1.
Pendahuluan
Sejak sekitar abad ke-3 S.M. istilah
filologi sudah dipakai oleh para ahli di Aleksandria (Baried, 1983: 1-2).
Dikatakan bahwa kegiatan mereka adalah berusaha mengkaji teks-teks lama yang
berasal dari bahasa Yunani. Pengkajian mereka terhadap teks-teks tersebut
bertujuan menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarangnya
dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Usaha
mencari perbedaan bacaan yang terdapat di dalam teks (varian) akan diketahui
adanya bacaan yang rusak (Korup).
Jadi tugas filologi adalah untuk memurnikan
teks dengan mengadakan kritik terhadap teks, dan tujuan kritik teks ialah menghasilkan suatu teks yang paling
mendekati aslinya. Teks yang sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan
telah tersusun kembali seperti semula merupakan teks yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian
dalam bidang-bidang ilmu lain (1983: 93).
2.
Edisi Teks dan Kritik Teks
Edisi
teks atau sering dikenal dengan istilah suntingan
teks adalah (upaya) menyusun suatu teks secara utuh setelah dilakukan
pemurnian teks ke dalam sesuatu bahasa. Pemurnian
teks adalah upaya untuk menentukan salah satu teks yang akan dipakai
sebagai dasar transliterasi naskah berdasarkan penelitian teks dengan suatu
metode kritik teks. Metode kritik teks
meliputi perbandingan naskah untuk mengelompokkan varian-varian yang ada dan
merekonstruksi garis penurunan naskah (stema) (Christomy, 1988: 7; Mass: 1972).
Jadi menyunting teks bukan sekedar memilih salah satu naskah untuk ditransliterasi,
tetapi pilihan itu harus didasarkan pada penelitian yang seksama.
Langkah awal dari suatu penelitian
teks adalah menginventarisasi naskah yang langkah kerja ini akan terrealisasi
pada deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasi naskah dapat
dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yang dimaksud dalam suatu katalog
naskah. Upaya memperoleh naskah kecuali dapat dilakukan dengan perunutan ke
dalam katalogus naskah dapat juga ke suatu badan atau perorangan yang diketahui
memiliki naskah tersebut. Pada umumnya penulisan skripsi/tesis S-1 dan S-2
dapat dimaklumi jika pelacakan naskah itu hanya dilakukan di dalam negeri atau
hanya daerah tertentu misalnya di Jawa, hal itu dapat dilakukan karena
mengingat adanya keterbatasan-keterbatasan. Tetapi untuk penulisan suatu
desertasi, pelacakan naskah itu harus dilakukan secara internasional, artinya
peneliti harus dapat melacak semua naskah yang ada di dunia berdasar
sumber-sumber yang layak, misal katalogus naskah, journal, dan
penerbitan-penerbitan yang ada. Prof. Dr. Sulastin Sutrisno *) pernah
mengatakan bahwa pada suatu ujian desertasi tentang Filologi, tiba-tiba saat dilakukan ujian itu baru diketahui ada
satu naskah yang belum disebutkan dalam penelitian itu, padahal naskah itu
berada di Perancis, maka ujian itu ditunda dan promovendus yang bersangkutan
harus melacak naskah itu ke Perancis. Hal ini merupakan satu contoh bahwa
menyunting naskah itu memerlukan suatu penelitian yang seksama dengan data yang
lengkap, bukan asal menyunting sembarangan teks dengan asal melakukan suatu
transliterasi terhadap teks. Suatu hal yang kadangkala menimbulkan salah sangka
orang adalah adanya salah pengertian tentang istilah Suntingan Naskah atau Edisi
Naskah, sebagian orang menganggap bahwa menyunting atau mengedit itu bukan
sebagai suatu penelitian, anggapan ini tidak dapat dibenarkan. Karena
penyuntingan naskah di dalam bidang filologi harus didasarkan suatu penelitian
yang menggunakan metode kritik teks.
Pentransliterasian naskah yang tidak
melalui suatu edisi kritis terdapat banyak kelemahan. Karena besar sekali
kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah, yang berarti kesahihan teks dapat diragukan. Oleh sebab itu setiap
kajian teks harus didahului oleh suatu edisi kritis. Masalah ini kelihatannya
hanya sederhana, tetapi sering dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek
kajian berupa teks, padahal teks yang belum digarap secara filologis masih
terdapat kelemahan, misalnya salah tulis, kurang lengkap isinya, dsb.
Transliterasi naskah yang tanpa
didahului penelitian yang seksama, meskipun naskah yang dipakai sebagai objek
penelitian berupa naskah cetakan juga sering ada kelemahan. Kebiasaan ini
sering dilakukan oleh mahasiswa S-1 dalam penulisan skripsinya. Di pihak lain
ada contoh kasus yang perlu diperhatikan di sini ialah, bahwa Hikayat Indera Bangsawan, di Museum
Pusat Jakarta terdapat 6 buah naskah, semua naskah sama isinya. Salah satunya
pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ternyata beberapa waktu kemudian
diketemukan koleksi v.d.W. 162 yang isinya lebih lengkap dari yang diterbitkan
oleh Balai Pustaka (Fang, 1991: 175). Di
Singapura ada pengecapan naskah ini dengan batu tahun 1310 dan 1323 H atau 1890
dan 1862 M. di Aceh juga terdapat sadurannya dalam bahasa Aceh. Jika peneliti
terus saja percaya kepada naaskah cetakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka
dan terbitan di Singapura, maka kesahihan sumber datanya kurang sempurna.
Itulah sebabnya edisi kritis itu amat perlu dilakukan.
Pengembangan Penelitian Filologi
Dalam penyelenggaraan
pertemuan-pertemuan ditingkat internasional, disiplin ilmu filologi sering
dikaitkan bidang sastra, atau dengan kata lain pertemuan-pertemuan itu tidak
begitu mempermasalahkan perbedaan antara kajian filologi dengan kajian sastra,
dan kajian bidang filologi sering dimasukkan ke kajian bidang sastra (lih.
“Symposium”: 1986). Karena kajian yang bersifat filologis dengan melalui suatu
edisi kritis dapat dikembangkan ke bentuk kajian yang lain dengan menggunakan
metode literer. Hal itu dapat dipahami setelah diketahui terlebih dahulu
mengenai ruang lingkup pengembangan penelitian filologi. Berikut dikemukakan
ruang lingkup penelitian filologi dan pengembangannya dalam bentuk skema.
SKEMA EDISI TEKS DAN KAJIAN
TEKS
1.
|
PENGANTAR EDISI
TEKS
|
PENDAHULUAN
Seperangkat
unsur Pendahuluan yang lazim bagi suatu penelitian: Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Landasan Teori, Tujuan Penelitian, dsb.
|
2.
|
INTI EDIDI TEKS
|
DESKRIPSI NASKAH
-
Informasi: Inventarisasi Naskah,
-
Keadaan Naskah: Tulisan, Bentuk Huruf, Bahasa, Isi,
dsb.
-
Sejarah Penurunan Naskah, dsb.
-
Transliterasi Naskah
-
Aparat Kritik
|
3.
|
PELENGKAP EDISI TEKS
|
Penjelasan: Kandungan Teks
-
Daftar Kata Asing
-
Indeks
-
Terjemahan/Penafsiran
|
4.
|
KAJIAN TEKS
|
Metodologi:
- Intrinsik
- Ekstrinsik
- Gabungan
antara Intrinsik-Ekstrinsik
|
5.
|
PENUTUP
|
Kesimpulan/Saran
- Kepustakaan
- Lampiran
|
Unsur-unsur penelitian filologi yang
paling penting adalah nomer 1), 2), 3), 5). Studi yang demikian ini sudah
dianggap memenuhi persyaratan sebagai suatu edisi kritis.
Unsur
nomer 4) merupakan bagian yang memungkinkan dikembangkannya penelitian filologi
dengan berbagai disiplin ilmu terutama bidang kebahasasan dan kesusastraan.
Jadi jika sumber data itu sudah merupakan hasil edisi kritis, pendekatan
literer itu dapat diterapkan. Di sini terbuka kesempatan bagi para filolog
untuk menerapkan seperangkat pendekatan sastra yang makin hari makin pesat
perkembangannya. Dan di sini pula filolog dapat menerapkan suatu kajian yang
relevan dengan arus perkembangan ilmu pengetahuan.
Kajian terhadap teks terbuka
kemungkinan untuk mempergunakan berbagai pendekatan literer, kebahasaaan, dan
pendekatan multidisipliner. Pendekatan literer yang dapat dipakai (disesuaikan
dengan keadaan, bentuk, dan isi teks) adalah pendekatan struktural, mimetik,
pragmatik, ekspresif, reseptif, fungsional, intertekstual, semiotik,
dekonstruktif, penafsiran, dsb. Dapat pula dilakukan dengan gabungan antara
pendekatan literer dan kebahasaan, misal: fungsi poetik bahasa Roman Jakobson,
lapis-lapis makna Roman Ingarden, dan berbagai pendekatan semiotik. Dan
pendekatan yang merupakan gabungan antara pendekatan literer dengan pendekatan
multidisipner, misal: sejarah sastra, sosiologi sastra, reseptif, feminisme
atau bahkan post feminime, dsb. Dan juga khusus tentang pendekatan
reseptif (misalnya analisis reseptif
terhadap kitab Undang-undang dapat dikomparasikan dengan ilmu hukum).
Akhir-akhir ini banyak penulis yang menyukai pendekatan struktural, fungsional,
reseptif, dan intertekstual; tetapi jarang yang menggunakan pendekatan yang
lain sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini dapat memberi peluang bagi
penulis-penulis lain untuk mengembangkan penelitiannya dengan variasi pendekatan
yang praktis dan mutakhir. Dengan menggunakan pendekatan mutakhir dan relevan
dengan masalah kekinian akan menempatkan filologi sesuai dengan arus
perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga peranan filologi
dapat dirasakan manfaatnya dalam kalangan yang lebih luas terutama di dunia
ilmu pengetahuan.
Penutup
Langkah pertama studi filologi
adalah berupa edisi teks dan langkah berikutnya berupa kajian teks. Kajian teks
membuka peluang diterapkannya berbagai teori ilmu pengetahuan guna memperluas
cakrawala penelitiannya, sehingga studi filologi akan dirasakan manfaatnya
secara lebih luas pula. Tampaknya hal ini cukup menjadi perhatian kita untuk
mengantisipasi datangnya globalisasi dunia dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, dkk., 1983. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra UNS.
Christomu,
Tomy. 1988. “Beberapa Catatan tentang Studi Filologi di FSUI”. Seminar Pernaskahan 30-31 Agustus. Jakarta: Fak. Sastra UI.
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah
Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Maas,
Paul. 1972. Textual Criticism.
Translated from the German by Barbara Flower (many reprints). Oxford University Press.
Symposium on the Study of Indonesian
Literatures. 1986. “Variation and
Transformation Perspective in the Study of Indonesian Literatures”. 10
– 12 September. Leiden.

Illustrated Text of the Qur’an
This beautifully decorated page comes
from a Qur’an of the late 8th century or early 9th century. Muslims believe
that the Qur’an is an infallible transcription of God’s message to Muhammad. As
the messenger of God and seal of the prophets, Muhammad was charged with the
responsibility of relaying this message to all believers. Divided into 114 suras,
or chapters, the Qur’an is meant to be recited or chanted as part of Islamic
worship.
Corbis/Bojan Brecelj
BAHAN KULIAH Drs. Istadiyantha, M.S.
