungan fisik.
3. Unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Melihat luasnya penyebaran dan beragamnya konsep-konsep paradigma, baik dalam dunia ilmiah maupun kehidupan praktis sehari-hari, maka pembicaraan ini hanya membatasi perkembanganya dalam dunia ilmiah. Artinya paradigma dibicarakan dalam kaitanay dengan teori dan metode disatu pihak, sifat-sifat dasar objek yaitu karya sastra itu sendiri dipihak yang lain. Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak menimbulkan masalah sebab komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri yang relatif sama, konsep-konsep dasar yang memungkinkan subjek untuk menganalisis objek penelitian.
Dikaitkan dengan pentingnya peranan paradigma bagi seorang limuan dalam mengembangkan suatu disiplin tertentu, maka masalah yang perlu dikemukakan adalah bagaimana cara menentukan perbedaan paradigma seorang ilmuwan dengan ilmuan yang lain, demikian juga satu komunitas keilmuwan dengan komunitas yang lain. Secera filosofis, menurut Ritzer(1980:2-24), khusuanya dalam kaitanya dengan metode kualitatif paling sedikit ada empat faktor yang berpengaruh di dalamnya, sebagai berikut.
1. Faktor ontologis, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di antara masing-masing ilmuwan.
2. Faktor epistomtlogis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.
3. Faktor aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bebas nilai.
4. Faktor metodologis, keseluruhan proses penelitian , termasuk metode, teori dan teknik.
Paradigma individual dengan sendirinya merupakan pengalaman yang paling
singkat. Menurut Jung (1949: 377-380), isi pengalaman individual adalah pengalaman kehidupan sekarang, pengalaman individu selama hidup di dunia nyata, sebagai pengalan kehidupan sehari-hari. Sebaliknya paradigma kelompok diterima melalui kualitas spesies, termasuk kelas, ras, dan ciri genetik lainya. Pengalaman sekarang disebut material antogenesis, pengalaman masa lampau disebut material filogenesis.
Pengalaman paradigma menurut proposisi Kuhn dan pandangan dunia menurut proposisi Goldman memiliki akarnya jauh ke masa lampau, melampaui generasi, bahkan menjangkau hingga awal peradaban manusia.
Relevansi pengalaman paradigma terhadap sastra secara keseluruhan jalas berkaitan dengan hakikat karya, gejala kultural sebagai kualitas imaginasi dan kreativitas. Para ilmawan sastra sejak semula telah memahami bahwa karya sastrabukan kenyataan yang sesungguhnya.
Model pendekatan, seperti sosiologi sastra dan psikologi sastra, demikian juga pendektatan multi disiplin lainya jelas memerlukan pengalaman pradigma yang lebih kompleks. Sosiologi sastra misalnya, paling sedikit melibatkan dua bidang ilmu dengan hakikat yang berbeda, bahkan bertentatangan secara diametral, yaitu sosiologi dan sastra.
Dalam hubungan inilah diperlukan keluasan cakrawalapeneliti sehingga keseluruhan partikelbidang ilmu yang terlibat dapat ditarik sehingga terjadi kesatuan yang bermakna. Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai paradigma memeiliki segi positif, dengan pertimbangan sebagai berikut
1. Multiparadigma membuka cakrawala yang lebih luas, cara pamahaman ternyata tidak beraifat tunggal, melainkan plural.
2. Menghilangkan anggapan bahwa paradigma, seperti juga sebuah teori, dapat menjawab semua permasalahan.
3. Menciptakan saling menghargai pendapat, kelebihan, dan kekurangan orang lain.
4. Keberagaman paradigma jalas mengevokasi kebergaman khsanah kultural.
5. Prulalitas paradigma sesuai dengan semangat postruturalisme, teori modern yang memberikan perhatian pada hakikatmulti8kultural, dengan memberikan perhatian terhadap kearifan lokal.
Ilmu pemgetahuan dan aktivitas kreatif di indonesia, demikian juga negara-nagara yang sedang berkembang, belum menyamai dunia Barat.Tradisi, mitos, dogma, dan sebagai kepercayaanmasa lampau, khususnya masalah-masalah yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman , masih berpangaruh besar terhadap perkembanagan paradigma ilmu pengetahuan.
Penjelasan terhadap konsep-konsepparadigma sama pentingnya dengan teori, tetapi dalam penelitian konsep paradigma tidak muncul secara eksplisit. Demikian juga konsep-konsep yamg berkaitan dengan metodologi yang tidak pernah dipertimbangkan sebagai butir-butir penelitian.
BAB III
METODE, METODOLOGI, TEKNIK,
DAN PENDEKATAN
3.1 Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsiuntuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dupecahkan. Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Metodologi jelas mengimplikasikan metode, berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan dengan teknik-teknik penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika secara keseluruhan.secara definitive metode ddengan teknik tidak memiliki batas-batas yang jelas. Ada 3 cara yang dapat dikemukakan untuk membedakan antara metode dengan teknik, bahkan juga dengan teori, sebagai berikut:
a. Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya.
b. Dengan cara memperhatikan factor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakainnya.
c. Dengan cara memeperhatikan hubungannya dengan objek.
Sebagai alat teknik bersifat aling kongkret, sebagai instrument penelitian teknik dapat dideteksi secara inderawi. Struktur adalah teori sebab sudah menghasilkan sejumlah konsep dasar dan sudah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Relevansi sangat dirasakan, disatu pihak sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu engetahuan pada umumnya, terutama ilmu hmaniora.
Istilah lain yang juga menimbulkan perdebatan dalam dunia penelitian adalah pendekatan. Secara etimologis pendekatan juga berarti jalan, yaitu cara itu sendiri, tetapi perlu dijelaskan bahwa pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam pelaksaan penelitian, aspek-aspek yang muncul adalah teori, metode, dan teknik. Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya: metode intuitif, hermeneutika, formal, analisis isi, dialektika, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskriptif induktif.
1. Metode Intuitif
Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsure-unsur kebudayaan. Cirri khas metode intuitif ada;ah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala cultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta.
  1. Metode Hermeneutika
Dikaitkan dengan fungsi utma hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya tulis yang paling dekat dengan agama adlah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan karya sastra.
  1. Metode Kualitatif
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cirri terpenting metode kualitatif adalah:
a. Memberi perhatian yang utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sbagai studi cultural
b. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian.
c. Desai dan kerangka penelitian bersifat sementara sbab penelitian bersifat terbuka.
d. Lebih mengutamakan proses daripada hasil penelitian.
e. Penelitian bersifat alamiah.
  1. Metode Analisis isi
isi dalam metode analisis isi terdiri dari 2 macam yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi lar\ten adlah isi yang terkandung dalam dokunen dan naskah, sedanngkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi. Isi komunikasi pada dasarnya mengimplikasikan isi laten, tetpi belum tentu sebaliknya. Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran.
  1. Metode Formal
Metode formal adlah dengan mempertimbangkan aspek-aspaek formal, bentuk yaitu karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra daengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap aratistik. Cirri utama metode formal adalah aalisis terhadap unsure-unsur karya sastra, kemudian bagaiman hubungan antara unsure-unsur tersebut dengan totalitasnya.
  1. Metode Dialektika
Prisip-prisip dialektika hamper sama denngan hermenautika, khususnya dalam gerak spiral eksplorasi makna, yaitu penelusuran unsure ke dalam totalitas, dan sebaliknya. Yang membedakan adalah kontinuitas oprasionalisasi tidak pada level tertulis, tetapi diteruskan pada jaringan kategori social, yang justru merupakan maknanya secar lengkap.
