BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN
TEORI SASTRA
Teori
berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologis teori
berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Dalam hubungannya
dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep,
proposisi, yang mempunyai korelasi, dan telah diuji kebenarannya. Pada
umumnya teori dipertentangkan dengan praktik. Teori-teori yang tidak
atau belum berhasil untuk diuji dalam prakti, dengan sendirinya belum
bisa disebut sebagai teori yang valid. Objek mlahirkan teori,
sebaliknya, teori memberikan berbagai kemudahan untuk memehami
objek.dengan dibantu oleh metode dan teknik, teori meungkinkan ilmu
pengetahuan berkembang secara lebih cepat.dengan ditemukannya metode dan
teori, pengetahuan pada gilirannya berubah menjadi ilmu
pengetahuan.menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977:175), penelitian
terhadap karya sastra pada umumnya memanfaatkan teori-teori yang sudah
ada. Secara genesis denngan demikian dalam proses penelitian teori
diperoleh dengan dua cara, yaitu peneliti memanfaatkan teori terdahulu
dan peneliti memanfaatkan teori yang dikemukakannya sendiri.
Sebagai
alat, teori tidak harus selalu baru secara keseluruhan.kebaruan
diperlukan dalam bentuk proses, sebagai modifikasi, cara-cara baru pada
saat mempertemukan hakikat teori dengan objek. Srukturalisme adalah
sebuah teori, yang secara genesis telah ada sejak zaman Aristoteles,
tetapi secara terus menerus diperbaharui sepanjang sejarahnya, dan
memperoleh bentuknya yanglebih sempurna. Teori-teori ilmu pengetahuan,
khususnya dalam bidang sastra, diadopsi melalui pemikiran para sarjana
barat. Sifat-sifat teori sebagai berikut:
- Mudah disesuaikan dengan cirri-ciri karya yang akan dianalisis.
- Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
- dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis mapun berbeda.
- Memilki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
- Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Objek
penelitian dalam hal ini karya sastra, memiliki banyak dimensi, aspek
dan unsure. Dalam satu penelitian dimungkinkan untuk menggunakan lebih
dari satu teori, sebagai metode triangulasi. Tujuannya jelas untuk
memperoleh pemahamn yang lebih mendalam terhadap objek penelitian.
Perbedaan antara objek dan teori, objek karya sastra ditafsirkan secara
estetika, sesuai dengan prinsip-prinsip puitika sastra, sedangkan teori
ditafsirkan secara logika, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengethuan
yang bersangkutan.sebagai cara kerja teori dan metode terdiri atas
konsep, proposisi, dan kerangka kerja. Dengan memanfaatkan teori dan
metode tertentu maka dalam pemikiran oeneliti akan timbu
kemampuan-kemampuan baru untuk memahami gejala yang sebelumnya sama
sekali belum nampak.
Sebagai alat, teori berfungsi untuk
mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung
dilakukan melalui instrument yang lebih kongkret, yaitu metode dan
teknik. Tujuan utama teori, dengan metode dan teknik, adalah mempermudah
pemahaman terhadap objek sekaligus memberikan keluaran secara maksimal.
Perkembangan ilmu pengetahuan tergantung dari perkembanganteori dan
metode. Penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori
dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk social tertentu, kedua,
teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan
kreativitas.
Sebagai objek, khazanah sastra Indonesia terdiri
atas dua macam, yaitu sastra lama (sastra Nusantara) dan satra modern
(sastra nasional).berbeda dengan teori dan metode yang selalu dikaitkan
dengan aspek-aspek kebaruannya, kemutakhirannya, objek karya sastra
sepanjang sejarahnya dianggap memiliki kedudukan yang sama.aspek
kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok. Intensitas
terhadap kebaruan teori disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: teeori
merupakan alat dan cara penelitian, hasil penemuan dan iilmu
pengetahuan. Karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori
sebagai cara untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang
saling melengkapi.pesatnya perkembangan teori sastra selam satu abad
sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa
indicator, sebagai berikut:
- Medim utama sastra adalah bahasa.
- Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan
- Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles.
- Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara, sebagai teori-teori yang baru.
- ragam sastra yang banyak dan berkembang secara dinamis.
Dalam
ilmu sastra yang dimaksudkan dengan penelitian adalah untuk
mengumpulkan data, menganalisis data, dan menyajikan hasil penelitian.
Sebelum melakukan penelitian yang sesungguhnya, perlu disusun proposal
atau rancangan penelitian. Pada dasarnya, butir-butir yang terkandung
daam proposal hamper sama dengan penelitian yang sesungguhnya. Kualitas
proposal, baik kelengkapan data maupun kesempurnaan teori dan metodenya
berpengaruh besar terhadap penyelesain peneliti selanjutnya. Penelitian
sastra mempertimbangkan cirri-ciri sebagai berikut:
- Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasi.
- Populasi dan sample tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu.
- Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
- Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat secara terus-menerus.
- Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tetapi wacana, teks.
BAB II
Paradigma Penelitian Sastra
Secara
etimologis paradigma berasal dari bahasa latin (paradigma), berarti
contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma dikembangkan oleh Thomas
Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific
Revolution,terbit pertamakali tahun 1962.
Menurut Ritzer (1980:
1-24), paradigma yaitu konsep-konsep dasar Kuhn itu sendiri, dibicarakan
secara luas dalam berbagai ilmu pengetahuan sejak tahun 1970-an, dengan
sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda beda, sesuai dengan
disiplin yang bersangkutan. Pada dasarnya ilmu pengetahuan bersifat
netral. Ilmuan mengadakan penelitian , yang kemudian disertai dengan
penemuan-penemuan, tujuannya adalah untuk kesejahteraan umat manusia.
Dikaitkan
dengan keberadaan subjek sebagai konsumen ilmu pengetahuan, maka pada
umumnya yang lahir lebih dahulu adalah paradigma. Secara psikologis
konsep-konsep yang mendukung lahirnya paradigma tertentu dalam diri
subjek pada dasarnya telah ditanamkan sejak usia dini, yang kemudian
memiliki pola-pola tertentu setelah subjek duduk di bangku sekolah.
Sebagai pandangan hidup ilmu pengetahuan, selain factor-faktor dari
dalam, seperti minat dan bakat , factor luar juga berpengaruh besar,
seperti lingkungan dalam keluarga dan lingkungan di sekiternya.
Dengan
adanya persamaan pandangan dalam hidup, khususnya dikalangan para
ilmuan, maka akan terbentuk komunitas ilmuan tertentu, yang pada
giliranya akan melahirkan sub komunitas, dengan pandanagan yang
berbeda-beda, tetapi pada tingkat makro tetap menunjukan
persamaan-persamaan. Dengan penjelasan di atas, maka paling sedikit ada
tiga hal yang mempengaruhi perbedaan paradigma seorang ilmuan, sebagai
berikut.
1. Unsur dalam diri sendiri.
2. Unsur luar berupa lingkungan fisik.
3. Unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Melihat
luasnya penyebaran dan beragamnya konsep-konsep paradigma, baik dalam
dunia ilmiah maupun kehidupan praktis sehari-hari, maka pembicaraan ini
hanya membatasi perkembanganya dalam dunia ilmiah. Artinya paradigma
dibicarakan dalam kaitanay dengan teori dan metode disatu pihak,
sifat-sifat dasar objek yaitu karya sastra itu sendiri dipihak yang
lain. Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak menimbulkan
masalah sebab komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri yang relatif
sama, konsep-konsep dasar yang memungkinkan subjek untuk menganalisis
objek penelitian.
Dikaitkan dengan pentingnya peranan paradigma
bagi seorang limuan dalam mengembangkan suatu disiplin tertentu, maka
masalah yang perlu dikemukakan adalah bagaimana cara menentukan
perbedaan paradigma seorang ilmuwan dengan ilmuan yang lain, demikian
juga satu komunitas keilmuwan dengan komunitas yang lain. Secera
filosofis, menurut Ritzer(1980:2-24), khusuanya dalam kaitanya dengan
metode kualitatif paling sedikit ada empat faktor yang berpengaruh di
dalamnya, sebagai berikut.
1. Faktor ontologis, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di antara masing-masing ilmuwan.
2. Faktor epistomtlogis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.
3. Faktor aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bebas nilai.
4. Faktor metodologis, keseluruhan proses penelitian , termasuk metode, teori dan teknik.
Paradigma individual dengan sendirinya merupakan pengalaman yang paling
singkat.
Menurut Jung (1949: 377-380), isi pengalaman individual adalah
pengalaman kehidupan sekarang, pengalaman individu selama hidup di dunia
nyata, sebagai pengalan kehidupan sehari-hari. Sebaliknya paradigma
kelompok diterima melalui kualitas spesies, termasuk kelas, ras, dan
ciri genetik lainya. Pengalaman sekarang disebut material antogenesis,
pengalaman masa lampau disebut material filogenesis.
Pengalaman
paradigma menurut proposisi Kuhn dan pandangan dunia menurut proposisi
Goldman memiliki akarnya jauh ke masa lampau, melampaui generasi, bahkan
menjangkau hingga awal peradaban manusia.
Relevansi pengalaman
paradigma terhadap sastra secara keseluruhan jalas berkaitan dengan
hakikat karya, gejala kultural sebagai kualitas imaginasi dan
kreativitas. Para ilmawan sastra sejak semula telah memahami bahwa karya
sastrabukan kenyataan yang sesungguhnya.