FILOLOGI DAN CARA KERJA
PENELITIAN FILOLOGI
Oleh : Edwar Djamaris
Filologi ialah suatu ilmu yang obyek penelitiannya
naskah-naskah lama. Sebelum kita membicarakan pokok-pokok pengertian tentang
filologi ini lebih lanjut, baiklah kita jelaskan terlebih dahulu, apa yang
dimaksud dengan naskah ini. Yang dimaksudkan dengan naskah di sini, ialah semua
peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan
rotan. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah-naskah yang
berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak dipakai pada
naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan biasa digunakan
pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini
disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
“handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis
pada batu. Batu yang mempunyai tulisan itu biasa disebut piagam, batu bersurat,
atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang tulisan batu itu disebut epigrafi.
Mengingat
bahan naskah seperti tersebut di atas, jelaslah, bahwa naskah it tidak dapat
bertahan beratus-ratus tahun tanpa pemeliharaan yang cermat dan perawatan yang
khusus, sebagaimana dapat kita jumpai di luar negeri. Pemeliharaan naskah agar
tidak cepat rusak, antara lain : mengatur suhu udara tempat naskah itu
disimpan, sehingga tidak cepat lapuk;
melapisi kertas-kertas yang sudah lapuk dengan kertas yang khusus untuk
itu, sehingga kuat kembali; dan menyemprot naskah-naskah itu dalam jangka waktu
tertentu dengan bahan kimia yang dapat membunuh bubuk-bubuk yang memakan kertas
itu. Demikian antara lain pemeliharaan khusus terhadap naskah-naskah itu,
tetapi tinta yang memecah dan kertas yang cepat menguning atau dengan kata lain
kualitas tinta dan kertas yang kurang baik sukar diatasi.
Dapatlah
dibayangkan, bahwa apabila naskah-naskah tidak dirawat dengan cermat akan cepat
sekali hancur dan tidak bernilai lagi sebagai warisan budaya nenek moyang.
Naskah bukanlah perhiasan yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkannya saja.
Naskah itu baru berhar, apabila masih dapat dibaca dan dipahami.
Semua
naskah itu dianggap sebagai hasil sastra lama dan isi naskah itu
bermacam-macam. Ada yang sebetulnya tidak dapat digolongkan dalam karya sastra,
seperti undang-undang, adat-istiadat, cara-cara membuat obat, dan cara membuat
rumah. Sebagian besar dapat digolongkan dalam karya sastra, dalam pengertian
khusus, seperti cerita-cerita dongeng, hikayat, cerita binatang, pantun, syair,
gurindam, dsb. Ituah sebabnya pengertian filologi diidentikkan dengan sastra
lama.
Sebagai
contoh keragaman isi naskah itu dapat kita lihat padanaskah-naskah Melayu yang
tersimpan di Museum Pusat Jakarta, berdasarkan Katalogus Koleksi Naskah Melayu. Dalam katalogus itu naskah dapat
digolongkan dalam beberapa golongan yaitu :
I.
Hikayat : 243 judul
II.
Cerita
kenabian : 138 judul
III.
Cerita
sejarah : 58 judul
IV.
Hukum
dan adat : 50 judul
V.
Puisi : 99 judul
VI.
Pustaka
agama Islam : 273 judul
VII.
Aneka
ragam : 92 judul
Demikianlah
sala satu contoh keragaman isi naskah itu.
Hasil
sastra pada naskah ini dapat dikatakan sebagai periode atau tahap kedua dalam
kehidupan sastra pada umumnya. Tahap pertama kehidupan sastra itu muncul secara
lisan, sebelum orang mengenal tulisan. Sebagaimana diketahui sastra lisan tidak
merupakan obyek penelitian filologi. Hasil sastra pada naskah ini dapat pula
dianggap sebagai periode pertama kehidupan sastra setelah orang mengenal
tulisan.
Sekarang
kita kembali membicarakan apa yang dimaksud dengan filologi itu. Filologi
berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari dua kata philos dan logos. Philos artinya cinta dan logos artinya kata (logos berarti juga ilmu). Jadi filologi itu secara harfiah berarti
cinta pada kata-kata. Itulah sebabnya filologi selalu asyik dengan kata-kata.
Kata-kata dipertimbangkan, dibetulkan, diperbandingkan, dijelaskan asal-usulnya
dan sebagainya, sehingga jelas bentuk dan artinya.
Pengertian
filologi ini kemudian berkembang; dari pengertian cinta pada kata-kata menjadi
cinta pada ilmu. Filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta komentar
penjelasannya, tetapi juga ilmu yang menyelidiki kebudayaan suatu bangsa
berdasarkan naskah. Obyeknya tetap sama, yaitu naskah. Dari penelitian
filologi, kita dapat mengetahui latar belakang kebudayaan yang menghasilkan
karya sastra itu, seperti kepercayaan, adat-istiadat dan pandangan hidup suatu
bangsa.
Memang
pekerjaan utama dalam penelitian filologi itu, sebagaimana dikatakan oleh Dr.
Haryati Soebadio, ialah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan,
yang berarti memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan yang bisa
dipertanggungjawabkan, sehingga kita dapat mengetahui naskah yang paling dekat
pada aslinya, karena naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan untuk kesekian
kalinya; serta cocok pula dengan kebudayaan yang melahirkannya, sehingga perlu
dibersihkan dari tambahan yang diterakan dalam zaman kemudian yang dilakukan
waktu penyalinannya. Hal ini penting, supaya isi naskah tidak diinterpretasikan
secara salah.
Jelaslah,
suatu naskah harus terlebih dahulu diteliti secara cermat, diperbandingkan,
setelah itu barulah dapat dipergunakan untuk penelitian lain, seperti sejarah,
undang-undang, agama dan sosiologi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui, apakah
isi naskah itu tidak salah atau disadur orang lain; apakah isinya tidak berbeda
antara satu naskah dengan naskah lain. Kalau terdapat perbedaan, apakah
perbedaan itu disebabkan salah tulis, salah baca, kelupaan, terlampaui
menulisnya, sehingga akan menimbulkan salah tafsir. Suatu naskah baru boleh
dibahas isinya, kalau naskah yang bersangkutan sudah diteliti sedalam-dalamnya
secara filologi, seperti tersebut di atas. Sebelum studi filologi dilakukan,
hasilnya belum bisa dipastikan. Boleh dikatakan hasilnya baru bersifat
sementara, sebab tidak bisa ditutup kemungkinan, bahwa teks yang digunakan
disalahartikan oleh ahli sejarah, ahli sosiologi, ahli hukum, dsb.
Suatu
cerita tertulis dalam satu atau lebih naskah dan pada umumnya lebih dari satu
naskah; ada yang lebih dari 40 buah naskah seperti Tambo Minangkabau. Suatu
naskah diperbanyak dengan jalan menyalin yang dapat dikerjakan oleh siapa saja,
karena cerita dianggap milik bersama. Tetapi harus pula diingat, bahwa orang
yang pandai menulis pada waktu itu juga sangat sedikit, sehingga tidak heran
kalau orang yang mempunyai naskah itu merasa bangga sekali dan menganggapnya
sebagai benda keramat. Kalau ada orang yang hendak membacakan isi naskah itu
diharuskan pula mengadakan upacara tertentu pula.
Semakin
banyak naskah untuk suatu cerita, sebetulnya semakin baik, sehingga kita
mendapatkan gambaran yang jelas terhadap cerita itu; akan tetapi penelitian itu
semakin rumit, karena akan memakan waktu dan meminta ketelitian untuk membaca
semua naskah itu dan memperbandingkannya.
Sekarang
timbul pertanyaan, mengapa naskah itu disalin. Jawabnya ada beberapa
kemungkinan. Naskah itu disalin, karena keinginan memiliki cerita itu, atau
mungkin naskah asli sudah rusak, sehingga terpaksa dibuatkan salinannya yang
baru. Berdasarkan hal itu timbul beberapa buah naskah yang sejenis. Mungkin
juga suatu cerita lisan yang telah tersebar di kalangan masyarakat, kemudian
timbul keinginan hendak menyalinnya. Naskah-naskah jenis inilah umumnya yang
banyak kita jumpai perbedaan-perbedaannya.
Berdasarkan
pengamatan terhadap naskah-naskah yang ada, dapatlah diperkirakan cara menyalin
naskah tersebut sebagai berikut. Penyalin menyalin suatu naskah secara ototis,
tidak cermat dan tidak memperhatikan isi kalimat naskah yang disalinnya itu,
sehingga sering kali terdapat salah tulis. Ada juga penyalin memperhatikan isi
kalimat, sehingga dengan sengaja mengubah kata, menambah atau mengurangi
kata-kata atau susunan kalimat yang dianggap salah itu, sehingga terdapat
beberpa naskah yang gaya bahasanya berbeda. Dan kemungkinan lain seperti telah
disebutkan di atas, cerita disalin dari cerita lisan. Sudah barang tentu dalam
menuliskan ada bagian yang lupa atau susunan cerita yang berbeda.
Hal-hal
itulah yang perlu dijelaskan oleh filolog. Filolog yang cermat harus dapat
menjelaskan, apa sebabnya penyalinan naskah menuliskan kata-kata salah atau
kurang jelas atau sembrono. Apakah hal itu disebabkan penulisannya tidak
teliti, atau penulisnya tidak tahu kata-kata yang dituliskannya, karena kurangnya
pengetahuannya terhadap kata-kata dan isi cerita naskah yang disalinnya itu,
sehingga tidak mengerti maksud penulis naskah yang naskahnya digunakan sebagai
sumber itu.
Cara Kerja
Penelitian Filologi
Sekarang
sampailah kita membicarakan cara kerja penelitian filologi itu. Ada beberapa
masalah pokok yang perlu dilakukan dalam penelitian filologi itu, diantaranya,
yaitu :
1.
Inventarisasi
naskah;
2.
Deskripsi
naskah;
3.
Perbandingan
naskah;
4.
Dasar-dasar
penentuan naskah yang akan ditransliterasi;
5.
Singkatan
naskah; dan
6.
Transliterasi
naskah.
Baiklah masalah-masalah
tersebut di atas kita jelaskan satu-persatu, dan apa perlunya pokok-pokok
penelitian itu dilakukan.
1.
Inventarisasi Naskah
Apabila kita ingin meneliti
suatu cerita bedasarkan naskah menurut cara kerja filologi, pertama-tama
hendaklah didaftarkan semua naskah yang terdapat di berbagai perpustakaan
universitas atau museum yang biasa menyimpan naskah. Daftar naskah dapat
dilihat berdasarkan katalogus naskah yang tersedia. Sebagai contoh untuk
naskah-naskah yang berbahasa Melayu sudah ada sebuah daftar naskah yang disusun
oleh Joseph H. Howard dalam sebuah buku yang berjudul Malay Manuscripts. Dalam buku ini telah didaftar naskah-naskah
Melayu yang terdapat di berbagai universitas dan museum di alam dan di luar
negeri berdasarkan katalogus yang ada, di samping daftar salinan naskah-naskah
Melayu yang terdapat di perpustakaan Universiti Malaya.
Dalam buku Malay Manuscripts itu didaftar
naskah-naskah Melayu yang terdapat di Muenchen, Brussel London, Leiden, Berlin,
Hamburg dan Jakarta. Bagi yang ingin memperdalam penelitian mengenai
naskah-naskah Melayu ini, nanti pada akhir pembicaraan ini, akan dicantumkan
daftar katalogus naskah Melayu.
Naskah-naskah yang diperlukan
dapat diperoleh dengan memesan didaftar untuk mengetahui jumlah naskah dan di
mana naskah itu disimpan, serta penjelasan mengenai nomor naskah, ukuran
naskah, tulisan naskah, tempat dan tanggal penyalinan naskah.
Keterangan-keterangan ini dapat dilihat dalam katalogus.
Sebagai contoh, saya kutip
daftar naskah Tambo Minangkabau.
A.
Jakarta
I.
Van
Ronkel (1909)
1.
Bat.