  1. Metode Deskriptif Analisis
Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.analisis tidak semata-mmata menguraikan melainkan juga member pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif analitik juga dapat digabungkan dengan metode formal. Mula-mula data dideskripsikan, denngan maksud untuk menemukan unsure-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan.
3.2 Pendekatan dan Problematikanya
Pedekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri onjek, sedangkan metode adalah cara-cara mengimpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Tujuan metode adalah efisiensi, denngan cara menyederhanakan. Tujuan pendekatan adalah penagkuan terhadap hakikat ilmiah objek ilm pengetahuan itu sendiri. Model pendekatan sasrtra yang perlu dikemikakan, diantaranya, pendekatan biografi sasttra, sosiologi sastra psikologi sastra, antopologi sastra, histories, dan metopoik, termasuk pendekatan model Abrams,yaitu ekspresif, pragmatic, mimetic, dan objektif.
  1. Pendekatan Biogrfis
Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Subjek creator danggap sebagai asal usul karya sastra , arti sebuah karya sastra dengan demikian secara relative sama dengan maksud, niat, pesan dan bahkan tujuan-tujuan tertentu pengarang. Dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam pengarang, yaitu pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung, pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali unsure-unsur penceritaan, dan pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan imajinasi.
  1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan biografis menganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat. Dasar filosofis pendekatan sosilogis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah memberikan keseimbangan terhadap dua dimensi manusia, yaitu jasmani dan rohani.
  1. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.
  1. Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan kebudayaan. Antropologi kebudayaan dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Lahirnya antropologi didasarakan atas kenyataan, pertama, adanya hubungan antara ilmuantropologi dengan bahasa. Kedua, dikaiykan dengan tradisi lisan, baik antropologi maupun sastra sama-samamempermasalahkannya sebagai objek yang penting.
  1. Pendekatan Historis
Pendekatan histories mempertmbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen social. Tugas utama sastra adalah menempatkan karya sastra dalam suatu tradisi, tetpi bagaimana cara manempatkannya adalah tugs pendekatan, yang dibantu oleh teori dan mmetode. Dengan mempetimbangkan indicator sejarah dan sastra, maka beberaa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan histories, diantaranya, sebagai berikut:
    1. Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akinat proses penebitan ulang.
    2. Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
    3. Kedudukan pengarang pada saat menulis.
    4. Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.
  1. Pendekatan Mitopoik
Pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasullan hamper semua unsure kebudayaan. Pendekatan mitopoik buakanlah pendekatan gabungan yang tanpa arah, yaitu sebagai akibat terlalu banyak memasukkan data.
  1. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif banyak menggunakan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi, sebagai data literer. Untuk menjelaskan hubungan antara penganrang, semestaan, pembaca dan karya sastra, Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat komponen utama,dengan empat pendekatan, yaitu ekspresif, mimetic, pragmatic, dan objektif.
  1. Pendekatan Mimemis
Pendekatan mimemis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra. Pendekatan mimemis Marxis merupakan pendekata yang paling beragam dan memiliki sejarah perkembangan yang paling panjang. Pendekatan mimemis perlu dikembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah kebudayaan.pemahaman terhadap cirri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat meningkatkan kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan dan kecemburuan social.
  1. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan pragmatis memilki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasanny, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan.pendekatan pragamatis secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya tanpa batas.
  1. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu pada karya sastra itu sendiri.
BAB IV
TEORI-TEORI STRUKTURALISME
Strukturalisme yang telah berhasil untuk memasuki seluruh bidang kehidupan manusia, sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara histories perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap yaitu: formalisme strukturalisme dinamik.
4.1.Prinsip- prinsip antar hubungan
Dalam streukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya unsure- unsure sebagai cirri khas tersebut dapat berperan secara maksimal semata- mata dengan adanjya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan anatara hubungan unsur- unsur yang terlibat unsur- unsur pada giliranya memiliki kapasitas memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antar unsur.
Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi formalisme, ciri- ciri antar hubungan memperoleh tempat yang memada. Antar hubungan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala- gejala yang ditangkap. Suatu cerita menjadi menarik misalnya salah satu cara yang dilakukan pengarang adalah dengan mempercepat atau sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa meningkatkkan atau sebaliknya menurunkan frequensi pemanfaatan kata-kata tertentu .Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmayis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan 2 cara. Pertama menganalisis dengan unsu- unusur yang terkandung dalam karya sastra, kedua menganalisis karya melalui perbandingan dengan unsur- unsur diluarnya yaitu kebudayaan pada umumnya.
4.2.Teori formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara histories kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga factor
  1. fpralisme lahir sebagai akibat penolakan terhadap paradigma positivisme abad ke- 19 yang memegang prinsip kausalitas
  2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
  3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure merupakan langkah yang sangat maju dalam rangkan mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas dikotomi antara a) signifian(bentuk ,bunyi ,lambang, penanda) dan signifie ( yang diartikan, yang ditandakan sebagai pelambang) b) parole (tuturan, bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum- hukumnya telah disepakati bersama) c) sinkroni analisis (karya- karya sezaman) dan diakroni ( analisis karya dalam pekembangan sejarahnya)
4.3.Teori strukturalisme dinamik
Strukturalisme berasal dari kata structura, bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan.Menurut Teuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme sebagian besar dalam strukturalis.
Robert scholes (1977) menjelaskan keberadaan struktarisme menjadi tiga tahap yaitu: sebagai paradigma berpikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pasca struktiralisme, khususnya dalam dekonstruksi.
Secara strukturalisme berarti paham mengenai unsur- unsur yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubunganya, disatu pihak antar hubungan unsur yang satu debngan unsur lainya, dipihal lain hubungan anatara uynsur dengan totalitasnya. Selama lebih kurang setenfgah abad perkembangan strukturalisme telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik secara teori maupun metode, ciri- ciri yang cukup menonjol adalah lahirnnya brbagai kerangka dan model analisis,khususnya analisis fiksi
4.4.Teori semiotika
Secara definitif, menurut Paul Cobley dan litza Janz (2002:4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semion, yang tanda. Kehidupan manusia dipenuhi tanda, dengan pertantaraan tanda- tanda poroses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan tanda- tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya.Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1. Representamen,ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
a. qualisign, terbentuk oleh kausalitas: warna hijau
b. sinsigns terbentuk melalui realitas fisik
c. legisigns, berupa hukum: sura wasit dalam pelanggaran
2. Object yaitu apa yang diacu
a. ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa misalnya foto
b. indeks hubungan tanda dan objek karena sebab akibat
c. simbol hubungan tanda dan objek karena kesepakatan
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotius. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya sastra melalui dua tahapan sebagaimana ditawarkan oleh Rene dan Warren(1962), yaitu: a) analisis intrinsik ( analisis Mikrostruktur) dan b) analisis ekstrinsik (analsis makrostruktur).
4.4.1 Bidang- bidang penerapan
Sebagai ilmu semiotika berfungsi untruk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun tanda non verbal. Memahami sistem tanda, bagaimanacara kerjanya, berarti menikmati suatu kehidupan yang lebuih baik.Semiotik buydaya sebagaimana dijelaskan oleh aart van Zoest, jelas terlalu luas sebab apabila dikaitkan dengan salah satu defenisi kebudayaan sebab defenisi kebudayaan maka semua model semiotika termasuk ke dalam kebudayaan.