Model pendekatan,
seperti sosiologi sastra dan psikologi sastra, demikian juga pendektatan
multi disiplin lainya jelas memerlukan pengalaman pradigma yang lebih
kompleks. Sosiologi sastra misalnya, paling sedikit melibatkan dua
bidang ilmu dengan hakikat yang berbeda, bahkan bertentatangan secara
diametral, yaitu sosiologi dan sastra.
Dalam hubungan inilah
diperlukan keluasan cakrawalapeneliti sehingga keseluruhan
partikelbidang ilmu yang terlibat dapat ditarik sehingga terjadi
kesatuan yang bermakna. Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai
paradigma memeiliki segi positif, dengan pertimbangan sebagai berikut
1. Multiparadigma membuka cakrawala yang lebih luas, cara pamahaman ternyata tidak beraifat tunggal, melainkan plural.
2. Menghilangkan anggapan bahwa paradigma, seperti juga sebuah teori, dapat menjawab semua permasalahan.
3. Menciptakan saling menghargai pendapat, kelebihan, dan kekurangan orang lain.
4. Keberagaman paradigma jalas mengevokasi kebergaman khsanah kultural.
5.
Prulalitas paradigma sesuai dengan semangat postruturalisme, teori
modern yang memberikan perhatian pada hakikatmulti8kultural, dengan
memberikan perhatian terhadap kearifan lokal.
Ilmu pemgetahuan
dan aktivitas kreatif di indonesia, demikian juga negara-nagara yang
sedang berkembang, belum menyamai dunia Barat.Tradisi, mitos, dogma, dan
sebagai kepercayaanmasa lampau, khususnya masalah-masalah yang tidak
sesuai dengan perkembangan zaman , masih berpangaruh besar terhadap
perkembanagan paradigma ilmu pengetahuan.
Penjelasan terhadap
konsep-konsepparadigma sama pentingnya dengan teori, tetapi dalam
penelitian konsep paradigma tidak muncul secara eksplisit. Demikian juga
konsep-konsep yamg berkaitan dengan metodologi yang tidak pernah
dipertimbangkan sebagai butir-butir penelitian.
BAB III
METODE, METODOLOGI, TEKNIK,
DAN PENDEKATAN
3.1 Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode
dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas,
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat
berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsiuntuk
menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dupecahkan. Metode
sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Metodologi jelas
mengimplikasikan metode, berbeda dengan metode, metodologi tidak
berkaitan dengan teknik-teknik penelitian, melainkan dengan
konsep-konsep dasar logika secara keseluruhan.secara definitive metode
ddengan teknik tidak memiliki batas-batas yang jelas. Ada 3 cara yang
dapat dikemukakan untuk membedakan antara metode dengan teknik, bahkan
juga dengan teori, sebagai berikut:
a. Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya.
b. Dengan cara memperhatikan factor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakainnya.
c. Dengan cara memeperhatikan hubungannya dengan objek.
Sebagai
alat teknik bersifat aling kongkret, sebagai instrument penelitian
teknik dapat dideteksi secara inderawi. Struktur adalah teori sebab
sudah menghasilkan sejumlah konsep dasar dan sudah dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Relevansi sangat dirasakan, disatu
pihak sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu engetahuan pada umumnya,
terutama ilmu hmaniora.
Istilah lain yang juga menimbulkan
perdebatan dalam dunia penelitian adalah pendekatan. Secara etimologis
pendekatan juga berarti jalan, yaitu cara itu sendiri, tetapi perlu
dijelaskan bahwa pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi
yang lebih tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam pelaksaan
penelitian, aspek-aspek yang muncul adalah teori, metode, dan teknik.
Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu
dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya: metode intuitif,
hermeneutika, formal, analisis isi, dialektika, deskriptif analisis,
deskriptif komparatif, dan deskriptif induktif.
1. Metode Intuitif
Metode
intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami
unsure-unsur kebudayaan. Cirri khas metode intuitif ada;ah kontemplasi,
pemahaman terhadap gejala-gejala cultural dengan mempertimbangkan
keseimbangan antara individu dengan alam semesta.
- Metode Hermeneutika
Dikaitkan
dengan fungsi utma hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama,
maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan
pertimbangan bahwa diantara karya tulis yang paling dekat dengan agama
adlah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan karya
sastra.
- Metode Kualitatif
Metode
kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam
hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cirri terpenting metode
kualitatif adalah:
a. Memberi perhatian yang utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sbagai studi cultural
b. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian.
c. Desai dan kerangka penelitian bersifat sementara sbab penelitian bersifat terbuka.
d. Lebih mengutamakan proses daripada hasil penelitian.
e. Penelitian bersifat alamiah.
- Metode Analisis isi
isi
dalam metode analisis isi terdiri dari 2 macam yaitu isi laten dan isi
komunikasi. Isi lar\ten adlah isi yang terkandung dalam dokunen dan
naskah, sedanngkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai
akibat komunikasi. Isi komunikasi pada dasarnya mengimplikasikan isi
laten, tetpi belum tentu sebaliknya. Sebagaimana metode kualitatif,
dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran.
- Metode Formal
Metode
formal adlah dengan mempertimbangkan aspek-aspaek formal, bentuk yaitu
karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra
daengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap aratistik. Cirri
utama metode formal adalah aalisis terhadap unsure-unsur karya sastra,
kemudian bagaiman hubungan antara unsure-unsur tersebut dengan
totalitasnya.
- Metode Dialektika
Prisip-prisip
dialektika hamper sama denngan hermenautika, khususnya dalam gerak
spiral eksplorasi makna, yaitu penelusuran unsure ke dalam totalitas,
dan sebaliknya. Yang membedakan adalah kontinuitas oprasionalisasi tidak
pada level tertulis, tetapi diteruskan pada jaringan kategori social,
yang justru merupakan maknanya secar lengkap.
- Metode Deskriptif Analisis
Metode
deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis.analisis tidak semata-mmata
menguraikan melainkan juga member pemahaman dan penjelasan secukupnya.
Metode deskriptif analitik juga dapat digabungkan dengan metode formal.
Mula-mula data dideskripsikan, denngan maksud untuk menemukan
unsure-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan.
3.2 Pendekatan dan Problematikanya
Pedekatan
didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri onjek, sedangkan metode
adalah cara-cara mengimpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Tujuan
metode adalah efisiensi, denngan cara menyederhanakan. Tujuan
pendekatan adalah penagkuan terhadap hakikat ilmiah objek ilm
pengetahuan itu sendiri. Model pendekatan sasrtra yang perlu
dikemikakan, diantaranya, pendekatan biografi sasttra, sosiologi sastra
psikologi sastra, antopologi sastra, histories, dan metopoik, termasuk
pendekatan model Abrams,yaitu ekspresif, pragmatic, mimetic, dan
objektif.
- Pendekatan Biogrfis
Pendekatan
biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas.
Subjek creator danggap sebagai asal usul karya sastra , arti sebuah
karya sastra dengan demikian secara relative sama dengan maksud, niat,
pesan dan bahkan tujuan-tujuan tertentu pengarang. Dalam kaitannya
dengan aktivitas kreatif dibedakan tiga macam pengarang, yaitu pengarang
yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung, pengarang yang
mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali unsure-unsur
penceritaan, dan pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan
imajinasi.
- Pendekatan Sosiologis
Pendekatan
biografis menganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan
pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat.
Dasar filosofis pendekatan sosilogis adalah adanya hubungan hakiki
antara karya sastra dengan masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah
memberikan keseimbangan terhadap dua dimensi manusia, yaitu jasmani dan
rohani.
- Pendekatan Psikologis
Pendekatan
psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu
pengarang, karya sastra dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa
pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan
karya sastra.
- Pendekatan Antropologis
Antropologi
adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi
dibedakan menjadi antropologi fisik dan kebudayaan. Antropologi
kebudayaan dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek
verbal dan nonverbal. Lahirnya antropologi didasarakan atas kenyataan,
pertama, adanya hubungan antara ilmuantropologi dengan bahasa. Kedua,
dikaiykan dengan tradisi lisan, baik antropologi maupun sastra
sama-samamempermasalahkannya sebagai objek yang penting.
- Pendekatan Historis
Pendekatan
histories mempertmbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen
social. Tugas utama sastra adalah menempatkan karya sastra dalam suatu
tradisi, tetpi bagaimana cara manempatkannya adalah tugs pendekatan,
yang dibantu oleh teori dan mmetode. Dengan mempetimbangkan indicator
sejarah dan sastra, maka beberaa masalah yang menjadi objek sasaran
pendekatan histories, diantaranya, sebagai berikut:
- Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akinat proses penebitan ulang.
- Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
- Kedudukan pengarang pada saat menulis.
- Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.
- Pendekatan Mitopoik
Pendekatan
mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasullan hamper semua unsure
kebudayaan. Pendekatan mitopoik buakanlah pendekatan gabungan yang tanpa
arah, yaitu sebagai akibat terlalu banyak memasukkan data.