Gen 40 : 19 x 30 cm, 52 hal., 34 br., Arab-Melayu, jelas. Sungai Batang, Ahad,
Rajab 1263.
2.
Bat.
Gen 280 : 17 x 20 cm, 92 hal., 18 br., Arab-Melayu, jelas. Air Haji, 1812.
II.
KKNM
(1972)
1.
MI.
428 : 17 x 21,5 cm, 55 hal., 41 br., Arab-Melayu, jelas. Kolofon tidak ada.
2.
MI.
490 : 21 x 33 cm, 156 hal., 38 br., Latin, kurang jelas. Kolofon tidak ada.
B.
Leiden
I.
Juynboll (1899)
1.
Cod
Or. 1745/CCLVI : 13 x 20 cm, 70 hal., 19 br., Arab-Melayu, jelas, 13 Syafar
1240, Kitab Baginda Tanalam Sikaturi.
2.
Deskripsi Naskah
Langkah
kedua, setelah selesai menyusun daftar naskah yang hendak kita teliti, dan
naskah pun telah tersedia untuk dibaca, barulah kita membuat uraian atau
deskripsi tiap-tiap naskah secara terperinci. Dalam uraian itu, di samping apa
yang telah disebutkan dalam daftar naskah, juga dijelaskan keadaan naskah,
kertas, watermark kalau ada, catatan
lain mengenai isi naskah, serta pokok-pokok isi naskah itu. Hal ini penting
sekali untuk mengetahui keadaan naskah, dan sejauh mana isi naskah itu.
Penelitian ini sangat membantu kita untuk memilih naskah mana yang paling baik
digunakan untuk perbandingan naskah itu.
Contoh
yang amat sederhana dalam hal ini saya kutip dari deskripsi naskah Hikayat Nur Muhammad, sebagai berikut :
Nomor naskah :
Bat. Gen. 96/MI. 96
Ukuran naskah :
13 x 20 cm, 18 hal., 15 br.
Tulisan naskah :
Arab-Melayu, kurang jelas.
Keadaan naskah :
Kertas agak lapuk, beberapa halaman dilapisi dengan kertas minyak, karena sobek.
Kolofon :
tidak ada
Catatan lain :
Naskah ini tercatat pada katalogus Van Ronkel (1909), hal. 222, dan pada KKNM
(1972), hal. 172. Cerita dimulai pada halaman 2; isinya kurang lengkap. Naskah
ini terdiri dari dua cerita, yaitu :
1.
Hikayat
Nur Muhammad
2.
Nasehat
untuk perempuan (judul ini tidak tertera dalam naskah), hal. 9-18.
Pokok-pokok
isi cerita Hikayat Nur Muhammad ini sebagai berikut :
1-3
:
Dimulai dengan basmallah dan pujian terhadap kebesaran Allah dalam bahasa Arab,
tanpa terjemahannya. Kemudian dijelaskan, bahwa Nur Muhammad itu telah diciptakan
Allah sebelum adanya segala sesuatu di dunia ini. Itulah permulaan kejadian.
3-6
:
Tuhan menciptakan tujuh laut, yaitu laut ilmu, laut latif, laut sabar, laut akal,
laut pikir, laut rahmat dan laut cahaya. Nur Muhammad diperintahkan Allah
berenang ke tujuh laut itu. Nur Muhammad
pun berenang ke sana.
6-8 : Tuhan menciptakan segala sesuatu dari empat unsur, yaitu angin,
air, api, dan tanah. Nur Muhammad diperintahkan Tuhan pergi kepada tiap unsur itu.
Semuanya menyombongkan dirinya lebih tinggi dari yang lain, kecuali tanah,
ketika Nur Muhammad itu datang.
Setelah semuanya diberi pelajaran oleh Nur
Muhammad, barulah masing-masing sadar akan kekurangannya dan bertobat kepada
Tuhan.
Dari
deskripsi naskah tersebut di atas itu jelaslah, bahwa naskah tersebut isinya
sangat sederhana, tidak lengkap, tulisannya juga tidak jelas dan naskah sudah
agak rusak. Keterangan-keterangan seperti tersebut di atas itulah yang dapat
nanti digunakan sebagai bahan pertimbangan memilih naskah yang baik untuk
diteliti lebih lanjut.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, deskripsi tersebut masih sangat sederhana. Apabila
kita ingin keterangan yang lebih terperinci, hendaklah pula dijelaskan berapa
halaman naskah itu yang terpakai dan berapa halaman yang kosong.
Bagaimanakualitas kertasnya, bergaris atau polos, ukurannya kuarto atau folio,
warnanya putih atau sudah menguning? Kalau ada juga sebutkan ciri-ciri
watermark kertas itu. Apa warna tinta yang digunakan, hitam, merah, atau biru?
Keterangan mengenai tulisan naskah juga dapat diperjelas, misalnya besar,
kecil, rapi, sembono, bagus, atau jelek. Susunan baris naskah teratur atau
tidak, disertai garis pinggir, dihiasi atau tidak? Apakah juga ada catatan pada
pinggir naskah atau tidak? Dan keterangan-keterangan atau ciri-ciri khusus
lainnya kalau ada perlu disebutkan
3.
Perbandingan Naskah
Satu
tahaplagi penelitian filologi yang memerlukan ketekunan dan memakan banyak
waktu, ialah perbandingan naskah. Perbandingan naskah perlu dilakukan, apabila
sebuah cerita ditulis dalam dua naskah atau lebih untuk membetulkan kata-kata
yang salah atau tidak terbaca; untuk menentukan sisilah naskah; untuk
mendapatkan naskah yang terbaik; dan untuk tujuan-tujuan lain.
Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam naskah-naskah itu timbul, karena naskah
itu diperbanyak dengan menyalin. Dalam menyalin kembali itu terdapat banyak
kesalahan dan penambahan baru, karena cara yang dilakukan dalam menyalin naskah
itu bermacam-macam sesuai dengan kepandaian dan keinginan si penyalin.
Dari pengamatan
sementara, dapat disimpulkan di sini cara yang dilakukan dalam menyalin naskah
itu sebagai berikut :
a.
Menyalin
dengan membetulkan;
b.
Menyalin
dengan menggunakan bahasa sendiri;
c.
Menyalin
dengan menambah unsur atau bagian cerita baru, karena adanya pengaruh asing;
dan
d.
Menyalin
ceritera dari ceritera lisan atau sumber yang berbeda.
Hal-hal
inilah yang menyebabkan perlunya naskah itu diperbandingkan. Sudah menjadi ciri
sastra lama, bahwa pengarang atau penyalin cerita bebas menambah, mengubah atau
memperbaiki ceritera yang diperolehnya. Meskipun demkian, tentu ada
batas-batasnya juga, sepanjang isi atau pokok ceritanya tidak berubah, karena
mengubah suatu tradisi tabu bagi masyarakat lama. Masyarakat lama menganggap
naskah itu sebagai warisan atau pusaka yang tinggi nilainya. Hal inilah yang
memberi jaminan pada kita, bahwa isinya dapat dipercayai, betul-betul hidup
dalam masyarakat sesuai dengan kepercayaannya dan tidak dikarang sesuka
penulisnya.
Perbandingan
naskah itu dapat meliputi :
a.
Perbandingan
kata demi kata, untuk membetulkan kata-kata yang tidak terbaca atau salah;
b.
Perbandingan
susunan kalimat atau gaya bahasa, untuk mengelompokkan cerita dalam beberapa
versi dan untuk mendapatkan cerita yang bahasanya lancar dan jelas; dan
c.
Perbandingan
isi cerita, untuk mendapatkan naskah yang isinya lengkap dan tidak menyimpang
dan untuk mengetahui adanya unsur baru dalam naskah itu.
Hal ini
perlu dilakukan untuk mendapatkan cerita yang bebas dari kesalahan; isi cerita
tidak diinterpretasikan secara salah; penggolongan cerita sesuai dengan
penyajiannya; dan untuk menentukan sisilah naskah itu.
Sebagai contoh
perbandingan kata demi kata dan perbandingan susunan kalimat, dapat kami
sajikan di sini suatu kutipan berdasarkan dua naskah Tambo Minangkabau. Perhatikanlah
kutipan di bawah ini dengan seksama :
MI. 439
Adapun anak Adam alaihi s-salam tiga puluh
sembilan orang, maka bernikah antara
satu anak daripada satu anak.
Maka tiadalah beroleh
istri anak yang bungsu, maka dilarikan oleh segala malaikat kepada hawang-gumawang, maka heranlah Adam
dan Siti Hawa dan segala anak-anak.
Maka bertiuplah angin
dari dalam sorga, maka dipalu gendang dan srunai serta nobat dan
kecapi, maka terkembanglah payung ubur, maka menarilah segala anak-anakan bidadari di dalam sorga, karena suka
melihat anak Adam yang bungsu di awang gumawang itu.
|
MI. 489
Adapun anak Nabi Allah Adam tiga puluh sembilan
orang, maka bernikah pada satu
perhentian, artinya suatu anak dari
suatu anak.
Maka tiadalah beroleh
istri anak Nabi Allah Adam nan bungsu.
Dengan ditakdirkan Allah Taala, maka silarikannya
oleh segala malaikat kepada awang-awang-gumawang,
maka heranlah Nabi Adam dengan Siti Hawa dan segala anaknya.
Maka bertiuplah angin
dalam Sarugo, maka baliuk malembai kayu
tubi, maka dipalu oranglah gendang dalam sarugo nan bernama gendang nobat.
Maka bertipun serurai sirandang kacang dengan ribut dan kaca-kaca. Maka
berkembanglah payung ubur-ubur, maka menarilah segala anak-anakan bidadari di
dalam sarugo, karena suka hatinya
melihat anak Nabi Adam alaihi s-salam nan di awang-gumawang itu.
|
(Kata-kata yang berbeda pada kedua naskah itu saya beri
garis bawah, supaya lebih jelas kelihatannya).
Dari
perbandingan kedua naskah itu, dapatlah kita lihat banyaknya perbedaan
kata-kata pada kedua naskah itu. Dan dari perbandingan itu dapat pulalah kita
memilih kata-kata mana yang lebih tepat dan betul pada kedua naskah itu. Misalnya,
pada naskah MI. 439 terdapat kata ‘Adam alaihi s-salam’, sedang pada naskah
MI.489 tertulis ‘ Nabi Allah Adam’. Sebaiknya ditulis ‘ Nabi Adam Alaihi
s-salam’, masing-masing saling melengkapi. Demikian pula kata-kata ‘ribut dan
kaca-kaca’ pada naskah MI. 489, sedang pada naskah MI. 439 tertulis ‘nobat dan
kecapi’. Dalam hal ini yang betul adalah ‘nobat dan kecapi’ (sejenis alat musik).
Naskah MI.439 dapat membetulkan kesalahan yang erdapat pada naskah MI. 489 itu.
Perbandingan
isi cerita hanya dapat dilakukan berdasarkan garis besar atas pokok-pokok isi
cerita yang dapat dilihat pada deskripsi naskah.
4.
Dasar-dasar Penentuan Naskah yang Akan
Ditransliterasi
Teori yang
digunakan untuk memilih naskah yang akan ditransliterasikan tentulah
dihubungkan dengan tujuan penlitian. Salah satu tujuan penelitian filologi,
ialah untuk mendapatkan suatu naskah yang paling lengkap dan paling baik atau
yang paling representatif dari naskah-naskah yang ada. Dengan demikian perlu
perbandingan naskah. Semua naskah yang ada diteliti dan dibandingkan isinya,
tulisannya, keadaannya, bahasanya, dan umur naskah itu.
Berdasarkan
hal itu dapatlah kita gunakan kerangka teori untuk memilih naskah yang paling
baik dan paling lengkap itu sebagai berikut :
1.