4.4.2 Semiotika satra
Tanda- tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis . Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenain tanda yang sangat kaya. Atas dasar luasnya gejala- gejala sastra yang ditimbulkan inilah maka lahir teiri yang khusus berkaitan denganya, seperti: teori ekspresif, pragmatik, resepsi, interteks,strukturalisme genetik.Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna tanda- tnda non verbal. Menurut van Zoest (1993 : 86), dalam teks sastra diantara ketiganya ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon yaitu:a) ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi kongkret atau visual,b) ikon diagramatis atau realisional, berdasarkan perssamaan struktur misalnya dua kenyataan yang didenotasijkan sekaligus.dalam bahasa indonesia simbol pada umumnya disamakan dengan lambang.
Dalam sastra, sistem simbol yang terpenting adalah bahasa.Sebagai prasarat komunukasi, Edmunt Leach (1976: 15) membedakan antara simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal meunjukan hubungan dengan dua gejala yang secara mekanis dan otomotis. Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a) antara penanda dan petanda tidak ada hubungan instreinsik sebelumnya, b) termasuk ke dalam kultural yang sama.
4.4.3 Semiotika sosial
menurut salah seorang pelopornya itu Haliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri dengan memberikan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai markostruktur . Semiotika sosial melangkah lewbih jauh disatru pihak mencoba memberikan penilaian pada gejala dibalik objek, dilain pihak memberikan kemungkinan untuk menjelaskan hakikat masyarakat dalam rangka multidisiplin, sebagai m,ultikultural.Struktural;isme sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitanya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis.
4.5.Teori strukturalisme genetik
Styrukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania. Strukturasme genetik memiliki im[plikasi yang lebih luas dalam kaitanya dengan perkembangan ilmu- ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldman sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi srtuktur bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas. Secara defenirtif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberiklan perhatian terhadap asal- usul karya. Secara ringkas berarti bahea strukturalusme genetik sekaligus memberikasn perhatian terhadap analisis instrinsik dan eksdtinsik.Secara sosiologis, menurut Hauser (1985: 139) senimanpun pada dasarnya ditentukan oleh lelas sosialnya.Pewrlu dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang lebih berwsifat afinitas, sebagaibbentuk ketertarikan terhadapsuatu masalah.
Secara definitif strukturalisme harus menjelaskan struktur dan asak- usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek trans - individual dan pandangan dunia.
4.6.Teori Strukturalisme Naratologi
Natarologi sengja diuraikan secara agak luas, dengan pertimbangan pertama, berbagai aspek berkaitan dengan ceritatelah mewarnai penelitian- penelitian baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan. Kedua, buku ini memang dimaksudkan untuk melengkapi literatur sastra dalam kaitanya dengan wacana naratif. Wacana naratif sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pencitraan. Secara historis menuru Marrie- Lauureryan dan van Al- phen, Natarologi dapat dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut:
1. Periode prastrukturalis (tahun 1960- an)
2. Periode strukturalis (tahun 1960- 198)
3. Periopde pascastrukturalis ( tahun 1980-an hingga sekarang).
4.6.1 Vladimir Lakovlevich Propp
Prop dianggap sebagai strukturalisme pertama yang membicarakan secara serius struktu naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzet. Objek penelitian Prop adalah cerita rakyat, seratuis dongeng Ri\usia. Oleh karena itu disebut usaha untuk menemukan pola umum plot dongeng Rusia, bukan dongeng pada umumnya.. Menurut Prop struktur naratif yang penting bukanlah tokoh- tokoh, melainkan aksi tokoh- tokoh yang selanjutnya.
4.6.2 Claude Levi- Straus
Levi- Straus lebih banyak memberikan perhatian pada mitos, dan menilai cerita sebagai kualitas logis, serta memberikan perhatian mitos pada setiap dongeng.Menurutnya, struktur bukanlash representasi atau subtitusi realitas. Struktur dengan demikian adalah realitas empiris itu sendiri, yang tampil sebagai reorganisasi logis, yang disebut sebagai isi.
4.6.3 Tzvetan Todorov
Dalam menganalisis tokoh- tokoh Todorof menyarankan untuk melakukanya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak, komunikasi, dan partisipasi.Menurutnya, objek forma puitika bukan interprerasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang terkandung dakam wacana. Dalam mesti mempertimbangkan tiga aspek yaitu: a) aspek sintaksis, meneliti peristiwa secara kronologis, b) aspek semantis, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh,dan latar dan c) aspek verbal, menelitiu sarana.Konsep Todorov yang lain adalah linguistik disejajarkan dengan sintagmatik dan paradigmatik atau sintaksis dan semantis.
4.6.4 Algirdas Julien Greimes
Natarologi Greimas merupakan kombinasi antara model paradigmatis Levi-Straus dengan model sintagmatis Prop. Objek penelitian Greimis toidak tebatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas padas mitos. Greimas memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam, deengan tujuan yang lebih umum, yaitu tata bahasa naratif iniversal. Dengan menolak aturan, dikotomi yang kaku sebagaimana dipahami oleh Strukturalisme awal dan tidak mementingkan aksi dari pada pelaku.
4.6.5 Shlomith Rimmon-Kenan
Rimon kenan juga menjelaskan bahwa wacana naratif meliputi keseluruhan kehidupan manusia. Meskipun demikian ia hanya mencurahkanb perhastianya pada wacana naratif fiksi. Atas dasar Rimon membedakanya menjadi story, text,dan naration. Story menunjuk pada peristiwa- pweristiwa , yang diabstrakan dari disposisinya dalam teks dan direkonstruksikan dalam orde kronologisnya, bersama- sama de ngan partisipan dalam peristiwa. Story merupakan urutan kejadian, dan text merupakan wacana yang diungkapkan atau ditulis, apa yang dibaca.
BAB V
TEORI-TEORI POSTRUKTURALISME
5.1 Hubungan antara postmoderisme dengan postruturalisme
Paradigma postruturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam, mengkaji objek. Sabagai cara yang baru, teori postruturalisme yang sudah berkembang selama kurang l;ebih setengah abad,sejak awal abad ke-20. Strukturalisme (Ritzer, 2003: 49-64) lahir sebagai reaksi terhadap model-model penelitian sebalimnya yang memperhatikan pada sejarah dan asal usul suatu gejala kultural, khususnya bahasa.
Teori sastra, sebagaimana teori-teori sebelumnya, seperti struturalisme, semiotika, resepsi, interteks, strukturalisme genetik, dan sebagainya, pada awal perkembanganya selalu menimbulkan berbagai masalah, antara yang menerima atau sebaliknya menolak. Pendapat lain (Stanley J. Grenz,2001:25-35) menyabutkan bahwa pelopor postmodernisme adalah Arnold Toynbee(1870-an), atasd dasar pertimbangan terjadinya pergeseran kebudayan Barat ke arah irosionalitas dan relativism. M<enurut Charles Jencks, bangunan tersebut merupakan simbol modernisme sebab dibangun atas dasar teknologi modern dengan tujuan menciptakan masyarakat utopis.
Sebagaimana mpdernisme, postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu, seperti : arsitektur, perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media masa, filsafat, bahasa dan seni, termasuk sastra. Apostmodernisme merupakan perkembangan positif modernisme, sedangkan postrukturalisme merupakan perkembangan struturalisme. Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling melengkapi, sebagai berikut:
1. Posmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2. Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus.
3. Perkembangan pesatinterdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.
5.2 Teori-teori Postmodernisme
Postmodernisme pada dasarnya masih meruoakan bagian integral zaman modern. Zaman purba yang lebih dikenal dengan zaaman klasik (dari kat classicus, yang secara etimologosis sesungguhnya berari besar atau utama), mulai dengan lahirnya penulis Ephos Homerus dengan karyanya yang terkenal Illias dan Odysse. Dalam kesustraan, tradisi sastra abad pertengahan, pengaruh-pengaruh kebudayaan klasikinilah yangmelehirkan aliran klasik.