- Pendekatan Ekspresif
Pendekatan
ekspresif banyak menggunakan data sekunder, data yang sudah diangkat
melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi, sebagai data
literer. Untuk menjelaskan hubungan antara penganrang, semestaan,
pembaca dan karya sastra, Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat
komponen utama,dengan empat pendekatan, yaitu ekspresif, mimetic,
pragmatic, dan objektif.
- Pendekatan Mimemis
Pendekatan
mimemis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.
Pendekatan mimemis Marxis merupakan pendekata yang paling beragam dan
memiliki sejarah perkembangan yang paling panjang. Pendekatan mimemis
perlu dikembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah
kebudayaan.pemahaman terhadap cirri-ciri kebudayaan kelompok yang lain
dapat meningkatkan kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai
kecurigaan dan kecemburuan social.
- Pendekatan Pragmatik
Pendekatan
pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca.
Pendekatan pragmatis memilki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra
dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasanny, sehingga manfaat
karya sastra dapat dirasakan.pendekatan pragamatis secara keseluruhan
berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan
pemahaman hakikat karya tanpa batas.
- Pendekatan Objektif
Pendekatan
objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun
yang dilakukan pada dasarnya bertumpu pada karya sastra itu sendiri.
BAB IV
TEORI-TEORI STRUKTURALISME
Strukturalisme
yang telah berhasil untuk memasuki seluruh bidang kehidupan manusia,
sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada
pemahaman secara maksimal. Secara histories perkembangan strukturalisme
terjadi melalui dua tahap yaitu: formalisme strukturalisme dinamik.
4.1.Prinsip- prinsip antar hubungan
Dalam
streukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya unsure-
unsure sebagai cirri khas tersebut dapat berperan secara maksimal
semata- mata dengan adanjya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan
anatara hubungan unsur- unsur yang terlibat unsur- unsur pada giliranya
memiliki kapasitas memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan
regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antar unsur.
Melalui
tradisi formalis, khususnya tradisi formalisme, ciri- ciri antar
hubungan memperoleh tempat yang memada. Antar hubungan sistem jaringan
yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala- gejala yang
ditangkap. Suatu cerita menjadi menarik misalnya salah satu cara yang
dilakukan pengarang adalah dengan mempercepat atau sebaliknya
memperlambat terjadinya suatu peristiwa meningkatkkan atau sebaliknya
menurunkan frequensi pemanfaatan kata-kata tertentu .Dengan mengambil
analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan
paradigmayis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan 2 cara. Pertama
menganalisis dengan unsu- unusur yang terkandung dalam karya sastra,
kedua menganalisis karya melalui perbandingan dengan unsur- unsur
diluarnya yaitu kebudayaan pada umumnya.
4.2.Teori formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara histories kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga factor
- fpralisme lahir sebagai akibat penolakan terhadap paradigma positivisme abad ke- 19 yang memegang prinsip kausalitas
- Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
- Penolakan
terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian karya
sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Penerapan
strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand
de Saussure merupakan langkah yang sangat maju dalam rangkan
mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep
dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas dikotomi antara a)
signifian(bentuk ,bunyi ,lambang, penanda) dan signifie ( yang
diartikan, yang ditandakan sebagai pelambang) b) parole (tuturan, bahasa
individual) dan langue (bahasa yang hukum- hukumnya telah disepakati
bersama) c) sinkroni analisis (karya- karya sezaman) dan diakroni (
analisis karya dalam pekembangan sejarahnya)
4.3.Teori strukturalisme dinamik
Strukturalisme berasal dari kata
structura,
bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan.Menurut Teuw (1988:
131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui
tradisi formalisme sebagian besar dalam strukturalis.
Robert
scholes (1977) menjelaskan keberadaan struktarisme menjadi tiga tahap
yaitu: sebagai paradigma berpikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai
teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme
disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks,
dan akhirnya pasca struktiralisme, khususnya dalam dekonstruksi.
Secara
strukturalisme berarti paham mengenai unsur- unsur yaitu struktur itu
sendiri, dengan mekanisme antar hubunganya, disatu pihak antar hubungan
unsur yang satu debngan unsur lainya, dipihal lain hubungan anatara
uynsur dengan totalitasnya. Selama lebih kurang setenfgah abad
perkembangan strukturalisme telah memberikan hasil yang memadai yang
meliputi berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik
secara teori maupun metode, ciri- ciri yang cukup menonjol adalah
lahirnnya brbagai kerangka dan model analisis,khususnya analisis fiksi
4.4.Teori semiotika
Secara
definitif, menurut Paul Cobley dan litza Janz (2002:4) semiotika
berasal dari kata seme, bahasa yunani, yang berarti penafsir tanda.
Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semion,
yang tanda. Kehidupan manusia dipenuhi tanda, dengan pertantaraan tanda-
tanda poroses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan
tanda- tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya.Dilihat dari
faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai
berikut.
1. Representamen,ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
a. qualisign, terbentuk oleh kausalitas: warna hijau
b. sinsigns terbentuk melalui realitas fisik
c. legisigns, berupa hukum: sura wasit dalam pelanggaran
2. Object yaitu apa yang diacu
a. ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa misalnya foto
b. indeks hubungan tanda dan objek karena sebab akibat
c. simbol hubungan tanda dan objek karena kesepakatan
Ada
banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra
secara semiotius. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya
sastra melalui dua tahapan sebagaimana ditawarkan oleh Rene dan
Warren(1962), yaitu: a) analisis intrinsik ( analisis Mikrostruktur) dan
b) analisis ekstrinsik (analsis makrostruktur).
4.4.1 Bidang- bidang penerapan
Sebagai
ilmu semiotika berfungsi untruk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan
tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun tanda non
verbal. Memahami sistem tanda, bagaimanacara kerjanya, berarti menikmati
suatu kehidupan yang lebuih baik.Semiotik buydaya sebagaimana
dijelaskan oleh aart van Zoest, jelas terlalu luas sebab apabila
dikaitkan dengan salah satu defenisi kebudayaan sebab defenisi
kebudayaan maka semua model semiotika termasuk ke dalam kebudayaan.
4.4.2 Semiotika satra
Tanda-
tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis . Hubungan antara
penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenain tanda
yang sangat kaya. Atas dasar luasnya gejala- gejala sastra yang
ditimbulkan inilah maka lahir teiri yang khusus berkaitan denganya,
seperti: teori ekspresif, pragmatik, resepsi, interteks,strukturalisme
genetik.Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna
tanda- tnda non verbal. Menurut van Zoest (1993 : 86), dalam teks sastra
diantara ketiganya ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon
yaitu:a) ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya
puisi kongkret atau visual,b) ikon diagramatis atau realisional,
berdasarkan perssamaan struktur misalnya dua kenyataan yang
didenotasijkan sekaligus.dalam bahasa indonesia simbol pada umumnya
disamakan dengan lambang.
Dalam sastra, sistem simbol yang
terpenting adalah bahasa.Sebagai prasarat komunukasi, Edmunt Leach
(1976: 15) membedakan antara simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal
meunjukan hubungan dengan dua gejala yang secara mekanis dan otomotis.
Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a) antara penanda dan petanda
tidak ada hubungan instreinsik sebelumnya, b) termasuk ke dalam kultural
yang sama.
4.4.3 Semiotika sosial
menurut salah
seorang pelopornya itu Haliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri
dengan memberikan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai
markostruktur . Semiotika sosial melangkah lewbih jauh disatru pihak
mencoba memberikan penilaian pada gejala dibalik objek, dilain pihak
memberikan kemungkinan untuk menjelaskan hakikat masyarakat dalam rangka
multidisiplin, sebagai m,ultikultural.Struktural;isme sosial memiliki
implikasi lebih jauh dalam kaitanya dengan hakikat teks sebagai gejala
yang dinamis.
4.5.Teori strukturalisme genetik
Styrukturalisme
genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog
Rumania. Strukturasme genetik memiliki im[plikasi yang lebih luas dalam
kaitanya dengan perkembangan ilmu- ilmu kemanusiaan pada umumnya.
Sebagai seorang strukturalis, Goldman sampai pada kesimpulan bahwa
struktur mesti disempurnakan menjadi srtuktur bermakna, di mana setiap
gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas.
Secara defenirtif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan
memberiklan perhatian terhadap asal- usul karya. Secara ringkas berarti
bahea strukturalusme genetik sekaligus memberikasn perhatian terhadap
analisis instrinsik dan eksdtinsik.Secara sosiologis, menurut Hauser
(1985: 139) senimanpun pada dasarnya ditentukan oleh lelas
sosialnya.Pewrlu dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang lebih berwsifat
afinitas, sebagaibbentuk ketertarikan terhadapsuatu masalah.
Secara
definitif strukturalisme harus menjelaskan struktur dan asak- usul
struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi,
kelas sosial, subjek trans - individual dan pandangan dunia.