Isinya
lengkap dan tidak menyimpang dari kebanyakan naskah lain;
2.
Tulisannya
jelas dan mudah dibaca dan diutamakan naskah yang ditulis dengan huruf
Arab-Melayu;
3.
Keadaan
naskah baik dan utuh;
4.
Bahasanya
lancar dan mudah dipahami; dan
5.
Umur
naskah lebih tua.
Hal-hal tersebut di atas tentu baru bisa
diketahu setelah adanya daftar naskah, deskripsi naskah yang cermat, dan
perbandingan naskah.
Naskah yang memenuhi syarat-syarat tersebut di
atas itulah yang kita pilih untuk ditransliterasikan sebagai dasar dan naskah
lainnya kita gunakan yang terdapat pada naskah yang kita pakai sebagai dasar
itu. Dengan demikian terpenuhilah tujuan penelitian untuk mendapatkan suatu naskah
yang lengkap isinya dan baik bahasanya.
5.
Singkatan Naskah
Membuat
singkatan naskah secara terperinci dapat dikatakan sebagai langkah kelima
penelitian filologi. Salah satu tujuannya, ialah untuk memudahkan pengenalan
isi naskah. Naskah-naskah yang akan dibuat singkatannya itu hndaklah dipilih
naskah yang terbaik dari naskah yang ada, sebagaimana telah kita bicarakan pada
ad. 4 tersebut di atas.
Dalam
menyusun singkatan naskah itu hendaklah dicantumkan halaman-halaman naskah
secara cermat, sehingga dengan mudah dapat diketahui dari halaman berapa sampai
halaman berapa suatu episode atau bagian cerita itu dimulai dan selesai
diikhtisarkan.
Singkatan
naskah secara terperinci dapat pula dianggap sebagai usaha pertama
memperkenalkan hasil-hasil sastra lama yang masih berupa tulisan tangan dan
kebanyakan ditulis dengan huruf Arab-Melayu itu, agar dengan mudah dapat dibaca
dan diketahui garis besar jalan ceritanya. Sebagai contoh dalam hal ini ialah
sebuah kumpulan singkatan naskah yang berjudul : “Singkatan Naskah Sastra
Indonesia Lama Pengaruh Islam”.
Bahasa dan
Kesusastraan, Seri Khusus no. 18, th.
1973, Lembaga Bahasa Nasional, Jakarta.
6.
Transliterasi/Transkripsi Naskah
Yang
dimaksud dengan transliterasi, ialah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf
dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Misalnya dari huruf Arab-Melayu ke
huru Latin. Dapat juga dari huruf Jawa atau Sansekerta ke huruf Latin atau
sebaliknya. Sedang transkripsi ialah gubahan teks dari satu ejaan ke ejaan
lain. Misalnya, naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Latin yang sudah barang
tentu ditulis dengan ejaan lama diubah dalam ejaan yang berlaku sekarang. Akan
tetapi tugas yang dilakukan dalam transliterasi atau transkripsi itu tidak
hanya sampai di situ saja. Naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu
itu tidak disertai tanda-tanda baca, seperti titik, koma, tanda kutip, huruf
besar dsb. Sehingga sukar menyusun kalimat; juga tak ada pembagian dalam alinea
dan bab, sehingga sukar menentukan kesatuan-kesatuan bagian cerita dan
menyukarkan membaca. Sebagian besar naskah-naskah yang berbahasa Melayu ditulis
dengan huruf Arab-Melayu ini.
Semuanya
itu perlu dijelaskan oleh filolog, agar tidak terdapat lagi kekeliruan dan
salah tafsir. Filolog hendaklah sedapat-dapatnya menyajikan bahan transliterasi
atau transkripsi itu selengkap-lengkapnya dan sebaik-baiknya, sehingga mudah
dibaca dan dipahami, dengan jalan menyusun kalimat yang jelas disertai
tanda-tanda baca yang teliti, pembagian alinea dan bab untuk memudahkan
konsentrasi pikiran. Di samping itu juga disajikan perbedaan-perbedaan kata
pada naskah-naskah lain, perbaikan-perbaikan serta komentar dan penjelasannya;
sehingga dapat ditetapkan bagaimana bunyi teks itu seharusnya.
Transliterasi
kata-kata atau kalimat-kalimat dalam bahasa Arab memerlukan sistem yang khusus,
karena fonem-fonem bahasa Indonesia. Dalam hal ini perlu ditentukan terlebih
dahulu sistem ejaan khusus yang dipakai untuk transliterasi bahasa Arab itu.
7.
Penutup
Dengan
selesainya transliterasi itu dikerjakan, selesai pulalah tugas utama peneliti
filologi. Dari transliterasi naskah ini, barulah dapat dilakukan penelitian
lebih lanjut yang berupa analisis isi naskah itu. Analisis atau pembahasannya
umpamanya dapat berupa analisis bahasa, struktur cerita, funsi cerita, pengaruh
asing, latar belakang kebudayaan, dan unsur-unsur kepercayaan yang berperan
dalam cerita itu.
Dapat pula
hasil transliterasi atau transkripsi itu digunakan sebagai obyek penelitian
ilmu-ilmu lain, seperti ilmu sejarah, hukum, agama, sosiologi, dan antropologi,
sesuai dengan jenis naskah yang ada.
Beberapa istilah asing yang perlu diketahui dalam
penelitian filologi ialah :
Ablebsie salah
lihat, silap visual
Tidak tepat atau salah melihat
huruf-huruf atau kata-kata yang hampir sama bentuknya.
Archetipus naskah
yang sama dengan naskah asli
Eksemplar
yang pertama-tama bercabang.
Autograph penulis naskah
Autography Naskah yang ditulis oleh
pengarang sendiri. Naskah inilah yang disebut naskah asli dan inilah sebaiknya
dipakai sebagai dasar penelitian. Tugas filolog pertama-tama mencari naskah
ini.
Codex Unicus naskah
tunggal dari suatu tradisi
Hanya terdapat satu-satunya naskah mengenai
cerita itu.
Colophon Catatan yang terdapat pada
akhir teks, biasanya berisi keterangan mengenai tempat, tanggal, dan penyalin
naskah.
Conjectura dugaan, ajukan
Constitutio textus Usaha perbaikan naskah didasarkan atas
tekanan yang berlandaskan hasil penelitian ilmiah. Menetapkan teks itu
bagaimana seharusnya.
Corruptela cacat
Bagian naskah yang tidak bisa dipakai lagi, tidak
bisa dibaca dan tidak tahu lagi artinya.
Crux buntuan
Bagian cerita yang salah atau tidak bisa dipahami
dan tidak pula dapat diketahui bagaimana seharusnya.
Dittografie rangkap
tulis
Perangkapan huruf, kata atau angka. Beberapa
kata ditulis dua kali.
Emendation pembetulan
Perbaikan berdasarkan pemikiran kita sendiri,
tidak berdasarkan naskah lain. Hal ini terjadi, kalau hanya terdapat
satu-satunya naskah.
Haplographie langkau
tulis
Membuang sebuah kata atau lebih, karena kata
yang sama atau rangkaian huruf terdapat dua kali berturut-turut.
Haplologie susut
bunyi
Dua suku kata, disebut hanya satu suku kata.
Interpolatio Penambahan kata atau bagian
kalimat, karena kekeliruan atau disengaja.
Lacunae Kata yang terlampaui atau bagian kalimat yang kosong.
Recensio pertimbangan, pensahihan
Mencari sebanyak-banyaknya naskah yang berisi
cerita yang sama dan diperbandingkan; setelah itu barulah dilakukan
pertinbangan naskah-naskah yang ada itu.
Variant Bacaan yang berbeda dari bacaan yang dipandang mula.
Perbedaan yang terdapat pada dua naskah atau
lebih dan tidak bisa diketahui bagaimana seharusnya.
DAFTAR PUSTAKA
DAN KATALOGUS NASKAH MELAYU
Baharudin, Jazamuddin, dengan kerja sama Jumsari Jusuf dan
Sudibjo, Katalogus Naskah-naskah Lama Melayu di dalam simpanan Museum
Pusat Jakarta. Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka,
1969. (ketikan)
Cabaton, A., Catalogus
Sommaire des Manuscrits Indiens. Indo-Chinois & Malayo-Polynesiens. Paris, Ernest Leraux, Editeur, 1972. s,
Djamaris, Edwar, dkk, “Singkatan Naskah Sastra Indonesia
Lama Pengaruh Islam”. Bahasa dan Kesusastraan, Seri Khusus no. 18, th 1973,
Jakarta, Lembaga Bahasa Nasional.
Kamus Istilah Filologi, Laporan penyusunan oleh Fakultas
Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Jakarta,
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengemban Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Howard, Joseph H., Malay
Manuscripts; a bibliography guide. Kuala Lumpur. University of Malaya Library, 1966.
Juynboll, H.N., Catalogus
van de Maleische en Sundaneesche Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotheek.
Leiden, E.J. Brill, 1899.
Katalogus Koleksi
Naskah Melayu. (KKNM), Museum Pusat
Departemen P dan K, Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Jakarta, 1972.
Maas, Paul, Textual
Criticism, translated from the Germany by Barbara Flower. Oxford, The Clarendon Press, 1967.
Niemann, G.K., “De Maleische Handshriften in het Britisch
Museum”. BKI 18, 1871.
Overbeck, H., “Malay Manuscripts in the public libraries in
Germany”. JMBRAS IV, ii, 1926.
Ricklefs, M.C., dan P. Voorhoeve, Manuscripts Catalogue of the School of Oriental and African Studies. London University. (ketikan).
Soebadio, Haryati, “Peneliti Naskah Lama Indonesia”.
Buletin YAPERNA 7, II, Juni 1975.
Tuuk, H.N. van der, “Kort verslag der Maleische Handschriften
toebehoorrende aan de Royal Asiatic Society
te London”. BKI 13, 1866.
Van Ronkel, Ph.S., “Account of six Malay Manuscripts of the
Cambridge University Library”. BKI 46, VI/2, 1896.
KEADAAN DAN JENIS NASKAH
JAWA
Oleh : Darusuprapta
I.
PENDAHULUAN
Naskah atau manuskrip Jawa adalah ‘karangan tulisan
tangan, baik yang asli ataupun salinannya’ (Poerwadarminta, 1954 : 447; Onions,
1974 : 554), yang menggunakan bahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, Jawa
Pertengahan, maupun Jawa Baru, yang ditulis dengan aksara Jawa, Arab Pegon atau
Arab Gondil, Latin, dan lain-lain, pada bahantulis lontar, daluwang, dan kertas
pada umumnya.
Titik pangkal penciptaan karya tulis naskah Jawa telah berawal
pada abad ke-9 (Zoetmulder, 1983 : 21). Berapa jumlah naskah Jawa sampai pada
waktu sekarang ini tak terbilang banyaknya; betapa aneka ragam isinya pun tak
terhingga macamnya. Pendek kata jumlah naskah melimpah, dan isi naskah meliputi
lingkupan luas, merupakan curahan pikiran dan perasaan nenek moyang yang dapat
memberikan gambaran mengenai hal-ihwal masyarakat jamannya (Haryati Soebadio,
1975). Oleh karena itu dengan mempelajari naskah dapat membantu pemahaman
kebudayaan bangsa pada umumnya.
Makalah ini menyajikan uraian tentang keadaan dan jenis naskah
Jawa, bertujuan memperoleh gambaran mengenai dunia pernaskahan Jawa pada
umumnya. Dengan demikian diharapkan dapat memperkuat pengertian dan kesadaran
akan warisan budaya bangsa yang berharga lagi berguna bagi kepentingan nasional
(Harsya W. Bachtiar, 1973).
II.