Modern, dari kat modo (Latin), berarti baru saja, jelas sangat sulit unutk dikaitkan dengan zaman modern yanng berlangsung hampir selam 500 tahun. Oleh karen itulah, timbul pendaoat bahwa baik istilah modern maupun postmodern diartikan sebagai aktivitas pada saat suatu kemajuan brhasil untuk dicapai. Postmodernisme, misalnya terkandung dalam setiapaktivitas, dalam hubungan ini aktifitas modernisme, dimana di dalamnya terkandung suatu pembaharuan.
Modernisme dan postmodernisme dalam sastra berkaitan dengan ciri-ciri karya satra, sebagai aliran, bukan teori. Sebagai aliran medernisme dan postmodernisme, maka karya sastra tumpang tindih dengan seni lukis dan filsafat. Hubungan dengan gejaia pertama terjadi oleh karena keduanya dihasilkjan melalui sistem infirmasi dan tujuan estetika yang sama. Ciri-ciri yang mendasari perbedaan antara modernisme dan postmodernisme tidak menunjukan garis yang jelas, tidakhitam putih. Masalah-masalah masyarakat, khususnya karya seni tidak bisa dibedakan secara paradoksal dikotomis.
Timbulnya postmodernisme jelas merupakan akibat ketidakmampuan modernisme dalam menaggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Menurut Pauline M. Rosenau (1992:10), kegagalan tersebut paling sedikit meliputi lima aspek, di antaranya:
a) Kegagalan dalam mewujudkan perbaikan dalam berbagai bidang,
b) Modernisme gagal dalam melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas, misalnya, penggunaan refrensi-erfrensi yang mendahului penelitian,
c) Dalam perkembangan teori modern sering sering terjadi kontrdiksi antara teori dengan fakta,
d) Ilmu pengetahuan modern ternyata tidak mampu untuk menaggulangi kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologinya,
e) Ilmu pengetahuan modern terlalu menekankan pada dimensi fisik, mengabaikan dimensi mitis, dan metafisika yanglain.
Postmodernisme muncul untuk mengoreksi lineritas modernisme. Tujuanya jelas untuk mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain,the other, di luarnya, di luar wacana hegemoni. Konsekuensinya adalah Barat seolah-olah memaksakan agar dunia timur menyesuaikan diri dengan dunia Barat. Dalam hubungan inilahpostmodernisme mengemukakan konsep relativisme budaya sehingga gejala yang selama ini dianggap berada diluarnya dapat dipertimbangkan kembali.
Ariel Heryanto, 1994:83, postmodernisme dikritik dengan berbagai alasan, di antaranya: Postmodernisme dianggap sebagai relativisme, atausebagai sekedar metode kritik, dan tradisi sudah lama di Indinesia. Sebagai gerakan ysng bersifat relatif, maka postmodernisme dianggap menawarkan konsep apasaja bis tejadi,Postmodern juga dituduh terlalu sempit, dekonstruksi, misalnya, dianggap sebagai konsep yang menghancurkan segala sesuatu yang sudah ada. Postmodernisme lahir terlalu dini, sementara masalah-masalah yang berkaitan dengan modernisme pun belum tuntas, Postmodernisme sulit dipahami.
Ciri-ciri uatama postmodern (Linda hitcheon, 1992:60)dan dengan sendirinya juga postrukturalisme adalah penolakan terhadap adanya satu pusat, kemutalakn, narasi-narasi besar.metanarasi, gerak sejarah yang monolinier. Sebagia teori mutakhir yang lahir melalui keberagaman aspek kehidupan manusia, postmodernisme mencangkup berbagai bidang ilmu.
Klasissisme, modernisme, dan dengan sendirinya termasuk di dalamnya kjapitalisme, liberalisme kelompok borjuis, merxime, aliran romantisme dan eksistensialisme,menempatkan humanisme pada posisi yang utama. Arsitektur bukan semata-mata bagi penguasa melainkan bagi rakyat yang tertindas. Arsitektur hendaknya menghilangkan perbedaan antara elitisme dengan populisme. Dalam media massa mesti dipertimbangkan keterlibatab pemersa dan audiens pada umumnya.
5.3 Teori-teori postrukturalisme
Perbedaanantara postmodernisme dengan postrukturalisme, dilakukan atas dasar kepentingan oraktis. Secara historis, khususnya di Indonesia, keduanya muncul dalam periode yang sama. Secara etimologis, kususnya dalam kehidupan praktis sehari-hari keduaistilah hampir tidak dibedakan.
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme sendiri lahir melalui formalisme Rusia yangmulai berkembangawal abad ke-20 (1915-1030). Teori strukturalisme yang berkambang sejak tahun 1930-an (Selden, 1986: 72), setelah dievaluasikurang lebih etengah abad, maka sekitar tahun 1980-an direvisi oleh teori postrukturalisme, dengan mempersempit pretensi-pretensiilmiahnya.
Hubungan antara strukturalisme dengan postrukturalisme angatkompleks. Menurut Teeuw (1988:139-140) struturalisme dianggap memiliki kelemahan dengan alasan:
a) Karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari setrutur sosial,
b) Karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur sosial,
c) Kesangsian terhadap strukur objek karya,
d) Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya, dan
e) Karaya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya.
5.3.1 Teori Resepsi Sastra
Semiotika, resepsi dan interteks berkembnag pesat sesudah strukturalisme mencapai klimaks sekaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaanya, semiotika, melalui intensitas sistem tanda memberikan keseimbangan antara struktur intrinsik dan ekstrinsik, resepsi sstra memberikan perhatian pada pembaca, sedangkan intertekspada hubungan antarakarya yang satu dangan karya lainya. Peranan pembaca dan pembaca, khususnya dalam kehidupan praktis, seperti pidatoddan khotbah, tampil dalam bentuk retorika. Perbedaanya, retorika memberikan perhatian pada sarana-saran bahasa, sedangkan resepsi pada tanggapan-tanggapan pembaca. Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin) reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luasersepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya.
Resepsi sastra tampil sebagai teori dominan sejak tahun 1970-an, dengan pertimbangan: Sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang hanya dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur, timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali kemanusiaan, dalam rangka kesadaran humanisme universal.
Kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat dikembangkan melalui kompensi pembaca. Kasadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca. Kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca.
Dalam penalitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk:
a) Resepsi secara sinkronis
b) Rsepsi secara diakronis.
Hubungan resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi terjadi karena baik resepsi sastra maupun interteks mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih.
5.3.2 Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan sabagai jarngan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Pemahaman secara intertektual bertujuan untuk menggalisecara maksimal makana-makna yang terkandung dalam sebuah teks. Menrut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu: Membaca dua teks atau secara berdampingan pada saat yang sama.
Hanya membaca sebuah teks tetapi di latarbelakangi oleh teks-teks lain yang suada pernah dibaca sebelumnya.