4.6.Teori Strukturalisme Naratologi
Natarologi
sengja diuraikan secara agak luas, dengan pertimbangan pertama,
berbagai aspek berkaitan dengan ceritatelah mewarnai penelitian-
penelitian baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan. Kedua, buku ini
memang dimaksudkan untuk melengkapi literatur sastra dalam kaitanya
dengan wacana naratif. Wacana naratif sebagai seperangkat konsep
mengenai cerita dan pencitraan. Secara historis menuru Marrie-
Lauureryan dan van Al- phen, Natarologi dapat dibagi menjadi tiga
periode, sebagai berikut:
1. Periode prastrukturalis (tahun 1960- an)
2. Periode strukturalis (tahun 1960- 198)
3. Periopde pascastrukturalis ( tahun 1980-an hingga sekarang).
4.6.1 Vladimir Lakovlevich Propp
Prop
dianggap sebagai strukturalisme pertama yang membicarakan secara serius
struktu naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi
fabula dan sjuzet. Objek penelitian Prop adalah cerita rakyat, seratuis
dongeng Ri\usia. Oleh karena itu disebut usaha untuk menemukan pola umum
plot dongeng Rusia, bukan dongeng pada umumnya.. Menurut Prop struktur
naratif yang penting bukanlah tokoh- tokoh, melainkan aksi tokoh- tokoh
yang selanjutnya.
4.6.2 Claude Levi- Straus
Levi-
Straus lebih banyak memberikan perhatian pada mitos, dan menilai cerita
sebagai kualitas logis, serta memberikan perhatian mitos pada setiap
dongeng.Menurutnya, struktur bukanlash representasi atau subtitusi
realitas. Struktur dengan demikian adalah realitas empiris itu sendiri,
yang tampil sebagai reorganisasi logis, yang disebut sebagai isi.
4.6.3 Tzvetan Todorov
Dalam
menganalisis tokoh- tokoh Todorof menyarankan untuk melakukanya melalui
tiga dimensi, yaitu: kehendak, komunikasi, dan partisipasi.Menurutnya,
objek forma puitika bukan interprerasi atau makna, melainkan struktur
atau aspek kesastraan yang terkandung dakam wacana. Dalam mesti
mempertimbangkan tiga aspek yaitu: a) aspek sintaksis, meneliti
peristiwa secara kronologis, b) aspek semantis, berkaitan dengan makna
dan lambang, meneliti tema, tokoh,dan latar dan c) aspek verbal,
menelitiu sarana.Konsep Todorov yang lain adalah linguistik disejajarkan
dengan sintagmatik dan paradigmatik atau sintaksis dan semantis.
4.6.4 Algirdas Julien Greimes
Natarologi
Greimas merupakan kombinasi antara model paradigmatis Levi-Straus
dengan model sintagmatis Prop. Objek penelitian Greimis toidak tebatas
pada
genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas padas mitos.
Greimas memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih
tajam, deengan tujuan yang lebih umum, yaitu tata bahasa naratif
iniversal. Dengan menolak aturan, dikotomi yang kaku sebagaimana
dipahami oleh Strukturalisme awal dan tidak mementingkan aksi dari pada
pelaku.
4.6.5 Shlomith Rimmon-Kenan
Rimon kenan juga
menjelaskan bahwa wacana naratif meliputi keseluruhan kehidupan manusia.
Meskipun demikian ia hanya mencurahkanb perhastianya pada wacana
naratif fiksi. Atas dasar Rimon membedakanya menjadi
story, text,dan
naration. Story
menunjuk pada peristiwa- pweristiwa , yang diabstrakan dari
disposisinya dalam teks dan direkonstruksikan dalam orde kronologisnya,
bersama- sama de ngan partisipan dalam peristiwa.
Story merupakan urutan kejadian, dan text merupakan wacana yang diungkapkan atau ditulis, apa yang dibaca.
BAB V
TEORI-TEORI POSTRUKTURALISME
5.1 Hubungan antara postmoderisme dengan postruturalisme
Paradigma
postruturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori
maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam, mengkaji objek. Sabagai
cara yang baru, teori postruturalisme yang sudah berkembang selama
kurang l;ebih setengah abad,sejak awal abad ke-20. Strukturalisme
(Ritzer, 2003: 49-64) lahir sebagai reaksi terhadap model-model
penelitian sebalimnya yang memperhatikan pada sejarah dan asal usul
suatu gejala kultural, khususnya bahasa.
Teori sastra,
sebagaimana teori-teori sebelumnya, seperti struturalisme, semiotika,
resepsi, interteks, strukturalisme genetik, dan sebagainya, pada awal
perkembanganya selalu menimbulkan berbagai masalah, antara yang menerima
atau sebaliknya menolak. Pendapat lain (Stanley J. Grenz,2001:25-35)
menyabutkan bahwa pelopor postmodernisme adalah Arnold Toynbee(1870-an),
atasd dasar pertimbangan terjadinya pergeseran kebudayan Barat ke arah
irosionalitas dan relativism. M<enurut Charles Jencks, bangunan
tersebut merupakan simbol modernisme sebab dibangun atas dasar teknologi
modern dengan tujuan menciptakan masyarakat utopis.
Sebagaimana
mpdernisme, postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu,
seperti : arsitektur, perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik,
psikologi, teknologi media masa, filsafat, bahasa dan seni, termasuk
sastra. Apostmodernisme merupakan perkembangan positif modernisme,
sedangkan postrukturalisme merupakan perkembangan struturalisme.
Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat,
dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling melengkapi,
sebagai berikut:
1. Posmodernisme dan postrukturalisme sebagai
kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan
kondisi yang serba cepat.
2. Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus.
3. Perkembangan pesatinterdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.
5.2 Teori-teori Postmodernisme
Postmodernisme
pada dasarnya masih meruoakan bagian integral zaman modern. Zaman purba
yang lebih dikenal dengan zaaman klasik (dari kat classicus, yang
secara etimologosis sesungguhnya berari besar atau utama), mulai dengan
lahirnya penulis Ephos Homerus dengan karyanya yang terkenal Illias dan
Odysse. Dalam kesustraan, tradisi sastra abad pertengahan,
pengaruh-pengaruh kebudayaan klasikinilah yangmelehirkan aliran klasik.
Modern,
dari kat modo (Latin), berarti baru saja, jelas sangat sulit unutk
dikaitkan dengan zaman modern yanng berlangsung hampir selam 500 tahun.
Oleh karen itulah, timbul pendaoat bahwa baik istilah modern maupun
postmodern diartikan sebagai aktivitas pada saat suatu kemajuan brhasil
untuk dicapai. Postmodernisme, misalnya terkandung dalam
setiapaktivitas, dalam hubungan ini aktifitas modernisme, dimana di
dalamnya terkandung suatu pembaharuan.
Modernisme dan
postmodernisme dalam sastra berkaitan dengan ciri-ciri karya satra,
sebagai aliran, bukan teori. Sebagai aliran medernisme dan
postmodernisme, maka karya sastra tumpang tindih dengan seni lukis dan
filsafat. Hubungan dengan gejaia pertama terjadi oleh karena keduanya
dihasilkjan melalui sistem infirmasi dan tujuan estetika yang sama.
Ciri-ciri yang mendasari perbedaan antara modernisme dan postmodernisme
tidak menunjukan garis yang jelas, tidakhitam putih. Masalah-masalah
masyarakat, khususnya karya seni tidak bisa dibedakan secara paradoksal
dikotomis.
Timbulnya postmodernisme jelas merupakan akibat
ketidakmampuan modernisme dalam menaggulangi kepuasan masyarakat, yaitu
berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik,
ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Menurut Pauline M. Rosenau
(1992:10), kegagalan tersebut paling sedikit meliputi lima aspek, di
antaranya:
a) Kegagalan dalam mewujudkan perbaikan dalam berbagai bidang,
b)
Modernisme gagal dalam melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas, misalnya, penggunaan refrensi-erfrensi yang
mendahului penelitian,
c) Dalam perkembangan teori modern sering sering terjadi kontrdiksi antara teori dengan fakta,
d)
Ilmu pengetahuan modern ternyata tidak mampu untuk menaggulangi
kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
kemajuan teknologinya,
e) Ilmu pengetahuan modern terlalu menekankan pada dimensi fisik, mengabaikan dimensi mitis, dan metafisika yanglain.
Postmodernisme
muncul untuk mengoreksi lineritas modernisme. Tujuanya jelas untuk
mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain,the other, di luarnya, di
luar wacana hegemoni. Konsekuensinya adalah Barat seolah-olah memaksakan
agar dunia timur menyesuaikan diri dengan dunia Barat. Dalam hubungan
inilahpostmodernisme mengemukakan konsep relativisme budaya sehingga
gejala yang selama ini dianggap berada diluarnya dapat dipertimbangkan
kembali.
Ariel Heryanto, 1994:83, postmodernisme dikritik dengan
berbagai alasan, di antaranya: Postmodernisme dianggap sebagai
relativisme, atausebagai sekedar metode kritik, dan tradisi sudah lama
di Indinesia. Sebagai gerakan ysng bersifat relatif, maka postmodernisme
dianggap menawarkan konsep apasaja bis tejadi,Postmodern juga dituduh
terlalu sempit, dekonstruksi, misalnya, dianggap sebagai konsep yang
menghancurkan segala sesuatu yang sudah ada. Postmodernisme lahir
terlalu dini, sementara masalah-masalah yang berkaitan dengan modernisme
pun belum tuntas, Postmodernisme sulit dipahami.
Ciri-ciri
uatama postmodern (Linda hitcheon, 1992:60)dan dengan sendirinya juga
postrukturalisme adalah penolakan terhadap adanya satu pusat,
kemutalakn, narasi-narasi besar.metanarasi, gerak sejarah yang
monolinier. Sebagia teori mutakhir yang lahir melalui keberagaman aspek
kehidupan manusia, postmodernisme mencangkup berbagai bidang ilmu.