KEADAAN NASKAH JAWA
Dalam
membicarakan keadaan naskah Jawa ini akan lebih memusatkan perhatian kepada dua
hal, yaitu penyimpanan naskah dan penanganan naskah. Dua hal itu kiranya cukup
dapat memberikan gambaran keadaan naskah Jawa secara menyeluruh, kendatipun
hanya sekilas.
1.
Penyimpanan Naskah
Berapa jumlah naskah-naskah Jawa hingga
kini belum dapat diketahui dengan pasti. Sebagian besar di antaranya telah
dihimpun dalam koleksi naskah lembaga-lembaga ilmiah baik milik pemerintah
maupun yayasan swasta, baik di Indonesia sendiri ataupun di luarnya. Sebagian
naskah yang lain lagi tersimpan dalam koleksi pribadi yang masih tersebar luas
di seluruh lapisan masyarakat. Tempat menyimpan sebagian besar naskah-naskah
Jawa dapat diketahui dari berbagai kata logus atau daftar naskah, tersebar di
antara 21 negara. Kecuali di Indonesia, Austria, Belgia, Britania Raya,
Cekoslovakia, Denemarken, Hongaria, Irlandia, Italia, Malaysia, Nederland,
Norwegia, Perancis, Republik Demokrasi Jerman, Republik Federasi Jerman,
Republik Persatuan Sosialis Uni Soviet, Selandia Baru, Swedia, Switzerland
(Hooykaas, 1950 : 193-209; Willem van der Molen, 1984 : 12-49).
Di antara tempat-tempat yang diketahui
banyak menyimpan naskah Jawa pada saat ini adalah : Bagian Naskah Museum
Nasional Jakarta (lihat Poerbatjaraka, 1933, 1940, 1950), Gedong Kirtya
Singaraja khusus naskah Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan (lihat Goris, 1935, 1937),
Bagian Naskah Perpustakaan Universitas Leiden Nederland (lihat Pigeaud, 1968,
1970, 1980), dan beberapa perpustakaan di Britania Raya (lihat Ricklefs &
Voorhoeve, 1977, 1982).
Naskah-naskah Jawa di pusat kebudayaan
Jawa banyak tersimpan pula di Tepas Kapujanggan Widyabudaya Kasultanan
Yogyakarta (lihat Mudjanattistomo, 1971), perpustakaan Pura Pakualaman
Yogyakarta, Museum Sanabudaya Yogyakarta, Sanapustaka Karaton Surakarta,
Reksapustaka Pura Mangkuneagaran Surakarta, dan Museum Radyapustaka Surakarta
(lihat Girardet, 1983). Namun, belum seluruh naskah yang menjadi koleksi tempat
penyimpanan, naskah-naskah tersebut dimasukkan dalam katalogus. Sebagai contoh
misalnya di Museum Sanabudaya Yogyakarta masih terdapat beberapa puluh naskah
dalam almari yang belum terjamah (Darusuprapta, 1982, 1983, 1984).
Naskah-naskah Jawa koleksi beberapa
lembaga yang lain lagi seperti : Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta , Balai
Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional di Yogyakarta, Kirti Griya
Dewantara, dan Proyek Javanologi, baru dalam tingkat terdaftar. Demikian pula
halnya naskah-naskah koleksi perpustakaan Fakultas
Sastra UI, UGM, UNS, dan beberapa pemerintah daerah, misalnya Banyuwangi dan
Sumerep. Bahkan naskah-naskah koleksipribadi, milik perorangan yang tersebar
luas tercatat pun tidak. Naskah-naskah yang telah terhimpun itu berasal dari
berbagai daerah lapisan masyarakat serta memuat isi yang bermacam ragam.
Dengan demikian guna mengetahui jumlah
dan jenis naskah-naskah Jawa seluruhnya masih diperlukan langkah-langkah
pendataan, dengan penelitian dan pencatatan lebih lanjut. Hasil yang dicapai
kemudian dapat dikembangkan sehingga merupakan himpunan data naskah, sebagai
sumber keterangan tentang dunia pernaskahan Jawa (Cf. Sri Wulan Rujiati
Mulyadi, 1980/1981 : 99-104).
2.
Penanganan Naskah
Banyak lembaga, baik di
pusat maupun di daerah, baik pemerintah maupun swasta, yang mempunyai kegiatan
menangani naskah. Hal itu menunjukkan bahwa masalah naskah dipandang penting (Cf. Achadiati Ikram,
1980/1981: 74-79; Mastini Hardjoprakoso, 1980/1981: 84-91).
Penanganan
naskah pertama-tama dengan mengadakan penyelamatan. Kegiatan dilakukan dengan
membeli naskah milik perorangan untuk dikumpulkan, menyediakan tempat untuk
menyimpan naskah-naskah yang telah terkumpul, menyusunnya dalam daftar
inventaris dan katalogus, mengadakan perbaikan naskah dengan reparasi dan
penjilidan baru,mengadakan perawatan naskah dengan memelihara kebersihannya
dari kotoran debu dan menjaga keutuhannya dari serangan serangga, mengusahakan
pengawetan naskah dengan pengaturan suhu udara di tempat penyimpanannya.
Guna mengadakan penyelamatan
naskah tersebut jelas memerlukan persediaan dana banyak. Di samping itu juga
membutuhkan tenaga yang mempunyai pengetahuan dalam perawatan dan pengawetan naskah, serta yang memiliki rasa kasih
sayang terhadap naskah. Kenyataan membuktikan bahwa belum semua lembaga yang
mempunyai kegiatan menangani naskah itu dapat mengadakan penyelamatan naskah
dengan semestinya.
Penanganan naskah yang kedua
adalah dengan mengadakan pelestarian. Kegiatan dilakukan
dengan membuat salinan atau turunan naskah, baik dengan transkripsi, dari dan
ke huruf yang sama, maupun dengan transliterasi, dari dan ke huruf yang lain;
dengan membuat reproduksi fotografi, baik dengan mikrofilm, ataupun dengan mikrofis;
serta membuat suntingan naskah dengan menerapkan metode kritik teks sesuai
dengan sifat tiap-tiap naskah.
Kegiatan
dengan pelestarian naskah tersebut beberapa di antaranya telah dilakukan, baik
oleh perorangan secara pribadi ataupun oleh karena mengemban tugas instansi.
Misalnya penyalinan naskah dengan transliterasi di Museum Radyapustaka dan Pura
Mangkunegaran atas kerja sama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah,
dan di Museum Sanabudaya. Hasil yang dicapai tidak atau kurang menggembirakan. Banyak
kesalahan ditemukan di dalamnya, misalnya : salah pengertian yang berakibat
salah dalam penyalinan, salah baca yang berakibat salah dalam pemutusan kata,
salah ejaan, dan salah dalam pengetikan.
Kesalahan-kesalahan
tersebut pada umumnya disebabkan karena tenaga-tenaga yang mengerjakan tidak
terdidik atau kurang terlatih dalam masalah transliterasi. Memang benar mereka
mempunyai kemampuan membaca huruf naskah, tapi mereka tidak menguasai ejaan
bahasa Jawa dengan huruf Latin yang disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia
yang disempurnakan. Ada kalanya terasa mereka tidak memahami arti kata yang
digunakan dalam teks, dan mereka tidak mengetahui pula teknik perbaikan teks
dalam transliterasi. Bahkan kesalahan itu mungkin saja bertambah atau terjadi
akibat pengetikan yang tidak teliti.
Hasil-hasil
transliterasi yang demikian itu sebelum disajikan kepada umum seharusnya telah
diperiksa oleh tim yang bertanggungjawab. Berdasarkan pengalaman itu
selanjutnya kemudian tenaga-tenaga yang hendak mengerjakan transliterasi
seyogyanya telah memiliki atau mendapat bekal dasar-dasar pengetahuan tentang
transliterasi yang cukup memadai. Dengan demikian hasil kerjanya dapat
diharapkan lebih memuaskan, kesalahan-kesalahan yang semestinya tidak terjadi
dapat dihindari.
Kegiatan
pelestarian dengan transkripsi dewasa ini rupa-rupanya kurang mendapat
perhatian. Padahal penting demi untuk mendapatkan wujud naskah dalam bentuk
yang serupa semula, dan demi untuk meneruskan tradisi salin-menyalin naskah yang
telah berjalan selama ini. Di samping itu juga selagi pada masa sekarang ini
masih ditemukan tenaga-tenaga yang mempunyai kemahiran dalam salin-menyalin
naskah sesuai dengan bentuk tulisan aslinya.
Penanganan
naskah yang ketiga adalah dengan penelitian. Kegiatan penelitian naskah dapat
dilakukan dari segi sastra, baik dengan analisis dan interpretasi yang terlepas
dari hal-hal di luarnya, maupun dalam kaitannya dengan lingkungan yang
melatarbelakangi di sekitarnya. Di samping itu penelitian naskah dapat dilakukan
dalam segi bahasa, baik dengan analisis ketatabahasaan naskah, ataupun masalah
umum segala unsur kebahasaan yang dapat memberikan gambaran latar belakang
penulisannya. Sebagai contoh misalnya penulisan karya ilmiah dalam jenjang
pendidikan tertentu berdasarkan naskah, seperti : paper, skripsi, tesis, dan
desertasi.
Kegiatan
penelitian naskah Jawa di luar jenjang pendidikan hingga sekarang ini terasa
semakin agak baik. Hal itu dapat dibuktikan dengan tawaran dan dana yang
disediakan oleh beberapa lembaga penelitian, seperti Balai Penelitian Bahasa,
dan juga Proyek Javanologi. Meski jumlah masih terbatas, tak seimbang dengan
banyaknya naskah, kiranya cukup menggembirakan, asal setiap tahun anggaran
selalu tersedia.
Pada sisi
lain seharusnya minat dan perhatian peneliti tumbuh berkembang, namun
kenyataannya tidak banyak yang bergairah melakukan. Harus diakui bahwa jumlah
peneliti naskah memang kecil, dan jumlah peminat calon peneliti naskah pun
sedikit. Barangkali hal itu disebabkan karena kurang adanya kesadaran dalam
masyarakat, bahwa penelitian naskah sangat dibutuhkan guna menggali dan
mengungkapkan warisan budaya bangsa, baik sebagai sumber inspirasi ataupun
sebagai sarana evaluasi dalam pembentukan kebudayaan nasional.
Penanganan
naskah yang keempat adalah pendayagunaan naskah. Adakah manfaat naskah pada
waktu sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diuraikan lebih dahulu
tentang isi naskah, kendatipun secara ringkas.
Naskah-naskah
Jawa mengandung isi yang bermacam-macam. Ada naskah yang mengandung unsur
kejadian-kejadian pentng dalam sejarah, sikap, dan pikiran serta perasaan
masyarakat yang menjalani serta mendukung kejadian, ide kepahlawanan, sikap
bawahan terhadap atasan dan sebaliknya. Ada naskah yang melukiskan pentas
pertunjukkan disertai peralatannya, dan lain-lainnya.
Dengan
demikian jelas bahwa naskah cukup berguna, dapat merupakan sumber bagi
pengertian terhadapberbagai segi kehidupan dan kebudayaan. Isi naskah tersebut
tidak akan diketahui masyarakat jika naskah itu tidak diteliti, tidak
diungkapkan isinya. Naskah-naskah yang mengandung isi nilai-nilai, cita-cita,
aturan-aturan, pegangan dan pedoman hidup, yang dipandang sebaiknya digunakan
dalam kehidupan masyarakat, wajib diteliti dan diungkapkan. Hal itu berguna
untuk menunjang usaha-usaha pembinaan jiwa dan pengembangan kepribadian.
Kegiatan
pendayagunaan naskah ini dilakukan antara lain dengan macapatan, dengan membaca
naskah disertai pembahasan pada kesempatan tertentu, mengangkat isi naskah
untuk digubah dalam pentas pertunjukkan, mengangkat isi naskah untuk dibahas
dalam ceramah dan sarasehan, membuat terjemahan sehingga dapat dibaca dan
dipahami oleh mereka yang tidak mengenal bahasa naskah. Selain terjemahan dapat
pula digarap dengan bentuk saduran, ataupun ringkasan.