Interteks dianggap berutang terhadap prinsip-prinsip dialog. Prinsip-prinsipdialogis (Bakhtin, melalui Todorov, 1984:96-98) dianggap sabagai konsep yang penting dalam interaksionisme simbolis, yang dengan sendirinyatidak bisa dijelaskan secara keseluruhan oleh perapektif mekanis dan biologis, dan bahkan juga psikologis.Perspektif dialogis memberikan kemungkinan yang palingluas untuk membongkar kompleksitas setruktur naratif, sistem wacana, domonan autorial, dan siara-suara monologis yang lain.
Menurut Selden (1986:130-131, ada lima maslah yang biasanya muncul dalam kaitanya dengan teori feminisme, yaitu:
a) Masalah biologis
b) Pengalaman
c) Wacana
d) Ketakadaran
e) Masalah sosiaekonomi.
5.3.3 Teori Feminis
1. Luce Irigasi
Luce Irigasi (Lechte, 2001: 248) mengemukakan argumentasinya dengan menolak pendapat Freud dan Lacan, Yaitu: yang real, yang simbolikdan yang imajiner.Sebagai seorang ahli bahasa, Irigasi memusatkan perhatianya pada sizofrenia,yang dianggap sebagai bahasa pribadi atau idiolek, yang pada dasarnya mengikuti aturan linguistikmmeskipun secara terus-menerus dilanggar.
Kebudayaan Barat (Sarup, 2003:204) melihat seolah-olah hanyaada satu jenis kelamin laki-laki, perampuan adalahlaki-laki yang tidak sempurna. Menurut Irigasi, perempuan adalah laki-laki yang terkatari, laki-laki yamg dikebiri.
2. Julia Kristeva
Dalam kritik sastra, Julia Kristeva lebih dikenal sebagai pelopor teori interteks. Kristeva bergabung dalam kelompok Tel Quel pimpinan Philippe Sollers, yang kemudain menjadi suaminya. Menurut Kristeva (Lechte, 2001: 223) ruang tempat dimankanyadinamika subjektivitas disebut ruang artistik. Ada hubungan timbak balik ciri-ciri artistikdalam mambangun subjek, sebagaimana subjek membangun karya seni. Karya seni dengan demikian merupakan landasan pengalaman autentikyang mampu membuka jalan demisuatu perubahan kepribadian.
3. Helena Cixous
Helena Cixous (Moi, 1985: 104) adalah seorang novelis, penulis darama, sekaligus kritikus peminis. Pusat perhatian Cixous ada dua macam, Yaitu:
a) Hegemoni oposisi biner dalam kebudayaan Barat.
b) Praktik penulisan feminim yang dikaitkan dengan tubuh.
Cixous ( Moi, 1985: 114) lebih jauh membicarakan hubungan esensial antara tulisan perempuan dan ibu sebagai sumbar dan asal mausal suara yang terdengar dlam semua teks perempuan. Feminitas dalam tulisan merupakan hak istimawa suara tak bisa dipisahkan , keseluruhan pembicaraan peremouan adalah suara perampuan. Secara fisikal perempuan mematrealisasikan apa yang di pikirkan , ia memaknakannya dengan tubuhnya.
4. Donna L Haraway
Donna Harraway(1991:150) merupakan kritikus feminis dengan sudut pandang dan argumantasi yang berbeda. Salah satu aspek yang perlu dikemukakan di sini ada;ah kegairahanya dlam mendukung dan memanfaatkan proyek teknologi modern, yaitu cyborg. Cyborg, inhumanisme pada umumnya telah telah menjadi wacana bagi lyotard. Cyborg adalah personalitas dan kolektivitas postmodern yang dapat dibongkar dan dirakit ulang . Hakikat manusia bukan karakteristik yang suadah selesai, melainkan sebagai hasil kontruksi, maka ia dapat dirakit ulang. Feminisme, yangsecar terdisional disebut emansipasi wanita, baik sebagai aksi politik maupun intelektual, mewarnai bidang-bidang pergerakan kebudayaan, khususnya kritik sastra.
5.3.4 Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasala sari kata ’post’ dan kolonial, sedangkan kat kolonial itu sendiri berasaldari akar kata colonia, bahasa romawi, yang berarti tanah pertanian tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainya. Dikaitkan dengan teori-teori postmodernisme yanglain, studi postkolonial termasuk relatif baru. Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori postkolonialisme lahir.
Secara definitif (Bill Ashcroft, dkk, 2003:XXII-XXIII) teori postkolonial lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaanya. Teori piostkolonial mencakup seluruh khasanah satra nasional yang yang pernah mebalami kekuasaan imperial sajak awal kolonisasi hingga sekarang. Kebehasilan Erpoah modern dalam menguasai kolonial-kolonialnya tidak semat-mata diakibatkan oleh kekuatan fisik. Analisis wqacana poskolonial bisa digunakan, di satupihak untuk menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan , sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihaklainmembongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya.
Salah satu sastra Indonesia modern, yaitu sastra Balai Pustaka, di mana pemeruntah kolonial terlibatsecar langsung dalam proses penciotaan, sebagai lembaga sensor, diduga mengandung aspek-aspek yang dapat di klaji melalui teori postkolonial.
Visi tradisional sebagian besar menganggap bahwa karya satra tidak bisa digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui perubahan masyarakat tertentu bekerja, dan sebagainay. Palnig sedikit terkanding empat alasan mengapa karay sastra dianggap tepat untuk dinanalisis melelui teori-teori postkolonial.
1) Sebagai gajala kulturalsastra menampilkan sistem komunikasi anatra pengirim dan penerima.
2) Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan emosionalitas dan intelektulitas, fiksi dan fakta karya sastra adalah masyarazakta itu sendiri.
3) Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaliats poraritas adalah
4) Berbagia masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis,terselubung sehunggatujuan-tujuan yang sesunggunya tidak tampak.
5.3.5 Teori Dekonsteruksi
Dekonntruksi dibicarakan pada bagian terakhir diantara teoti-teori postrukturalisme dengan pertimbangan bahwa dekontruksi mewarnai teori-teori knontemporer sebagaimana telah dibicarakan di depan, seperti: resepsi sastra, interteks, feminisme, postkolonialisme, dan naratologi postrukturalisme. Secara leksikal ’de’ berari penurunan, pengurangan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara ppengurangan terhadap suatu intensitas kontruksi, yaitu gagasan, bangunan,dan suunan yang sudah baku, bahkan univrsal.
Pada dasarnya dekonstruksi sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983: 86-87)dalam kaitanya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadapprisipsebab akibat.
Nietzche manjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal, melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Menurut Derrida, kelompok postrukturalisme pada umumnya, memendang masalah yang pokok yang perlu dikemukakan,dan dengan sendirinya merupakan tujuan utamanya adalah penolakan terhadapa adanya satu pusat.
Derrida (Spivak, 1976: XIII) menjelaskan peristiwa di atas denga istilah differEnce duan kata yang ucapanya hampir sama tetapi cara penulisanya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Konsep Saussure yang juga dikonstruksi oleh derrida adalah doktrin hierarki ucapan lisan ,yang pada dasarnya memenadangucapan sebagai pusat, sedangkan tuluisan ebagai nonpusat.
Menurut Norris (1983: 28-29) cara-cara berpikir Derrida eperti di atas dianggapsebagai konfrontasi fondamental, cara-cara berpikiryang dapat mengubah tradisi intelektuak yang sudah terjadi selama ribuan tahun. Perkenalan dunia Barat dengan non Barat secara keseluruhan didasarkan atas superioritas hegemonis, baik sebagai akibat perkembangan proyek pemecahan kapitalisme sejak abad ke-18, meaupun perkembangam teknologi dan komunikasi abad ke-20.
Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden White dalam bukunya Tropics Discourse (1978). Menurut White, sejarah tidak seratua persen objektif sebab sebagaimana pun sejarawan menyusun suatu cerita ke dalam suatu struktur, menceritakan kembali dalam suatu polt.
5.4 Teori Postrukturalisme Naratologi.
Karya sastra menjadi berbeda, sekalius rumit dan kompleks, sehingga berbeda dengan deskripsi-deskripsi yang lain, dan dengan demikian memerlikan pengetahuan
tambahan. Untuk memehaminya adalah sebagai akibat peranan struktur naratif. Struktur naratif sastra, Sebagai setruktur naratif fiksional, jelas memeiliki cara-cara khas yang berbeda dengan pengertian setruktur naratif secara umum. Secara historis naratif dalam khazanah sastraBarat (Noth, 1990: 369) dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles, dengan membedakan secara dikotomis antara mythos dan mises. Menurut tradisi Aristoteles, mithos adalah plot itu sendiri, yang didefinisikan sebagaistruktur cerita dengan ciri temporaldan kualitas. Salah satu unsur karya dalam setruktur naratif yang selalu menjadi pembicaraan hangat adalah plot.
1. Wacana dan Teks
Dalam kaitanya dengan wacana dan teks, istilah yang perlu dijelaskan sebab sering menimbulkan permasalahan adalah perbedaan dengan naskah dan karya. Dalam hubungan ini, dengan mengambil analogo dan bidang filologi, perlu disepakati bahwa pengertian naskah sama dengan karya.
Setia unit wacana, baik besar amupun kecil, jelas memiliki bentuk, sebagai struktur tertentu. Wacana diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu, positif atau negatif, sebagai fungsi. Akhirnya, wacana akan menampilkan makna, hasil-hasil yang telah dicapaioleh bentuk fungsi.makna karya sastra makna disimpulkan sebagai kualitas estetis, proses kenikmatan tertinggi yang dirasakan oleh pembaca.
2. Tokoh-tokoh Strukturalisme
a. Gerard Genette
b. Gerald Prince
c. Seymor Chatman
d. Jonathan Culler
e. Roland Barthes
f. Mikhail Mikhailovich
g. Hayden White
h. Mary Louise Pratt
i. Jacques-Marie Emile Lacan
j. Michael Foucault
k. Jean-Francois Lyotard
l. Jean Baudrillard
BAB VI
TEORI-TEORI KOMUNIKASI
DALAM KARYA SASTRA
Salah satu cirri karya sastra yamg sangat penting adlah fungsinta sebagai system komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui : a) inteaksi social, b) aktivitas bahasa, dan c) mekanisme teknologi. Komunikasi dalam sastra penting sekaligus rumit sebab, a) karya sastra merupakan model kedua, dan b) karya sastra pada dasarnya sekaligus memanfaatkan ketiga unsure diatas.
6.1 Ciri-ciri Anonimitas Pengarang
Padaumumnya masyarakat memberikan perhatian terhadap kualitas kepengarangan sebagai makhuk berfikir, sebagai homo sapicus. Kualitas manusia berfikir tidak dengan sendirinya, dan tidak secara keseluruhan lebih penting dibandingkan dengan kualitas manusia bercerita. Menurut Plato pengarang hanya berhasil untuk meniru kenyataan sehingga karya seni yang dihasilkan lebih rendah dari kenyataan. Sebaliknya, menurut Aristoteles, melalui penafsiran karya seni dapat meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai katharsis. Pengarang adalah anggota masyarakat, memperoleh pengetahuan melalui masyarakat, dan yang terpenting menyajikan sudut pandang sesuai dengan masyarakat yang mengkondisikannya. Secara factual pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menentukan.tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Tanpa pengarang fakta-fakta social hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan. Kemapuan pengarang dalam menghasilakn karya sastra disebabkan oleh perbedaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas.
Beberapa cirri ang harus dimiliki oleh pengarang, diantaranya : a) pengarang harus memiliki keterampilan menulis, b) pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan penglaman, c) pengarang harus memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas, d) pengarang harus memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan, dan e) harus memiliki kekuatan imajinasi. Dikaitkan dengan subjek yang lain, seperti ilmuwan, jelas perlu dtelusuri mengapa mereka melakukan penelitian, mengapa mereka mengarang. Ada tiga indicator yang memicu aktivitas menngarang, diantaranya: a) keinginan untuk mengadakan ekspresi, b) kinginan untuk melahirkan bentuk, dan c) keinginan untuk mendidik masyarakat. Dilihat dari tanggung jawabnya, tugas ilmuwa da seniman pad adaarnya sama, yaitu membawa manusia pada tingkat kehidupan yang lebih baik, sbagai tanggung jaawab moral.
Kearifan pengarang bukan semata-mata menyatakan kerinduan, sebagai nostalgia, tetapi yang lebih bermakna adlah funsi-fungsiny sebagai subjek dalam menggali sekaligus memprkenalkan kearifan local. Karya sastra yang dihasilkan dengan demikian adalah warna-waran local yang selama ini sering bahkan selalu terlupakan. Kasus lain yang sukup menarik adalah penggunaan nama-nama samaran. Hal ini bertujuan untuk merahasiakan nama yang sesungguhanya yang digunakan dalam dunia criminal. Di pihak yang lain nama samaran sekaligus mengimplikasikan kematian pengarang yang dilakukan secara langsuang melalui subjek yamg bersangkutan.
Pengarang ada sua macam yaitu pengarang dengan kemampuan bakat dan pengarang dengan kemampuan pengalaman. Menurut teori kontemporer, bakat dan lingkungn sekaligus menjadi pusat, sehingga pusat ada di mana-mana, kekuatan menyebar, sehingga terjadi keseimbangan diantara keduanya. Peranan pendidikan dalam mengarang disebabkan karena aktivitas mengarang harus disertai dengan keterampilan menulis, jadi, dilakukan setelah dewasa. Cirri khas dunia karang mengarang terletak dlam kmampuan berbahasa sebab sebagai medium karya sastra, berbeda dengan medium yang lain, seperti seni lukis dan seni rupa. Genre utama sastra adalah prosa, puisi dan drama, secara umum pengarang lebih tertarik pada prosa, khususnya novel, baik novel sastar maupun novel popular. Novel memanfaatkan bahasa biasa, bahasa sehari-hari, yang juga merupakan factor penting dalam kaitannya dengan minat penulis.
6.3 Karya satra: fokalisasi atau sudut pandang
Unsur terpenting dalam karya sasatr adalah pengarang sebab tanpa pengarang tidak ada karya, tetapi perlu disadari bahwa teiori sastar kontemporer telah menemukan cara-cara baru dalam memahami unsure-unsur secara keseluruhan secara lebih baik. Manfaat sudut pandang yang sangat praktis dapat ditunjukan dslam seni lukis, dimana suatu objek akan menunjukkan kualitas yang berbeda apabila dilihat melalui sisi yang berbeda. Sudut pandanglah yang menentukan kualitas objek sehingga dapat dipahami eksistensinya dalam membangun plot, tema, dan pandangan dunia. Masalah yang sama apabila dilihat melalui sudut pandang yang berbeda akan menghasilakn arid an makna yang berbeda.
Fokalisasi dari kata focus, yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Menceritakan sesuatu pasti menyangkut fokalisasi. Artinya, menceritakan sesuatu past dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator. Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka: a) memisahkan hegemoni subjek creator terhadap subjek fiksional, b) menampilkan hakikat intersubjektivitas. Pada dasarny sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu; a) sudut pandang orang pertama atau sudut pandang berperan serta, dan b) sudut pandang orang ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak berperan serta.