Klasissisme,
modernisme, dan dengan sendirinya termasuk di dalamnya kjapitalisme,
liberalisme kelompok borjuis, merxime, aliran romantisme dan
eksistensialisme,menempatkan humanisme pada posisi yang utama.
Arsitektur bukan semata-mata bagi penguasa melainkan bagi rakyat yang
tertindas. Arsitektur hendaknya menghilangkan perbedaan antara elitisme
dengan populisme. Dalam media massa mesti dipertimbangkan keterlibatab
pemersa dan audiens pada umumnya.
5.3 Teori-teori postrukturalisme
Perbedaanantara
postmodernisme dengan postrukturalisme, dilakukan atas dasar
kepentingan oraktis. Secara historis, khususnya di Indonesia, keduanya
muncul dalam periode yang sama. Secara etimologis, kususnya dalam
kehidupan praktis sehari-hari keduaistilah hampir tidak dibedakan.
Dasar
teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan
strukturalisme sendiri lahir melalui formalisme Rusia yangmulai
berkembangawal abad ke-20 (1915-1030). Teori strukturalisme yang
berkambang sejak tahun 1930-an (Selden, 1986: 72), setelah
dievaluasikurang lebih etengah abad, maka sekitar tahun 1980-an direvisi
oleh teori postrukturalisme, dengan mempersempit
pretensi-pretensiilmiahnya.
Hubungan antara strukturalisme
dengan postrukturalisme angatkompleks. Menurut Teeuw (1988:139-140)
struturalisme dianggap memiliki kelemahan dengan alasan:
a) Karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari setrutur sosial,
b) Karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur sosial,
c) Kesangsian terhadap strukur objek karya,
d) Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya, dan
e) Karaya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya.
5.3.1 Teori Resepsi Sastra
Semiotika,
resepsi dan interteks berkembnag pesat sesudah strukturalisme mencapai
klimaks sekaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaanya,
semiotika, melalui intensitas sistem tanda memberikan keseimbangan
antara struktur intrinsik dan ekstrinsik, resepsi sstra memberikan
perhatian pada pembaca, sedangkan intertekspada hubungan antarakarya
yang satu dangan karya lainya. Peranan pembaca dan pembaca, khususnya
dalam kehidupan praktis, seperti pidatoddan khotbah, tampil dalam bentuk
retorika. Perbedaanya, retorika memberikan perhatian pada sarana-saran
bahasa, sedangkan resepsi pada tanggapan-tanggapan pembaca. Secara
definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin) reception
(Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca.
Dalam arti luasersepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara
pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons
terhadapnya.
Resepsi sastra tampil sebagai teori dominan sejak
tahun 1970-an, dengan pertimbangan: Sebagai jalan keluar untuk mengatasi
strukturalisme yang hanya dianggap hanya memberikan perhatian terhadap
unsur-unsur, timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali
kemanusiaan, dalam rangka kesadaran humanisme universal.
Kesadaran
bahwa nilai-nilai karya sastra dapat dikembangkan melalui kompensi
pembaca. Kasadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh
pembaca. Kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas
antara karya sastra dengan pembaca.
Dalam penalitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk:
a) Resepsi secara sinkronis
b) Rsepsi secara diakronis.
Hubungan
resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi terjadi
karena baik resepsi sastra maupun interteks mempermasalahkan hubungan
antara dua teks atau lebih.
5.3.2 Teori Interteks
Secara
luas interteks diartikan sabagai jarngan hubungan antara satu teks
dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara
etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman,
penggabungan, susunan, dan jalinan. Pemahaman secara intertektual
bertujuan untuk menggalisecara maksimal makana-makna yang terkandung
dalam sebuah teks. Menrut teori interteks, pembacaan yang berhasil
justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu,
secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu:
Membaca dua teks atau secara berdampingan pada saat yang sama.
Hanya membaca sebuah teks tetapi di latarbelakangi oleh teks-teks lain yang suada pernah dibaca sebelumnya.
Interteks
dianggap berutang terhadap prinsip-prinsip dialog.
Prinsip-prinsipdialogis (Bakhtin, melalui Todorov, 1984:96-98) dianggap
sabagai konsep yang penting dalam interaksionisme simbolis, yang dengan
sendirinyatidak bisa dijelaskan secara keseluruhan oleh perapektif
mekanis dan biologis, dan bahkan juga psikologis.Perspektif dialogis
memberikan kemungkinan yang palingluas untuk membongkar kompleksitas
setruktur naratif, sistem wacana, domonan autorial, dan siara-suara
monologis yang lain.
Menurut Selden (1986:130-131, ada lima maslah yang biasanya muncul dalam kaitanya dengan teori feminisme, yaitu:
a) Masalah biologis
b) Pengalaman
c) Wacana
d) Ketakadaran
e) Masalah sosiaekonomi.
5.3.3 Teori Feminis
1. Luce Irigasi
Luce
Irigasi (Lechte, 2001: 248) mengemukakan argumentasinya dengan menolak
pendapat Freud dan Lacan, Yaitu: yang real, yang simbolikdan yang
imajiner.Sebagai seorang ahli bahasa, Irigasi memusatkan perhatianya
pada sizofrenia,yang dianggap sebagai bahasa pribadi atau idiolek, yang
pada dasarnya mengikuti aturan linguistikmmeskipun secara terus-menerus
dilanggar.
Kebudayaan Barat (Sarup, 2003:204) melihat
seolah-olah hanyaada satu jenis kelamin laki-laki, perampuan
adalahlaki-laki yang tidak sempurna. Menurut Irigasi, perempuan adalah
laki-laki yang terkatari, laki-laki yamg dikebiri.
2. Julia Kristeva
Dalam
kritik sastra, Julia Kristeva lebih dikenal sebagai pelopor teori
interteks. Kristeva bergabung dalam kelompok Tel Quel pimpinan Philippe
Sollers, yang kemudain menjadi suaminya. Menurut Kristeva (Lechte, 2001:
223) ruang tempat dimankanyadinamika subjektivitas disebut ruang
artistik. Ada hubungan timbak balik ciri-ciri artistikdalam mambangun
subjek, sebagaimana subjek membangun karya seni. Karya seni dengan
demikian merupakan landasan pengalaman autentikyang mampu membuka jalan
demisuatu perubahan kepribadian.
3. Helena Cixous
Helena
Cixous (Moi, 1985: 104) adalah seorang novelis, penulis darama,
sekaligus kritikus peminis. Pusat perhatian Cixous ada dua macam, Yaitu:
a) Hegemoni oposisi biner dalam kebudayaan Barat.
b) Praktik penulisan feminim yang dikaitkan dengan tubuh.
Cixous
( Moi, 1985: 114) lebih jauh membicarakan hubungan esensial antara
tulisan perempuan dan ibu sebagai sumbar dan asal mausal suara yang
terdengar dlam semua teks perempuan. Feminitas dalam tulisan merupakan
hak istimawa suara tak bisa dipisahkan , keseluruhan pembicaraan
peremouan adalah suara perampuan. Secara fisikal perempuan
mematrealisasikan apa yang di pikirkan , ia memaknakannya dengan
tubuhnya.
4. Donna L Haraway
Donna
Harraway(1991:150) merupakan kritikus feminis dengan sudut pandang dan
argumantasi yang berbeda. Salah satu aspek yang perlu dikemukakan di
sini ada;ah kegairahanya dlam mendukung dan memanfaatkan proyek
teknologi modern, yaitu cyborg. Cyborg, inhumanisme pada umumnya telah
telah menjadi wacana bagi lyotard. Cyborg adalah personalitas dan
kolektivitas postmodern yang dapat dibongkar dan dirakit ulang . Hakikat
manusia bukan karakteristik yang suadah selesai, melainkan sebagai
hasil kontruksi, maka ia dapat dirakit ulang. Feminisme, yangsecar
terdisional disebut emansipasi wanita, baik sebagai aksi politik maupun
intelektual, mewarnai bidang-bidang pergerakan kebudayaan, khususnya
kritik sastra.
5.3.4 Teori Postkolonial
Secara
etimologis postkolonial berasala sari kata ’post’ dan kolonial,
sedangkan kat kolonial itu sendiri berasaldari akar kata colonia, bahasa
romawi, yang berarti tanah pertanian tidak mengandung arti penjajahan,
penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainya. Dikaitkan
dengan teori-teori postmodernisme yanglain, studi postkolonial termasuk
relatif baru. Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori
postkolonialisme lahir.
Secara definitif (Bill Ashcroft, dkk,
2003:XXII-XXIII) teori postkolonial lahir sesudah kebanyakan
negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaanya. Teori piostkolonial
mencakup seluruh khasanah satra nasional yang yang pernah mebalami
kekuasaan imperial sajak awal kolonisasi hingga sekarang. Kebehasilan
Erpoah modern dalam menguasai kolonial-kolonialnya tidak semat-mata
diakibatkan oleh kekuatan fisik. Analisis wqacana poskolonial bisa
digunakan, di satupihak untuk menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi
atau sengaja disembunyikan , sehingga dapat diketahui bagaimana
kekuasaan itu bekerja, di pihaklainmembongkar disiplin, lembaga, dan
ideologi yang mendasarinya.