Penanganan
naskah yang kelima adalah penyebarluasan. Penyebarluasan yang dimaksud adalah
dengan mengadakan penerbitan segala hasil kegiatan, terutama yang berupa
suntingan naskah dengan terjemahan serta pembahasan, demikian pula hasil-hasil
penelitian lainnya yang berdasarkan naskah.
Penyebarluasan
penerbitan naskah dewasa ini telah banyak dilakukan oleh badan pemerintah,
seperti Balai Pustaka dan yang lain. Hal itu cukup menggembirakan, namun patut
disayangkan dengan banyaknya terdapat salah cetak di dalamnya, dan terbatasnya
jangkauan penyebarannya.
III. PENJENISAN
NASKAH JAWA
Penjenisan
naskah dapat dipandang sebagai sesuatu yang membatasi pada dan dibatasi oleh
peneliti naskah. Secara teori, penjenisan berdasarkan azas ketertiban :
menggolong-golongkan atau mengelompok-kelompokkan sesuatu—dalam hal ini
naskah—menurut tipologi tertentu, bukan menurut waktu dan tempat. Jadi,
terlepas dari masalah kapan dan di mana naskah ditulis.
Penjenisan
naskah adalah pengelompokkan naskah berdasarkan ragam-ragam tertentu yang
menjadi ciri khas sehingga berbeda dengan yang lain. Namun harus dimaklumi,
kadang-kadang tidak mudah menentukan sebuah naskaah termasuk jenis mana, karena
berbagai ragam yang dikandungnya.
Dengan
bertambahnya naskah, kategorinya pun mungkin saja berubah. Kerangka penjenisan
dapat dikembangkan lebih lanjut, dan dapat diringkas lebih sederhana, bahkan
dapat pula diciptakan bentuk lain.
Sebagai
contoh di bawah ini diuraikan secara ringkas penyajian yang telah dikerjakan
oleh beberapa penyusun katalogus naskah dengan azas dasarnya masing-masing.
Dengan demikian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penjenisan naskah
Jawa hingga sekarang.
1.
Katalogus Naskah Vreede
Vreede,
guru besar Jawa di Universitas Leiden, pengganti Roorda. Ia telah menyusun
katalogus naskah Jawa—bersama naskah Madura—koleksi perpustakaan Universitas
Leiden, di Nederland (Vreede, 1892).
Dalam katalogus itu Vreede mengelompokkan
naskah-naskah Jawa koleksi perpustakaan Universitas Leiden tersebut dalam
sembilan jenis, yaitu :
1)
Puisi
Epis
2)
Mitologi
dan Sejarah Legendaris
3)
Babad
atau Kronik
4)
Cerita
Sejarah atau Roman
5)
Karya-karya
Dramatis, Wayang, Lakon
6)
Karya-karya
Kesusilaan dan Keagamaan
7)
Karya-karya
Hukum, Kitab-kitab, Undang-undang
8)
Ilmu
dan Pelajaran : Tatabahasa, Perkamusan; Pawukon (Astronomi), Sangkalan
(Kronologi), Katuranggan.
9)
Serba-serbi
2.
Katalogus Naskah Juynboll
Katalogus
Juynboll memuat tambahan-tambahan yang melengkapi katalogus Vreede. Katalogus
Juynboll ini terdiri atas dua jilid (Juynboll, 1907, 1911).
Isinya
selain menambah naskah-naskah Madura, sebagian besar lagi memuat naskah-naskah
Jawa. Pengelompokkannya berbeda dengan katalogus Vreede, terbagi dalam enam
jenis dengan perincian sebagai berikut :
1)
Prasasti-prasasti
dan Turunan-turunannya
2)
Syair
Jawa Kuna (Kakawin)
3)
Syair
Jawa Pertengahan dengan Metrum Tengahan
4)
Syair
Jawa Pertengahan dengan Metrum Macapat
5)
Syair
Jawa Baru dengan Metrum Macapat
6)
Prosa
:
(1)
Jawa
Kuna
(2)
Jawa
Pertengahan
(3)
Jawa
Baru
Penggolongan di atas jelas mencerminkan
landasan bentuk gubahan dan jenis bahasa yang digunakan dalam naskah.
3.
Katalogus Brandes
Brandes
(1857-1905), adalah murid Vreede dan Kern. Ia bekerja di Jakarta selaku pegawai
bahasa dari tahun 1884 sampai meninggal tahun 1905. pada tahun 1885 Brandes
berguru kepada Ven der Tuuk di Singaraja. Setelah Van der Tuuk meninggal dnia
pada tahun 1894, Brandes ditugaskan menyusun bahan-bahan hasil penelitian yang
telah dikerjakan oleh Van der Tuuk. Di antara bahan yang telah terkumpul itu
adalah bahan-bahan katalogus Jawa, Bali, dan Sasak.
Katalogus
tersebut terbit dalam empat jilid (Brandes, 1901,1903, 1904, 1916).
Penyajiannya tidak dengan digolong-golongkan, tetapi dengan disusun berurutan
mengikuti abjad naskah. Jelasnya sebagai berikut :
Jilid
I (1901) : Adigama sampai Ender.
Jilid
II (1903) : Gatotkacarana sampai dengan
Putrupasadji.
Jilid
III (1904) : Rabut Sakti sampai dengan Yusup.
Jilid
IV (1916) : Naskah-naskah tak
berjudul.
4.
Katalogus/Daftar Naskah Poerbatjaraka
Poerbatjaraka
(1884-1964), yang lama bekerja sebagai konservator di Museum Nasional Jakarta,
telah menyusun daftar naskah-naskah Jawa koleksi lembaga tersebut. Daftar
naskah itu termuat dalam Jaarboek
Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 1933.
Sebagai
daftar maka disusun berdasarkan urutan abjad naskah, dari Aanteekeningen (‘Catatan’)
Bratajoeda sampai dengan Zon en Maan
(‘Matahari dan Bulan’). Jadi sistem penyusunannya seperti dalam katalogus
Brandes, tanpa dengan dikelompok-kelompokkan.
Di
samping itu sesungguhnya secara terpisah Poerbatjaraka membuat uraian yang
khusus berdasarkan naskah-naskah Jawa, yaitu mengenai naskah-naskah Panji (Poerbatjaraka, 1940),
naskah-naskah Menak (Poerbatjaraka,
1940), dan naskah-naskah Rengganis-Ambiya-Sastra
Pesantren-Suluk dan Primbon (Poerbatjaraka dkk, 1950).
Penggolongan
berikutnya yang direncanakan namun tidak terwujud sampai sekarang, antara lain
adalah : Kakawin, Parwa, Babad, dan Kitab Undang-Undang.
5.
Katalogus Pigeaud
Pigeaud, yang hingga tua renta sekarang masih selalu
menggeluti naskah-naskah Jawa koleksi perpustakaan Universitas Leiden, telah
berhasil membuat katalogus naskah Jawa yang tersimpan dalam Perpustakaan
lembaga tersebut, dan beberapa lembaga lain di Eropa serta di Indonesia.
Katalogus Pigeaud itu terdiri atas empat jilid (Pigeaud, 1968, 1970, 1980),
dengan sistematika pembagian naskah secara garis besar dalam empat jenis,
sebagai berikut :
1)
Agama
dan Etika
2)
Sejarah
dan Mitologi
3)
Sastra
Indah
4)
Ilmu
Pengetahuan, Kesenian, Ilmu Sastra, Hukum, Folklore, Adat-istiadat,
Serbe-serbi.
Pembagian
di atas dipandang mencerminkan empat hal yang berkaitan erat dengan konsep
dasar alam pikiran Jawa. Demikianlah naskah jenis 1) merupakan kelompok yang
dipandang cukup penting dan mendasar, kemudian jenis 2) keduanya saling
berjalinan, bahkan ada kalanya berkaitan dengan jenis 1). Naskah jenis 3)
banyal pula yang mengandung unsur-unsur jenis 1), 2), dan bahkan 4) yang
memancarkan konsep dasar kebudayaan Jawa dalam segala segi kehidupan.
Sebaliknya naskah jenis 4) mengandung juga unsur jenis 1), 2), dan 3).
Demikianlah
ragam naskah sering bervariasi, sehingga kadang-kadang tidak mudah dimasukkan
dalam satu jenis. Sebagai contoh misalnya Serat
Centhini.
6.
Katalogus Ricklefs-Voorhoeve
Ricklefs,
yang sesungguhnya seorang sejarawan, bersama dengan Voorhoeve, telah menyusun
katalogus naskah-naskah dari Indonesia—di antaranya naskah-naskah Jawa—yang
terdapat di Britania Raya (Ricklefs dan Voorhoeve, 1977, 1982). Naskah-naskah
tersebut tersimpan dalam koleksi perpustakaan lembaga-lembaga ilmiah yang
tersebar di beberapa tempat di seluruh Britania Raya.
Dalam
mengadakan penggolongan naskah-naskah Jawa didasarkan atas bahasa yang
digunakan secara kronologis (?) atau dialektologis (?), sehingga terdapat
penjenisan sebagai berikut:
1)
Naskah-naskah
Jawa Baru
2)
Naskah-naskah
Jawa Pertengahan
3)
Naskah-naskah
Jawa Kuna
Kemudian daripada itu dikelompokkan terperinci
menurut tempat-tempat penyimpanannya. Tempat-tempat penyimpanan naskah Jawa
yang disebutkan antara lain adalah di : Bodleian Library, British Library,
British Museum, India Office Library, Royal Asiatic Society, dan di School of
Oriental and African Studies.
7.
Katalogus Girardet-Soetanto
Girardet
yang insinyur itu, ternyata cukup besar perhatiannya dalam dunia pernaskahan
Jawa. Ia dengan bantuan Soetanto telah berhasil menyusun katalogus naskah
Jawa—dan juga yang telah tercetak—yang terdapat di Surakarta dan Yogyakarta.
Naskah-naskah Jawa tersebut khususnya yang tersimpan dalam koleksi
perpustakaan-perpustakaan : Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum
Radyapustaka, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, dan Museum Sanabudaya
(Girardet-Soetanto, 1983). Kendati belum seluruh naskah terjamah dan tertuang
di dalamnya, namun katalogus tersebut besar artinya bagi studi pernaskahan pada
umumnya, Jawa khususnya. Kekurangan-kekurangan dapat disusulkan pada waktu yang
akan datang.
Girardet
dan Soetanto mengadakan penggolongan mula-mula dengan mengelompokkan
tempatnya—seperti Ricklefs dan Voorhoeve—yaitu di perpustakaan : Kraton
Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radyapustaka, Kraton Yogyakarta, Pura
Pakualaman, dan Museum Sanabudaya.
Berbeda
dengan Ricklefs dan Voorhoeve, kemudian Girardet dan Soetanto mengelompokkan
jenis naskah pada tiap-tiap penyimpanan tersebut sebagai berikut :
1)
Kronik,
Legende, dan Mite
Di dalamnya termasuk naskah-naskah : babad, pakem, wayang purwa, Menak, Panji,
Pustakaraja, dan Silsilah.
2)
Agama,
Filsafat, dan Etika
Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang
mengandung unsur-unsur ; Hinduisme-Budhisme, Islam, Mistik Jawa, Kristen, Magi,
dan Ramalan, sastra wulang.
3)
Peristiwa
Kraton, Hukum, Risalah, Peraturan-peraturan.