6.3 Pemahaman: jenis dan peranan
Menurut Teeuw (1988: 189-193) peranan pembaca secara jelas dikemukakan oleh Mukarovsky dan Vodicka yang dipertegas oleh Jaus (1985). Penelitian didasarkan atas kegagalan sejarah sastra tradisional yang didasarkan atas: a) sejarah sastra universal, sejarah sastra berbagai pelaksanaan kehandak Tuhan, b) sejarah sasatra nasional. Sejarah sastra sebagai milik bangsa, dan c) sejarah sastra yang didasarkan atas rangkaian periode. Atas dasar kegagalan itulah Jausz menyimpulkan sejarah sastra sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan peranan pembaca. Bentuk, fiungsi, dan makna karya sastra tidak tetap, melainkan selalu berubah-ubah, sesuai dengan penerimaan pembaca. Fungsi terpenting dominasi pembaca adalah kemampuannya untuk mengungkapkan kekayan karya sastra.
Pembaca jelas berbeda-beda, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas social, dan wilayah geografis.karya sasatra dapat mengantisipasi keragaman pembaca tersebut sebab karya sastra terdiri atas berbagai jenis, sedangkan jenisnya pun tidak statis, melainkan selalu berubah-ubah. Menurut Luxemburg, dkk (1984: 76) pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) pembaca di dalam teks, dan b) pembaca di luar teks.
BAB VII
Teori dan Metode Penelitan Multidisiplin
Sudah sangat banyak dilakukan penelitian monodisiplin, baik yang sudah dipublikasikan maupun masih tersimpan di berbagai lembaga, khususnya perguruan-perguruan tinggi. Dengan pusat perhatian pada unsur-unsur, sekaligus melepaskan karya daari relevansi masyarakatnya, sturkturalisme mengarahkan penelitian hanya pada aspek-aspek tertentu, seperti: tokoh, tema, plot, gaya bahasa, sudut pandang, dsb. Khasanah sastra secara keseluruhan disebut sebagai sastra nusantara atau sastra di Indonesia.
Keragaman sastra mengimplikasikan keragaman latar belakang social budayanya. Sastrawan, sejarawan, sosiolog, antropolog, dan ilmuan yang lain secara bebas memasuki stiap aspek kehidupan tanpa perlu merasa khawatir akan kehabisan objek kajian.
Keragaman sastra, khususnya sebagai perwujudan genre, dengan sendirinya memerlukan bentuk dan cara-cara pemahaman yang juga berbeda. Sampai saat ini, jenis karya sastra yang banyak dianalisis adalah sastra modern, khususnya novel. Karya sattra mengandung aspek-aspek cultural, bukan individual. Benar, karya sastra dihasilkan oleh seorang pengarang, tapi masalah-masalah yang diceritakan adalah masyarakat-masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa pengarang adalah wakil masyarakat, pengarang sebagai konstruksi transindividual bukan dirinya sendiri. Keragaman aspek-aspek kebudayaan dapat diungkapkan secara maksimal apabila tersedia cara-cara pemahaman, model-model analisis, dan dengan sendirinya dengan teori metodenya masing-masing.
Pengertian multidisiplin perlu dibedakan, pertama, dalam kaitannya dengan disiplin baru sebagai lembaga yang permanen, kedua, dalam kaitannya dengan aktivitas penelitian. Dalam perkembangan terakhir, ilmu social dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ilmu social itu sendiri dan ilmu kemanusiaan yang disebut humaniora. Ilmu-ilmu social, diantaranya : sosoiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik, sedangkan yang dimasukkan sebagai ilmu-ilmu humaniora, diantaranya: linguistic, kesusastraan, kesenian, sejarah, hokum, filsafat, teologi, dan filologi. Dalam hubungan inilah dibedakan tiga macam multidisplin, yaitu:
1) Multidisiplin itu sendiri
2) Transdisiplin atau antardisiiplin
3) Krosdisiplin atau interdisiplin
Dalam model penelitian pertama kedudukan ilmu relative sama, hubungan masing-masing ilmu relattif longgar. Kompleksitas aspek-aspek kebudayaan, pesatnya perkembangan teknologi mutakhir, dan banyaknya aspek-aspek negative maupun positif yang ditimbulkannya, memungkinkan timbulnya berbagai kajian interdisiplin. Futurology dan cybernetics (The Liang Gie, 2003:185-186) misalnya, dikembangkan atas dasar lintas bidang-bidang yang semula dianggap tidak mungkin dipertemukan.
6.3 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke 18, ditandai dengan tulisan madame de stael (Albrecht, dkk., eds., 1970:ix;Laurenson dan Swingwood, 19972:25-27)yang berjudul de la literature cinsideree dans ses rapports avec las institusions socielis(1800). Ada tiga indicator tertentu dalam kaitannya dengan lahirnya satu disiplin yang baru diantaranya :
1) Hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan perlu dipecahkan
2) Adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya
3) Adanya pengakuan secara institusonal
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai infolusi. Analisis strukturalisme dianggap mengbaikan relefansi masyarakat yang justru merupakan asal usulnya.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memilikimkaitan erat ddengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sbb:
1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tertulis, dipinjam melalui kompetisi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-isdiadat, dan ttradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citradirinya dalam suatu karya.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya satra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan.
Fungsi bahasa sebagai bahasa sastra jelas membawa cirri-ciri tersendiri. Artinya, bahasa sastra adalah sehari-hari itu sendiri, kata-katanya dengan sendirinya terkandung dalam kamus, perkembangannya pun mengikuti perrkembangan masyarakat pada umumnya.
Diantara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsure-unsur social. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya:
1. Novel menampilkan unsure-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas.
2. Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.
Dikaitkan dengan visi sastra modern, kematian pengarang, karya sastra sama seperti ilmu social yang lain, bukan milik pengarang.
Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat. Sastra lama, seperti Mahabharata dan Ramayana, sastra sejarah, kaya dengan etika dan filsafat kehidupan. Karya sastra balai pustaka mengandung masalah kawin paksa, karya sastra pujangga baru mengandung masalah nasionaliisme, karya sastra lekra mengandung ideology marxisme. Embrio nasionalisme terkandung dalam kumpulan puisi Tanah Air (Muhammad Yamin), embrio emansipasi wanita terkandung dalam layar Terkeembang (Sutan Takdir Alisyahbana)/ priyayi jawa terkandung
Terkandung dalam para priyayi(umar kayam), ronggeng dukuh paruk(Ahmad Tohari), ceti terkandung dalam Ni Rawit ceti penjual orang(Panji Tisna), kasta dalam tarian bumi (Oka Rusmini)
Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Yang perlu diperhatikkan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.
Penelitian interdisiplin memanfaatkan teori-teori yang berasal dari masing-masing ilmu yang besangkutan. Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra sudah menjadi suatu disiplin yang baru, yang dengan sendirinya sudah dievaluasi sepanjang periode perkembangannya, maka sosiologi sastra pun mencoba menciptakan teori-teori yang secara khas lahir melalui kombinasi sastra dan sosiologi.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adlah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarrakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sbb:
1. Menganalisis masalah-masalah social yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkanya dengan kenyataan yang pernah terjadi.