Salah satu sastra Indonesia modern,
yaitu sastra Balai Pustaka, di mana pemeruntah kolonial terlibatsecar
langsung dalam proses penciotaan, sebagai lembaga sensor, diduga
mengandung aspek-aspek yang dapat di klaji melalui teori postkolonial.
Visi
tradisional sebagian besar menganggap bahwa karya satra tidak bisa
digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui perubahan masyarakat
tertentu bekerja, dan sebagainay. Palnig sedikit terkanding empat alasan
mengapa karay sastra dianggap tepat untuk dinanalisis melelui
teori-teori postkolonial.
1) Sebagai gajala kulturalsastra menampilkan sistem komunikasi anatra pengirim dan penerima.
2)
Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan emosionalitas
dan intelektulitas, fiksi dan fakta karya sastra adalah masyarazakta itu
sendiri.
3) Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaliats poraritas adalah
4) Berbagia masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis,terselubung sehunggatujuan-tujuan yang sesunggunya tidak tampak.
5.3.5 Teori Dekonsteruksi
Dekonntruksi
dibicarakan pada bagian terakhir diantara teoti-teori postrukturalisme
dengan pertimbangan bahwa dekontruksi mewarnai teori-teori knontemporer
sebagaimana telah dibicarakan di depan, seperti: resepsi sastra,
interteks, feminisme, postkolonialisme, dan naratologi postrukturalisme.
Secara leksikal ’de’ berari penurunan, pengurangan, penolakan. Jadi,
dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara ppengurangan terhadap
suatu intensitas kontruksi, yaitu gagasan, bangunan,dan suunan yang
sudah baku, bahkan univrsal.
Pada dasarnya dekonstruksi sudah
dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983: 86-87)dalam kaitanya dengan
usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadapprisipsebab akibat.
Nietzche
manjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal,
melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala
bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat
objek yang lain.
Menurut Derrida, kelompok postrukturalisme pada
umumnya, memendang masalah yang pokok yang perlu dikemukakan,dan dengan
sendirinya merupakan tujuan utamanya adalah penolakan terhadapa adanya
satu pusat.
Derrida (Spivak, 1976: XIII) menjelaskan peristiwa di atas denga istilah
differEnce duan
kata yang ucapanya hampir sama tetapi cara penulisanya berbeda,
dibedakan melalui huruf ke-7. Konsep Saussure yang juga dikonstruksi
oleh derrida adalah doktrin hierarki ucapan lisan ,yang pada dasarnya
memenadangucapan sebagai pusat, sedangkan tuluisan ebagai nonpusat.
Menurut
Norris (1983: 28-29) cara-cara berpikir Derrida eperti di atas
dianggapsebagai konfrontasi fondamental, cara-cara berpikiryang dapat
mengubah tradisi intelektuak yang sudah terjadi selama ribuan tahun.
Perkenalan dunia Barat dengan non Barat secara keseluruhan didasarkan
atas superioritas hegemonis, baik sebagai akibat perkembangan proyek
pemecahan kapitalisme sejak abad ke-18, meaupun perkembangam teknologi
dan komunikasi abad ke-20.
Model dekonstruksi dalam sejarah
dikemukakan oleh Hayden White dalam bukunya Tropics Discourse (1978).
Menurut White, sejarah tidak seratua persen objektif sebab sebagaimana
pun sejarawan menyusun suatu cerita ke dalam suatu struktur,
menceritakan kembali dalam suatu polt.
5.4 Teori Postrukturalisme Naratologi.
Karya
sastra menjadi berbeda, sekalius rumit dan kompleks, sehingga berbeda
dengan deskripsi-deskripsi yang lain, dan dengan demikian memerlikan
pengetahuan
tambahan. Untuk memehaminya adalah sebagai akibat
peranan struktur naratif. Struktur naratif sastra, Sebagai setruktur
naratif fiksional, jelas memeiliki cara-cara khas yang berbeda dengan
pengertian setruktur naratif secara umum. Secara historis naratif dalam
khazanah sastraBarat (Noth, 1990: 369) dapat ditelusuri pada zaman
Aristoteles, dengan membedakan secara dikotomis antara mythos dan mises.
Menurut tradisi Aristoteles, mithos adalah plot itu sendiri, yang
didefinisikan sebagaistruktur cerita dengan ciri temporaldan kualitas.
Salah satu unsur karya dalam setruktur naratif yang selalu menjadi
pembicaraan hangat adalah plot.
1. Wacana dan Teks
Dalam
kaitanya dengan wacana dan teks, istilah yang perlu dijelaskan sebab
sering menimbulkan permasalahan adalah perbedaan dengan naskah dan
karya. Dalam hubungan ini, dengan mengambil analogo dan bidang filologi,
perlu disepakati bahwa pengertian naskah sama dengan karya.
Setia
unit wacana, baik besar amupun kecil, jelas memiliki bentuk, sebagai
struktur tertentu. Wacana diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu,
positif atau negatif, sebagai fungsi. Akhirnya, wacana akan menampilkan
makna, hasil-hasil yang telah dicapaioleh bentuk fungsi.makna karya
sastra makna disimpulkan sebagai kualitas estetis, proses kenikmatan
tertinggi yang dirasakan oleh pembaca.
2. Tokoh-tokoh Strukturalisme
a. Gerard Genette
b. Gerald Prince
c. Seymor Chatman
d. Jonathan Culler
e. Roland Barthes
f. Mikhail Mikhailovich
g. Hayden White
h. Mary Louise Pratt
i. Jacques-Marie Emile Lacan
j. Michael Foucault
k. Jean-Francois Lyotard
l. Jean Baudrillard
BAB VI
TEORI-TEORI KOMUNIKASI
DALAM KARYA SASTRA
Salah
satu cirri karya sastra yamg sangat penting adlah fungsinta sebagai
system komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui : a)
inteaksi social, b) aktivitas bahasa, dan c) mekanisme teknologi.
Komunikasi dalam sastra penting sekaligus rumit sebab, a) karya sastra
merupakan model kedua, dan b) karya sastra pada dasarnya sekaligus
memanfaatkan ketiga unsure diatas.
6.1 Ciri-ciri Anonimitas Pengarang
Padaumumnya
masyarakat memberikan perhatian terhadap kualitas kepengarangan sebagai
makhuk berfikir, sebagai homo sapicus. Kualitas manusia berfikir tidak
dengan sendirinya, dan tidak secara keseluruhan lebih penting
dibandingkan dengan kualitas manusia bercerita. Menurut Plato pengarang
hanya berhasil untuk meniru kenyataan sehingga karya seni yang
dihasilkan lebih rendah dari kenyataan. Sebaliknya, menurut Aristoteles,
melalui penafsiran karya seni dapat meningkatkan kualitas kehidupan,
sebagai katharsis. Pengarang adalah anggota masyarakat, memperoleh
pengetahuan melalui masyarakat, dan yang terpenting menyajikan sudut
pandang sesuai dengan masyarakat yang mengkondisikannya. Secara factual
pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menentukan.tanpa
pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Tanpa pengarang fakta-fakta
social hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan. Kemapuan
pengarang dalam menghasilakn karya sastra disebabkan oleh perbedaan
kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan
intelektualitas.
Beberapa cirri ang harus dimiliki oleh
pengarang, diantaranya : a) pengarang harus memiliki keterampilan
menulis, b) pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan penglaman, c)
pengarang harus memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas, d)
pengarang harus memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan,
dan e) harus memiliki kekuatan imajinasi. Dikaitkan dengan subjek yang
lain, seperti ilmuwan, jelas perlu dtelusuri mengapa mereka melakukan
penelitian, mengapa mereka mengarang. Ada tiga indicator yang memicu
aktivitas menngarang, diantaranya: a) keinginan untuk mengadakan
ekspresi, b) kinginan untuk melahirkan bentuk, dan c) keinginan untuk
mendidik masyarakat. Dilihat dari tanggung jawabnya, tugas ilmuwa da
seniman pad adaarnya sama, yaitu membawa manusia pada tingkat kehidupan
yang lebih baik, sbagai tanggung jaawab moral.
Kearifan
pengarang bukan semata-mata menyatakan kerinduan, sebagai nostalgia,
tetapi yang lebih bermakna adlah funsi-fungsiny sebagai subjek dalam
menggali sekaligus memprkenalkan kearifan local. Karya sastra yang
dihasilkan dengan demikian adalah warna-waran local yang selama ini
sering bahkan selalu terlupakan. Kasus lain yang sukup menarik adalah
penggunaan nama-nama samaran. Hal ini bertujuan untuk merahasiakan nama
yang sesungguhanya yang digunakan dalam dunia criminal. Di pihak yang
lain nama samaran sekaligus mengimplikasikan kematian pengarang yang
dilakukan secara langsuang melalui subjek yamg bersangkutan.
Pengarang
ada sua macam yaitu pengarang dengan kemampuan bakat dan pengarang
dengan kemampuan pengalaman. Menurut teori kontemporer, bakat dan
lingkungn sekaligus menjadi pusat, sehingga pusat ada di mana-mana,
kekuatan menyebar, sehingga terjadi keseimbangan diantara keduanya.