4)
Buku
Teks dan Penuntun, Kamus dan Ensiklopedi Tentang :
IV. KESIMPULAN
(1)
Naskah-naskah
Jawa tersimpan tersebar di segala penjuru dalam koleksi lembaga-lembaga ilmiah
maupun perorangan, di Indonesia ataupun luar negeri. Berapa jumlah naskah Jawa
seluruhnya, di mana disimpan, apakah isinya, bagaimana jenisnya, belum
diketahui dengan pasti. Guna mendapatkan gambaran keadaan tersebut yang
menyeluruh diperlukan langkah-langkah pendataan dengan penelitian dan pencatatan,
kemudian ditingkatkan sehingga merupakan himpunan data naskah. Pada
tempatnyalah diharapkan agar Proyek Javanologi mau dan mampu menangani serta
mengelolanya, sehingga Proyek benar-benar sebagai pusat informasi, atau menjadi
sumbernya sumber keterangan dunia pernaskahan Jawa.
(2)
Penanganan
naskah telah dilakukan dengan mengadakan kegiatan : penyelamatan, pelestarian,
penelitian, pendayagunaan, dan penyebarluasan. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu
selalu dilanjutkan dan ditingkatkan.
(3)
Belum
semua lembaga yang menangani mampu mengadakan penyelamatan naskah dengan
semestinya. Kegiatan penyelamatan naskah memerlukan persediaan dana banyak,
tenaga yang memiliki keterampilan dalam perawatan dan pengawetan naskah, serta
rasa cinta akan naskah.
(4)
Kegiatan
pelestarian naskah dengan transliterasi memerlukan tenaga-tenaga yang memiliki
bekal dasar-dasar pengetahuan dan teknik-teknik transliterasi yang cukup
memadai, mempunyai kemampuan membaca huruf naskah dan menulis dengan ejaan
ortografi, mempunyai kemahiran dalam penguasaan bahasa naskah.
(5)
Kegiatan
pelestarian naskah dengan transkripsi perlu dilakukan di sampng dengan
transliterasi, demi untuk mendapatkan ujud naskah dalam bentuk yang serupa
dengan semula, selagi masih ditemukan tenaga-tenaga yang mampu melakukannya.
(6)
Kegiatan
penelitian naskah dapat dilakukan dalam segi sastra, baik dengan analisis dan
interpretasi terlepas dari hal-hal di luarnya, maupun yang terikat dengan
lingkungan latar belakangnya; ataupun dapat dilakukan dalam segi bahasa, baik
dengan analisis tentang ketatabahasaan teks, maupun mengenai masalah umum
kebahasaan yang memberikan gambaran penulisannya.
(7)
Kegiatan
penelitian naskah Jawa sekarang makin membaik. Dana yang disediakan setiap
tahun perlu diteruskan dan ditingkatkan; jumlah dan jenis naskah yang diteliti
perlu ditambah dan dipeluas; tenaga peneliti dan peminat calon peneliti perlu
dirangsang dan digairahkan agar tetap melakukan kegiatan penelitian naskah
dengan pemberian kemudahan dan imbalan yang memadai.
(8)
Kegiatan
pendayagunaan naskah berguna untuk menunjang usaha-usaha pembinaann jiwa dan
pengembangan kepribadian, karena jelas isi naskah merupakan sumber bagi
pengertian terhadap berbagai segi kehidupan dan kebudayaan di masa silam,
sehingga juga sebagai sumber inspirasi maupun sarana evaluasi dalam pembentukan
dan pengembangan kebudayaan nasional.
(9)
Kegiatan
penyebarluasan naskah dilakukan dengan mengadakan penerbitan segala hasil
kegiatan berdasarkan naskah dalam edisi yang baik dan benar serta penyebaran
yang luas serta mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
(10)
Penjelasan
naskah merupakan pengelompokkan naskah menurut tipologi tertentu, berdasarkan
ragam-ragam yang menjadi ciri khas yang dikandungnya. Kadang-kadang sebuah
naskah mengandung berbagai ragam, dan jumlah naskah yang terhimpun selalu
bertambah, sehingga kategorinya dan kerangka penjenisannya pun mungkin saja
berbeda.
V.
KEPUSTAKAAN
JENIS-JENIS NASKAH BALI
Oleh : Ida Bagus Gede Agastia
I.
PENDAHULUAN
Ketika
Dr. H. H. Juynboll berbicara tentang kesusastraan Bali, pertama-tama ia
mempertanyakan; Apakah yang disebut kesusastraan Bali dan bagaimana hubungannya
dengan kesusastraan Jawa, khususnya dengan Jawa Kuna dan Jawa Tengahan di satu
pihak dan Sasak di pihak lain? Selanjutnya ia mengingatkan bahwa orang-orang
Jawa sesudah jatuhnya kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang terakhir, memindahkan
seluruh kebudayaan mereka yang lama, antara lain agama, kesenian, dan
kesusastraan mereka ke pulau Bali yang dekat, di mana hal itu hingga kini masih
hidup terus (1916:556). Ketika berbicara tentang kerangka historis sastra Jawa
Kuna, Prof. Dr. P. J. Zoetmulder memberi penjelasan tentang hal itu.
Dikatakannya bahwa semenjak pertengahan abad ke-14 Bali masuk ke dalam lingkup
pengeruh Hindu-Jawa seperti terasa lewat pusat kebudayaan dan religi; dan
sebagai konsekuensi bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu
bagian dari kebudayaan Hindu-Jawa. Di pusat-pusat keagamaan itu bahasa Jawa
Kuna hampir pasti dituturkan dan ditulis. Sastra Jawa Kuna tidak hanya
dimaklumi dan dipelajari, tetapi juga ditiru dan dikembangkan. Karya-karya Baru
ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan, karya-karya itu mengikuti tradisi
yang sudah berlaku dengan demikian dekat dan mengandung demikian sedikit unsur
yang dapat diidentifikasikan sebagai khas Bali, sehingga sukar bahkan
kadang-kadang mustahil membedakan karya-karya ini dari karya-karya yang ditulis
di Jawa sendiri. Sama-sama dengan karya-karya asli Jawa mereka termasuk
khasanah sastra Jawa (1983:24). Tentang sastra Jawa Pertengahan Zoetmulder
melontarkan pernyataan yang tegas, bahwa semua
sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali
(1983:33), oleh karenanya jauh sebelumnya Juynboll telah menyatakan sebagai
kesusastraan Bali, walaupun bahasanya bukan bahasa Bali (1916:560).
Dengan
demikian kita dapat mengerti dengan pembagian kesusastraan Bali yang diberikan
oleh Friederich, dalam laporan sementaranya mengenai pulau Bali (1849:1-63). Ia
membagi kesusastraan Bali menjadi tiga golongan, yaitu :
1.
Karangan-karangan
Sanskrit dengan terjemahan bebasnya dalam bahasa Bali. Dalam golongan ini
dimasukkan Weda-Weda, Brahmandapurana
dan sebagian besar dari karangan-karangan prisa yang disebut tutur.
2.
Karangan-karangan
Kawi, yang dibagi menjadi dua bagian :
a.
Karangan-karangan epis yang bagi rakyat Bali sangat angker, seperti Ramayana, Uttarakanda, dan Parwa-parwa;
b.
Puisi Kawi yang lebih ringan, misalnya Arjunawiwaha, Bharatayuddha dan sebagainya.
3.
Karangan-karangan
Jawa-Bali; sebagian besar dalam metrum dalam negeri (kidung), misalnya Malat,
sebagian ditulis dalam prosa, seperti karangan-karangan historis Ken Angrok, Rangga Lawe, Usana, dan
sebagainya.
Kita tidak
mempersoalkan keberatan-keberatan yang dapat diajukan terhadap pembagian
tersebut, seperti yang diajukan oleh Juynboll (1916) dan sebelumnya secara
tersirat oleh Van Eck (1875), tetapi kita ingin menyatakan kesan kita bahwa
membuat pembagian kesusastraan Bali dan atau membuat pengelompokkan tersebut
akan mesti mempertimbangkan tidak saja isi dan bentuk naskah tersebut tetapi
juga bahasanya.
II.
JENIS-JENIS NASKAH BALI
R.
Van Eck menyajikan pembagian yang oleh Juynboll dinyatakan lebih baik
dibandingkan dengan pembagian yang disajikan oleh Friederich. Menurutnya
orang-orang Bali membagi tulisan-tulisan mereka dalam empat bagian utama sebagai
berikut:
A.
Kakawin
atau syair-syair yang ditulis dalam metrum Kawi dan dengan bahasa Kawi.
B.
Mantra-mantra, sebagian ditulis dalam prosa, sebagian lagi dalam
sloka-sloka yang bahasanya kadang-kadang adalah bahasa Kawi atau Sansekerta dan
kemudian ada yang dicampur dengan bahasa Bali.
C.
Karangan-karangan
prosa (paca paliring atau paca periring) yang semuanya ditulis
dalam bahasa Kawi. Bagian ini dibagi lagi menjadi lima bagian, yaitu :
(a)
Tulisan-tulisan
pengajaran (tutur) yang sebagian
bersifat pendidikan dan mistik;
(b)
Buku
undang-undang (agama);
(c)
Tulisan-tulisan
mengenai pengobatan (usada);
(d)
Karangan-karangan
historis;
(e)
Surat-surat
dan perjanjian tertulis antara raja-raja Bali (surat pasobaya). Semuanya ditulis dalam bahasa Bali yang baik.
D.
Syair-syair
dalam mat-mat sajak yang lebih haru. Bagian ini dibaginya lagi menjadi :
(a)
Yang
mula-mula merupakan syair Jawa (Kawi) yang dibawa ke Bali dan di sini disimpan
secara utuh atau beberapa nama ditukar-tukar dan disisipi kata-kata Bali.
(Ternyata yang dimaksudkan dalam hal ini adalah baik syair-syair Jawa
Tengahan/misalnya Malat/maupun
syair-syair Bali/umpama Wargasari/)
(b)
Geguritan
yang dibaginya lagi menjadi :
1)
Terjemahan
ke dalam bahasa Bali atau saduran-saduran dari cerita Jawa tulen, tetapi yang
bahasanya masih sangat bercampur dengan bahasa Jawa (Kawi).
2)
Tulisan-tulisan
Bali asli yang merupakan kesusastraan Bali tulen.
Ketika
menyajikan tulisan tentang klasifikasi naskah lontar Gedong Kirtya Singaraja,
Nyoman Kadjeng menyatakan memperhatikan juga pembagian yang diajukan oleh
Friederich dan Van Eck tersebut (1929:20). Tetapi klasifikasi yang diajukannya
ternyata sangat lain, sebagaimana terpakai juga sampai sekarang. Naskah-naskah
lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya dibagi menjadi enam bagian dan
masing-masing bagian mempunyai sub bagian, sebagai berikut :
A.
Weda
(a)
Weda; (b) Mantra; (c) Kalpasastra
B.
Agama
(a) Palakerta; (b) Sasana;
(c) Niti
C.
Wariga
(a) Wariga; (b) Tutur; (c) Kanda; (d) Usada.
D.
Itihasa
(a) Parwa; (b) Kakawin; (c) Kidung; (d) Geguritan.
E.
Babad
(a) Pamancangah; (b) Usana;
(c) Uwug.
F.
Tantri
(a) Tantri; (b) Satua
Belakangan
I Ketut Suwidja menambah dengan kelompok G yang diberi nama Lelampahan; memuat lakon-lakon
pertunjukkan kesenian, Gambuh, Wayang, Arja dan sebagainya (tt:11).
Pembagian
di atas telah dapat memberikan gambaran tentang jenis-jenis naskah lontar yang
ada di Bali. Keberatan yang dapat diajukan antara lain berkaitan dengan
pengelompokkan jenis-jenis naskah tersebut, tepatnya dengan nama kelompok yang
diberikan. Dalam kelompok C Wariga
misalnya di samping termuat naskah-naskah Wariga
(memuat pengetahuan tentang astronomi dan astrologi), juga dimasukkan
naskah-naskah tutur (naskah-naskah
pengajaran yang erat hubungannya dengan keagamaan), kanda (ilmu bahasa, bangunan, dan pengetahuan-pengetahuan khusus)
dan usada (pengetahuan pengobatan
atau penyembuhan).