2. Sama dengan diatas, tetapi dengan cara menemukan hubungan-hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu,
6.3 Psikologi Sastra
Pada dasarnya, baik sosiologi sastra dan psikologi sastra, maupun antroopologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya. Secara definitif, antropologi sastra dengan sendirinya membicarakan karya sastra dalam kaitannya dengan manusia dalam masyarakat, lebih khusus lagi manusia sebagai asal-usul bahasa. Sosiologi sastra pada umumnya, khususnya strukturalisme genettik tidak pernah menganggap asal-usul karya sebagai manifestasi pengarang individual. Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis. Secara definitif, tujuan psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu:
1. Memahami unsure-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis
2. Memahami kejiwaan unsure-unsur tokoh fiksional dalam karya sastra
3. Memahami unsure-unsur kejiwaan pembaca.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsure-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan mennempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis.
Psikologi sasstra, model peenelitian inrerdisiplin denngan menetapkan karya sastra sebagai memiliki posisii yang lebih dominan. Psikologi sastra jelas tidak bermaksud unntuk membuktikan keabsahan teori psikoologi, misalnya dengan menyesuaikan apa yang dilakukan oleh teks dengan apa yang dilakukan oleh pengarang.
6.3 Antropologi Sastra
Salah satu factor yang mendorong perkembangan antrropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernest Cassirer (1956:44) manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikkat manusia sebagai semata-mata animal ratiole. Dalam teori kontemporer, ddominasi pikiran pun perlu didekonstruksi, sehingga system symbol, termasuk suku symbol primitive dapat dimanfaatkan dan diartikan. Secara definiitif antropologii sastra adalah studi mengeani karya sastra dengan relevansi manusia. Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam. Yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural. Maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia.
Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat Negara-negara colonial, khususnya inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non Eropa dalam rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Antropolgi sastra merupakan pendekatan inerdisiplin yang paling baru dalam ilmu sastra. Lahiirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab. Yaitu:
1. Baik sastra maupun antropologi menanggap bahasa sebagai objek penting
2. Kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya
3. Kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos’
Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Ketiga interdisiplin mempermasalahkan manusia dalam masyarakat, sekaligus memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Antropologi sastra cenderung memusatkan perhataiannya pada masyarakat kuno.sedangakan sosiologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat modern, masyarakat kompleks. Antropologi sastra padaa dasarnyya sudah terkandung dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam kaitannya dengan mitos.
Sejarah, psikologi, dan anttropologi masing-masinng dapat diakses dalam citra arketipe. Lahirnya studi multicultural, prostukturalisme pada umumnya, mendorong inensitas studi interdisiplin. Antropologi sastra mempermasaahkan karya sastra ddalamn hubungannya dengan manusia sebagai hasil kebudayaan.
Sama seperti sosiologi sasstra dan pssikologi sastra, analisis yang berkaitan dengan antropologi sastra yang dimaksudkan adalah karya sastra itu sendiri, dengann memanfaatkan teori dan data antropologi. Dengan adanya inttensitas pada manusia Dalam kebudayaan tertentu, anttrropologi sastra memiliki relevansi dengan sastra warna local, jenis karya yang selama ini belum banyak menarik minat, khususnya sebagai sastra kreatif. Antrropologi sastra, selain memiliki kaita dengan penelitoan postcolonial, jelas memiliki relevansi dengan postrukturalisme itu sendiri, dengan cara mengangkat hasanah karya sastra regional.
Secara praktis atropoloogi sastra diharapkan dapat membantu memperkenalkan khazanah sastra yang terpencil dan terisolasi, yang secara tidak langsung berarti telah membantu pemahaman ‘bhineka tunggal ika’.
BAB VIII
KESIMPULAN
Dalam penelitian ilmu-ilmu humaniora, khususnya ilmu sastra, ada 3 komponen yang terlibat, yaitu: a). Subjek peneliti, b). Obyek penelitian, dan c). Sarana atau peralatan penelitian. Subjek penelitian adalah manusia itu sendiri, dengan kemampuan intelektualitas,fisik,dana dan keseluruhan tanggungjawab psikologis yang diperlukan selama proses penelitian. Obyek penelitian adalah karya sastra,dengan ciri kreativitas imajinatif, terdiri atas bebtuk dan isi. Sarana atau peralatan penelitian adalah seperangkat cara yang digunakan menganalisis, yaitu; teori, metode, teknik dan instrumen. Kedudukan antara subyek dan obyek relatif sama, bahkan sering dikatakan bahwa kedudukan subyek sangat menentukan sebab dalam penelitian dan limu humanior subyek penelitian juga merupakan instrumen itu sendiri.
Kurangnya perhatian terhadap sastra lama jelas menghambat penyebaran aspek – aspek kebudayaan lokal yang terkandung di dalamnya, yang sesungguhnya sangat kaya dengan nilai – nilai. Memberikan perhatian terhadap sastra lama bearti menopang perkembangan visi sastra dan budaya konteporer, membangkitkan kekuatan – kekuatan lokal, bukan dalam pengertian negatif, misalnya, pertentangan etnis, agama dan kelompok yang lain.
Perkembangan positif bidang penelitian sastra adalah perkembangan yang seimbang antar karya sastra di satu pihak dengan teori, teori, kritik, dan sejarah sastra di pihak yang lain. Kedua bidang memiliki ciri – ciri yang bertentangan, faktor yang petama bersifat subyektif imajinatif,sedangkan faktor yang kedua bersifat objektif. Meskipun demikian jelas keduanya saling memerlukan, bahkan tidak mungkin dipisahkan. Kedua sastra berkembang atas dasar perkembangan teori, kritik, dan sejarah sastra, sebaliknya teori,kritik, dan sejarah sastra. Antarhubunganini perlu dijelaskan dengan pertimbangan bahwa masih banyak pendapat teori, kritiks, dan sejarah tidak perlu, karya sastra dapat berkembang secara mandiri, semata – mata atas dasar kemampuan kreativitas imajinatif
Teori, metode, dan teknik adalah alat,keberhasialan tergantung dari kemanmpuan orang yang menggunakanalat tersebut. Teori lama mungkin bangkit kembal, yaitu sesudah memperoleh cara pandang dan paradigma yang baru sehingga menjadi teori baru. Setruktualisme kemudian menjadi postruktualisme, semiotika struktualisme menjadi simiotik postruktualisme atau hipersemiotik.
Sama dengan karya sastra,setiap penelitian harus berbeda dengan penelitian yang dilakuakan oleh orang lain, penelitian harus orisional. Perbedaan dimungkinkan oleh dua faktor; a) faktor pebedaan objek, b) faktor pebedaan teori dan metode. Teori, metode, dan teknik, bukan semata – mata alat yang pasif,alat dalam pengertian sehari – hari. Selama dimanfaatkan teori menghasilkan energi yang menarik partikel – partikel objek sehingga gejala yang semula stagnasi menjadi bereaksi. Makin canggih sebuah teori,maka makin kuatlah energi yang dihasilkan. Kemampuan tersebut ditunjukan oleh teori mutakhir, yaitu postruktualisme. Beberapa konsep, seperti; kernels dan satellites (chatnman), concretization (Vodikta), horison harapan (jausz), ruang kosong (iser), hyprogram (Riffaterre), dialogis dan polifoni (Bakhtin), interteks (Kristeva), readerly dan writterly (Barthes), cyborg (Haraway), orientalisme (Said), difference dan archewriting (Derrida), arsip dan arkeologi (Foucault), metanarasi (Lyouard). Karya sastra hanya menyediakan instalasi, energinya terkandung dalam pembaca dengan memanfaatkan teori sebagai alat. Makna dengan demikian dihasilkan oleh pembaca.
Baca selengkapnya