Peranan pendidikan dalam mengarang disebabkan karena aktivitas mengarang
harus disertai dengan keterampilan menulis, jadi, dilakukan setelah
dewasa. Cirri khas dunia karang mengarang terletak dlam kmampuan
berbahasa sebab sebagai medium karya sastra, berbeda dengan medium yang
lain, seperti seni lukis dan seni rupa. Genre utama sastra adalah prosa,
puisi dan drama, secara umum pengarang lebih tertarik pada prosa,
khususnya novel, baik novel sastar maupun novel popular. Novel
memanfaatkan bahasa biasa, bahasa sehari-hari, yang juga merupakan
factor penting dalam kaitannya dengan minat penulis.
6.3 Karya satra: fokalisasi atau sudut pandang
Unsur
terpenting dalam karya sasatr adalah pengarang sebab tanpa pengarang
tidak ada karya, tetapi perlu disadari bahwa teiori sastar kontemporer
telah menemukan cara-cara baru dalam memahami unsure-unsur secara
keseluruhan secara lebih baik. Manfaat sudut pandang yang sangat praktis
dapat ditunjukan dslam seni lukis, dimana suatu objek akan menunjukkan
kualitas yang berbeda apabila dilihat melalui sisi yang berbeda. Sudut
pandanglah yang menentukan kualitas objek sehingga dapat dipahami
eksistensinya dalam membangun plot, tema, dan pandangan dunia. Masalah
yang sama apabila dilihat melalui sudut pandang yang berbeda akan
menghasilakn arid an makna yang berbeda.
Fokalisasi dari kata
focus, yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut
pandang. Menceritakan sesuatu pasti menyangkut fokalisasi. Artinya,
menceritakan sesuatu past dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai
dengan sudut pandang fokalisator. Membedakan antara pencerita dengan
fokalisator penting dalam rangka: a) memisahkan hegemoni subjek creator
terhadap subjek fiksional, b) menampilkan hakikat intersubjektivitas.
Pada dasarny sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu; a) sudut
pandang orang pertama atau sudut pandang berperan serta, dan b) sudut
pandang orang ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak berperan
serta.
6.3 Pemahaman: jenis dan peranan
Menurut
Teeuw (1988: 189-193) peranan pembaca secara jelas dikemukakan oleh
Mukarovsky dan Vodicka yang dipertegas oleh Jaus (1985). Penelitian
didasarkan atas kegagalan sejarah sastra tradisional yang didasarkan
atas: a) sejarah sastra universal, sejarah sastra berbagai pelaksanaan
kehandak Tuhan, b) sejarah sasatra nasional. Sejarah sastra sebagai
milik bangsa, dan c) sejarah sastra yang didasarkan atas rangkaian
periode. Atas dasar kegagalan itulah Jausz menyimpulkan sejarah sastra
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan peranan pembaca. Bentuk,
fiungsi, dan makna karya sastra tidak tetap, melainkan selalu
berubah-ubah, sesuai dengan penerimaan pembaca. Fungsi terpenting
dominasi pembaca adalah kemampuannya untuk mengungkapkan kekayan karya
sastra.
Pembaca jelas berbeda-beda, baik dari segi usia, jenis
kelamin, profesi, kelas social, dan wilayah geografis.karya sasatra
dapat mengantisipasi keragaman pembaca tersebut sebab karya sastra
terdiri atas berbagai jenis, sedangkan jenisnya pun tidak statis,
melainkan selalu berubah-ubah. Menurut Luxemburg, dkk (1984: 76) pembaca
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) pembaca di dalam teks, dan b)
pembaca di luar teks.
BAB VII
Teori dan Metode Penelitan Multidisiplin
Sudah
sangat banyak dilakukan penelitian monodisiplin, baik yang sudah
dipublikasikan maupun masih tersimpan di berbagai lembaga, khususnya
perguruan-perguruan tinggi. Dengan pusat perhatian pada unsur-unsur,
sekaligus melepaskan karya daari relevansi masyarakatnya, sturkturalisme
mengarahkan penelitian hanya pada aspek-aspek tertentu, seperti: tokoh,
tema, plot, gaya bahasa, sudut pandang, dsb. Khasanah sastra secara
keseluruhan disebut sebagai sastra nusantara atau sastra di Indonesia.
Keragaman
sastra mengimplikasikan keragaman latar belakang social budayanya.
Sastrawan, sejarawan, sosiolog, antropolog, dan ilmuan yang lain secara
bebas memasuki stiap aspek kehidupan tanpa perlu merasa khawatir akan
kehabisan objek kajian.
Keragaman sastra, khususnya sebagai
perwujudan genre, dengan sendirinya memerlukan bentuk dan cara-cara
pemahaman yang juga berbeda. Sampai saat ini, jenis karya sastra yang
banyak dianalisis adalah sastra modern, khususnya novel. Karya sattra
mengandung aspek-aspek cultural, bukan individual. Benar, karya sastra
dihasilkan oleh seorang pengarang, tapi masalah-masalah yang diceritakan
adalah masyarakat-masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan inilah
disebutkan bahwa pengarang adalah wakil masyarakat, pengarang sebagai
konstruksi transindividual bukan dirinya sendiri. Keragaman aspek-aspek
kebudayaan dapat diungkapkan secara maksimal apabila tersedia cara-cara
pemahaman, model-model analisis, dan dengan sendirinya dengan teori
metodenya masing-masing.
Pengertian multidisiplin perlu
dibedakan, pertama, dalam kaitannya dengan disiplin baru sebagai lembaga
yang permanen, kedua, dalam kaitannya dengan aktivitas penelitian.
Dalam perkembangan terakhir, ilmu social dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu ilmu social itu sendiri dan ilmu kemanusiaan yang disebut
humaniora. Ilmu-ilmu social, diantaranya : sosoiologi, antropologi,
psikologi, ekonomi, dan politik, sedangkan yang dimasukkan sebagai
ilmu-ilmu humaniora, diantaranya: linguistic, kesusastraan, kesenian,
sejarah, hokum, filsafat, teologi, dan filologi. Dalam hubungan inilah
dibedakan tiga macam multidisplin, yaitu:
1) Multidisiplin itu sendiri
2) Transdisiplin atau antardisiiplin
3) Krosdisiplin atau interdisiplin
Dalam
model penelitian pertama kedudukan ilmu relative sama, hubungan
masing-masing ilmu relattif longgar. Kompleksitas aspek-aspek
kebudayaan, pesatnya perkembangan teknologi mutakhir, dan banyaknya
aspek-aspek negative maupun positif yang ditimbulkannya, memungkinkan
timbulnya berbagai kajian interdisiplin. Futurology dan cybernetics (The
Liang Gie, 2003:185-186) misalnya, dikembangkan atas dasar lintas
bidang-bidang yang semula dianggap tidak mungkin dipertemukan.
6.3 Sosiologi Sastra
Sosiologi
sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai
disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad
ke 18, ditandai dengan tulisan madame de stael (Albrecht, dkk., eds.,
1970:ix;Laurenson dan Swingwood, 19972:25-27)yang berjudul de la
literature cinsideree dans ses rapports avec las institusions
socielis(1800). Ada tiga indicator tertentu dalam kaitannya dengan
lahirnya satu disiplin yang baru diantaranya :
1) Hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan perlu dipecahkan
2) Adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya
3) Adanya pengakuan secara institusonal
Sosiologi
sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan
memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran,
stagnasi, bahkan dianggap sebagai infolusi. Analisis strukturalisme
dianggap mengbaikan relefansi masyarakat yang justru merupakan asal
usulnya.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa
sastra memilikimkaitan erat ddengan masyarakat dan dengan demikian harus
diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sbb:
1) Karya
sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin
oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota
masyarakat.
2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap
aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada
gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3) Medium karya
sastra, baik lisan maupun tertulis, dipinjam melalui kompetisi
masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan.
4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama,
adat-isdiadat, dan ttradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung
estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citradirinya dalam suatu karya.
Hubungan
karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun
afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya satra mempunyai
tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan,
maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan.
Fungsi
bahasa sebagai bahasa sastra jelas membawa cirri-ciri tersendiri.
Artinya, bahasa sastra adalah sehari-hari itu sendiri, kata-katanya
dengan sendirinya terkandung dalam kamus, perkembangannya pun mengikuti
perrkembangan masyarakat pada umumnya.
Diantara genre utama
karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya
novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsure-unsur
social. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya:
1. Novel
menampilkan unsure-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang
paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling
luas.
2. Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.
Dikaitkan dengan visi sastra modern, kematian pengarang, karya sastra sama seperti ilmu social yang lain, bukan milik pengarang.
Kebebasan
sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek
kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi
masyarakat. Sastra lama, seperti Mahabharata dan Ramayana, sastra
sejarah, kaya dengan etika dan filsafat kehidupan. Karya sastra balai
pustaka mengandung masalah kawin paksa, karya sastra pujangga baru
mengandung masalah nasionaliisme, karya sastra lekra mengandung ideology
marxisme. Embrio nasionalisme terkandung dalam kumpulan puisi Tanah Air
(Muhammad Yamin), embrio emansipasi wanita terkandung dalam layar
Terkeembang (Sutan Takdir Alisyahbana)/ priyayi jawa terkandung
Terkandung
dalam para priyayi(umar kayam), ronggeng dukuh paruk(Ahmad Tohari),
ceti terkandung dalam Ni Rawit ceti penjual orang(Panji Tisna), kasta
dalam tarian bumi (Oka Rusmini)
Sebagai multidisiplin, maka
ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah sastra dan
sosiologi. Yang perlu diperhatikkan dalam penelitian sosiologi sastra
adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi
sebagai pembantu.
Penelitian interdisiplin memanfaatkan
teori-teori yang berasal dari masing-masing ilmu yang besangkutan.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra sudah menjadi suatu disiplin
yang baru, yang dengan sendirinya sudah dievaluasi sepanjang periode
perkembangannya, maka sosiologi sastra pun mencoba menciptakan
teori-teori yang secara khas lahir melalui kombinasi sastra dan
sosiologi.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adlah
analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarrakat, maka model
analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sbb:
1.
Menganalisis masalah-masalah social yang terkandung di dalam karya
sastra itu sendiri, kemudian menghubungkanya dengan kenyataan yang
pernah terjadi.
2. Sama dengan diatas, tetapi dengan cara
menemukan hubungan-hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu,
dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu,
6.3 Psikologi Sastra
Pada
dasarnya, baik sosiologi sastra dan psikologi sastra, maupun
antroopologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam
kaitannya dengan asal-usul karya. Secara definitif, antropologi sastra
dengan sendirinya membicarakan karya sastra dalam kaitannya dengan
manusia dalam masyarakat, lebih khusus lagi manusia sebagai asal-usul
bahasa. Sosiologi sastra pada umumnya, khususnya strukturalisme genettik
tidak pernah menganggap asal-usul karya sebagai manifestasi pengarang
individual. Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan
masalah-masalah psikologis praktis. Secara definitif, tujuan psikologi
sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Ada 3 cara yang
dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra,
yaitu:
1. Memahami unsure-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis
2. Memahami kejiwaan unsure-unsur tokoh fiksional dalam karya sastra
3. Memahami unsure-unsur kejiwaan pembaca.
Pada
dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua,
yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsure-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Psikologi sastra
sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-cara
penelitian yang dilakukan dengan mennempatkan karya sastra sebagai
gejala yang dinamis.
Psikologi sasstra, model peenelitian
inrerdisiplin denngan menetapkan karya sastra sebagai memiliki posisii
yang lebih dominan. Psikologi sastra jelas tidak bermaksud unntuk
membuktikan keabsahan teori psikoologi, misalnya dengan menyesuaikan apa
yang dilakukan oleh teks dengan apa yang dilakukan oleh pengarang.
6.3 Antropologi Sastra
Salah
satu factor yang mendorong perkembangan antrropologi sastra adalah
hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernest Cassirer (1956:44)
manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikkat
manusia sebagai semata-mata animal ratiole. Dalam teori kontemporer,
ddominasi pikiran pun perlu didekonstruksi, sehingga system symbol,
termasuk suku symbol primitive dapat dimanfaatkan dan diartikan. Secara
definiitif antropologii sastra adalah studi mengeani karya sastra dengan
relevansi manusia. Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua
macam. Yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural. Maka
antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi
cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia.
Studi
antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat Negara-negara
colonial, khususnya inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non Eropa
dalam rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Antropolgi
sastra merupakan pendekatan inerdisiplin yang paling baru dalam ilmu
sastra. Lahiirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga
sebab. Yaitu:
1. Baik sastra maupun antropologi menanggap bahasa sebagai objek penting
2. Kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya
3. Kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos’
Sosiologi
sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu
humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Ketiga interdisiplin
mempermasalahkan manusia dalam masyarakat, sekaligus memberikan
intensitas pada sastra dan teori sastra. Antropologi sastra cenderung
memusatkan perhataiannya pada masyarakat kuno.sedangakan sosiologi
sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat modern,
masyarakat kompleks. Antropologi sastra padaa dasarnyya sudah terkandung
dalam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam
kaitannya dengan mitos.
Sejarah, psikologi, dan anttropologi
masing-masinng dapat diakses dalam citra arketipe. Lahirnya studi
multicultural, prostukturalisme pada umumnya, mendorong inensitas studi
interdisiplin. Antropologi sastra mempermasaahkan karya sastra ddalamn
hubungannya dengan manusia sebagai hasil kebudayaan.
Sama
seperti sosiologi sasstra dan pssikologi sastra, analisis yang berkaitan
dengan antropologi sastra yang dimaksudkan adalah karya sastra itu
sendiri, dengann memanfaatkan teori dan data antropologi. Dengan adanya
inttensitas pada manusia Dalam kebudayaan tertentu, anttrropologi sastra
memiliki relevansi dengan sastra warna local, jenis karya yang selama
ini belum banyak menarik minat, khususnya sebagai sastra kreatif.
Antrropologi sastra, selain memiliki kaita dengan penelitoan
postcolonial, jelas memiliki relevansi dengan postrukturalisme itu
sendiri, dengan cara mengangkat hasanah karya sastra regional.
Secara
praktis atropoloogi sastra diharapkan dapat membantu memperkenalkan
khazanah sastra yang terpencil dan terisolasi, yang secara tidak
langsung berarti telah membantu pemahaman ‘bhineka tunggal ika’.
BAB VIII
KESIMPULAN
Dalam
penelitian ilmu-ilmu humaniora, khususnya ilmu sastra, ada 3 komponen
yang terlibat, yaitu: a). Subjek peneliti, b). Obyek penelitian, dan c).
Sarana atau peralatan penelitian. Subjek penelitian adalah manusia itu
sendiri, dengan kemampuan intelektualitas,fisik,dana dan keseluruhan
tanggungjawab psikologis yang diperlukan selama proses penelitian. Obyek
penelitian adalah karya sastra,dengan ciri kreativitas imajinatif,
terdiri atas bebtuk dan isi. Sarana atau peralatan penelitian adalah
seperangkat cara yang digunakan menganalisis, yaitu; teori, metode,
teknik dan instrumen. Kedudukan antara subyek dan obyek relatif sama,
bahkan sering dikatakan bahwa kedudukan subyek sangat menentukan sebab
dalam penelitian dan limu humanior subyek penelitian juga merupakan
instrumen itu sendiri.
Kurangnya perhatian terhadap sastra lama
jelas menghambat penyebaran aspek – aspek kebudayaan lokal yang
terkandung di dalamnya, yang sesungguhnya sangat kaya dengan nilai –
nilai. Memberikan perhatian terhadap sastra lama bearti menopang
perkembangan visi sastra dan budaya konteporer, membangkitkan kekuatan –
kekuatan lokal, bukan dalam pengertian negatif, misalnya, pertentangan
etnis, agama dan kelompok yang lain.
Perkembangan positif bidang
penelitian sastra adalah perkembangan yang seimbang antar karya sastra
di satu pihak dengan teori, teori, kritik, dan sejarah sastra di pihak
yang lain. Kedua bidang memiliki ciri – ciri yang bertentangan, faktor
yang petama bersifat subyektif imajinatif,sedangkan faktor yang kedua
bersifat objektif. Meskipun demikian jelas keduanya saling memerlukan,
bahkan tidak mungkin dipisahkan. Kedua sastra berkembang atas dasar
perkembangan teori, kritik, dan sejarah sastra, sebaliknya teori,kritik,
dan sejarah sastra. Antarhubunganini perlu dijelaskan dengan
pertimbangan bahwa masih banyak pendapat teori, kritiks, dan sejarah
tidak perlu, karya sastra dapat berkembang secara mandiri, semata – mata
atas dasar kemampuan kreativitas imajinatif
Teori, metode, dan
teknik adalah alat,keberhasialan tergantung dari kemanmpuan orang yang
menggunakanalat tersebut. Teori lama mungkin bangkit kembal, yaitu
sesudah memperoleh cara pandang dan paradigma yang baru sehingga menjadi
teori baru. Setruktualisme kemudian menjadi postruktualisme, semiotika
struktualisme menjadi simiotik postruktualisme atau hipersemiotik.
Sama
dengan karya sastra,setiap penelitian harus berbeda dengan penelitian
yang dilakuakan oleh orang lain, penelitian harus orisional. Perbedaan
dimungkinkan oleh dua faktor; a) faktor pebedaan objek, b) faktor
pebedaan teori dan metode. Teori, metode, dan teknik, bukan semata –
mata alat yang pasif,alat dalam pengertian sehari – hari. Selama
dimanfaatkan teori menghasilkan energi yang menarik partikel – partikel
objek sehingga gejala yang semula stagnasi menjadi bereaksi. Makin
canggih sebuah teori,maka makin kuatlah energi yang dihasilkan.
Kemampuan tersebut ditunjukan oleh teori mutakhir, yaitu
postruktualisme. Beberapa konsep, seperti; kernels dan satellites
(chatnman), concretization (Vodikta), horison harapan (jausz), ruang
kosong (iser), hyprogram (Riffaterre), dialogis dan polifoni (Bakhtin),
interteks (Kristeva), readerly dan writterly (Barthes), cyborg
(Haraway), orientalisme (Said), difference dan archewriting (Derrida),
arsip dan arkeologi (Foucault), metanarasi (Lyouard). Karya sastra hanya
menyediakan instalasi, energinya terkandung dalam pembaca dengan
memanfaatkan teori sebagai alat. Makna dengan demikian dihasilkan oleh
pembaca.