Untuk
mendapatkan gambaran umum tentang isi jenis-jenis naskah tersebut, untuk
keperluan makalah ini kami cenderung mengikuti pembagian yang diberikan oleh
Th. Pigeaud terhadap kepustakaan Jawa (1967:20 dengan memberi tambahan
penekanan pada bagian yang kami anggap penting, baik karena jumlahnya yang
banyak maupun karena kedudukan dan fungsinya yang penting dalam masyarakat.
Pembagian tersebut adalah sebagai berikut :
(1)
Naskah-naskah
Keagamaan dan Etika :
a)
Weda, Mantra dan Puja
Naskah-naskah
yang memakai judul Weda, Mantra, dan Puja cukup banyak ditemui. Naskah-naskah
ini biasanya memuat sloka-sloka Sanskerta, kadang-kadang terdapat juga
kata-kata Jawa Kuna dan Bali. Naskah-naskah ini termasuk naskah-naskah yang
disucikan, karena menjadi pegangan para pendeta di Bali. Dr. Juynboll
menginformasikan bahwa di perpustakaan Ryksuniversiteit di Leiden terdapat
beberapa ratus buah naskah jenis ini, yang semuanya dapat dibagi atas
bagian-bagian Siwaistis, Wisnuistis, dan Buddhistis.
b)
Kalpasastra
Naskah-naskah
dalam jenis ini adalah naskah-naskah yang memuat aturan-aturan upacara
keagamaan. Ada yang memakai bahasa Jawa Kuna, Bali, atau campuran dari kedua
bahasa tersebut. Naskah-naskah ini sangat dipentingkan oleh pemuka-pemuka agama
di Bali sebagai pedoman dalam melaksanakan upacara keagamaan terutama
upacara-upacara keagamaan yang bersifat khusus.
c)
Tutur
Naskah-naskah
dengan judul tutur sangat banyak
ditemui. Isinya ternyata tidak saja berkaitan dengan ajaran-ajaran keagamaan
termasuk uraian tentang cosmos, tetapi juga memuat penjelasan-penjelasan
pengetahuan-pengetahuan tertentu, seperti pengetahuan pengobatan, atau
penyembuhan (Welfgang Weck, 1976:V). Ketika membicarakan lontar Jnanasiddhanta, Prof. Dr. Haryati
Soebadio sempat membicarakan istilah ‘tutur’
tersebut dengan detail. Ia menyetujui pendapat Zoetmulder yang menyatakan term
tutur adalah terjemahan dari kata smrti
dalam bahasa Sanskerta (1971:3). Smrti
berarti ingat. Jadi naskah-naskah tutur memuat “tafsiran”, “kajian” oleh
seorang ahli terhadap ajaran-ajaran yang telah ada.
Juynboll
memasukkan sejumlah naskah yang tidak memakai judul tutur dalam bagian ini di
antaranya yang terpenting adalah Bhuwanasangksepa,
Bhuwanakosa, Wrehaspatitattva dan yang lain, sedangkan Gedong Kirtya
memasukkannya jauh lebih banyak lagi. Naskah-naskah ini kebanyakan memakai
bahasa Jawa Kuna, adapula yang menggunakan bahasa Bali atau campuran bahasa
Jawa Kuna dengan bahasa Bali. Beberapa di antaranya memuat sloka-sloka Sanskerta
dengan terjemahannya dalam bahasa Jawa Kuna.
d)
Sasana
Naskah-naskah
dengan judul sasana biasanya memuat
petunjuk-petunjuk kesusilaan dan moral. Misalnya tentang aturan tingkah laku
seorang anak (putra sasana), seorang
pendeta (wrati sasana), dan yang
lain.
e)
Niti
Naskah-naskah
lontar yang memakai judul niti tidak
banyak jumlahnya. Sekalipun demikian naskah ini cukup penting, karena memuat
aturan-aturan kepemimpinan yang pada masanya pernah dijadikan pedoman oleh
seorang raja dalam menjalankanpemerintahan atau dalam menghadapi
musuh-musuhnya. Beberapa naskah yang juga dapat digolongkan dalam jenis ini di
antaranya berjudul Bhagawan Indraloka,
Bhagawan Kamandaka dan yang lain.
(2)
Naskah-naskah
Kesusastraan :
a)
Parwa
Naskah-naskah
Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian-bagian epos-epos dalam bahasa
Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya
asli dalam bahasa Sanskerta; kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh taks
parwa itu (Zoetmulder, 1983:80).
Ada
beberapa naskah yang biasanya digolongkan dalam bagian ini, di samping sembilan
parwa dari 18 parwa (astadasaparwa)
yang ditemui dalam bahasa Jawa Kuna. Beberapa di antaranya yang terpenting
adalah Uttarakanda, Korawasrama,
Agastyaparwa dan sebagainya.
b)
Kakawin
Kakawin
adalah jenis karya sastra puisi Jawa Kuna, yang berpola kawya India. Garis besar kaidah bentuknya adalah tiap bait terdiri
atas empat baris, tiap baris terbentuk oleh sejumlah silabel tertentu (chanda), dan panjang pendek suara
tertentu (gurulaghu). Jumlah karya
sastra yang sangat memikat para peneliti sastra Jawa Kuna ini cukup banyak.
Beberapa di antaranya yang terpenting telah dibicarakan, tetapi masih cukup
banyak yang belum diedit apalagi dikaji secara ilmiah. Naskah-naskah kakawin
yang dimaksud adalah naskah-naskah yang dikarang di Bali.
c)
Kidung
karya
sastra kidung adalah karya sastra
puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah
bentuknya adalah mempunyai jumlahsilabel tertentu dalam tiap baitnya, dan dalam
jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai bunyi tertentu
(misalnya : bunyi a, i, u,). Ketika berbicara tentang sastra kidung, Zoetmulder
pertama-tama menekankan bahwa kidung adalah kata Jawa asli. Selanjutnya
dikatakan bahwa untuk menulis sebuah penelitian komprehensif mengenai sastra
kidung belum tiba. Alasannya antara lain adalah karena adanya cukup banyak
naskah-naskah kidung, tetapihanya sedikit saja yang pernah diterbitkan dan
lebih sedikit lagi yang pernah diterjemahkan (1983:510). Richard Herman Wallis
dalam desertasinya secara teliti mengaitkan sastra kidung dengan musik Bali,
serta menyebutnya juga sebagai “ritual
singing style” (1979:174-234).
d)
Geguritan dan Parikan
Geguritan dan Parikan
adalah karya sastra Bali yang dibentuk oleh pupuh
(pupuh-pupuh). Pupuh tersebut diikat oleh beberapa kaidah (disebut pada lingsa), yaitu banyaknya baris
dalam tiap bait, banyaknya suku kata dalam tiap baris, dan bunyi akhir
tiap-tiap baris. Ada 46 buah pupuh yang telah dicatat, di antaranya sepuluh
buah di antaranya yang banyak dipakai. Karya sastra geguritan yang jumlahnya ratusan itu, biasanya memakai bahasa Bali.
Naskah-naskah yang memakai judul parikan biasanya
berupa saduran-saduran dari naskah-naskah parwa,
atau kakawin. Penelitian terhadap
jenis naskah ini baru sedikit dilakukan. Di antaranya dapat disebutkan beberapa
penelitian penting yang dilakukan oleh Dr. C. Hooykaas.
e)
Satua
Satua adalah
cerita rakyat Bali. Sebagian besar dalam bentuk lisan, kemudian dijadikan
naskah (tertulis). Ada pula beberapa di antaranya yang telah dibicarakan
misalnya oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, dan Dr. C. Hooykaas.
(3)
Naskah-naskah
Sejarah dan Mitologi :
Jenis
naskah yang memuat uraian sejarah dan mitologi biasanya memakai judul babad, pamancangah (atau bancangah), Usana, prasasti dan uwug (rusak,rereg). Perbedaan
masing-masing jenis naskah tersebut tidak jelas, kecuali naskah uwug (rusak,rereg), yang biasanya khusus
memuat uraian tentang kehancuran suatu daerah atau kerajaan karena perang
misalnya. Naskah-naskah dengan judul babad
di antaranya yang terbanyak ditemui.
Ada pula
sejumlah naskah sejarah yang tidak menyertakan istilah-istilah di atas dalam
judulnya. Menurut Juynboll yang terpenting di antaranya adalah : Ken Arok atau Pararaton, dan Tattwa Sunda.
(4)
Naskah-naskah
Pengobatan atau Penyembuhan :
Naskah-naskah
pengobatan atau penyembuhan yang biasanya memakai judul usada pada kesempatan ini ingin kami tonjolkan, bukan semata-mata
karena jumlahnya yang relatif banyak, tetapi juga karena sudah semakin disadari
manfaat asli dari naskah-naskah tersebut dalam pengembangan pengetahuan
kedokteran dan farmasi misalnya. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dalam menyambut
pendirian Baliologi secara khusus mengharapkan supaya penelitian terhadap
naskah-naskah usada ini diprioritaskan.
Dr.
Wolgang Weck dalam pengantar tulisannya tentang pengetahuan penyambuhan di Bali
antara lain menyatakan bahwa penyelidikannya pertama-tama terbatas pada metode
penggarapan-penggarapan (orang sakit) yang dilakukan orang Bali serta
obat-obatan yang dipakainya; kemudian oleh karena hasil yang diperolehnya tidak
memuaskan (hasil-hasil tersebut ia dapati secara lisan), ia mengalih pada studi
mengenai usada-usada, yang di
dalamnya diperinci nama-nama penyakit dan obat-obatan yang diterapkan padanya
dan juga gambaran-gambaran (dalam arti : bentuk) penyakit. Tetapi segera ia
harus mengakui bahwa dengan demikian orang hanya bergerak pada permukaan
pengetahuan orang Bali tentang kedokteran mereka dan banyak hal yang tidak
dipahami, selama orang tidak mengindahkan lontar-lontar tutur yang merupakan
ajaran-ajaran teoritisnya yang juga dianggap sebagai saka guru dasar-dasar
kebijaksanaan tertingi dalam pengetahuan penyembuhan (1976:V). Pernyataan di
atas telah memberikan gambaran tentang betapa pentingnya dilakukan penelitian
terhadap naskah-naskah usada beserta
uraian teoritisnya dalam naskah-naskah tutur, yang hasilnya mungkin dapat
menjadi sumbangan yang khas kepada ilmu yang bersangkutan.
Naskah-naskah
tentang pengetahuan penyembuhan tidak semuanya memakai judul usada, malah yang terpenting memakai
judul Buddha Kecapi.
(5)
Naskah-naskah
Pengetahuan Lain :
Ada
beberapa naskah yang dapat dikelompokkan karena menguraikan pengetahuan
tertentu, misalnya tentang pengetahuan kearsitekturan, lexikographi dan
tatabahasa, hukum, serta perbintangan.
Naskah-naskah
yang menguraikan pengetahuan kearsitekturan biasanya memakai judul Astakosali, Asta kosala, Asta bhumi,
Swakarma, Wiswakarma dan yang lain. Terdapat sejumlah versi naskah
Astakosali. Di samping itu ada pula naskah-naskah yang memuat kode etik arsitek
tradisional (Dharmaning Sangging),
dan uraian tentang hal-hal yang berhubungan dengan upacara penyucian bangunan (Pemlaspas).
Naskah-naskah
yang digolongkan sebagai naskah-naskah lexikographi dan tata bahasa adalah naskah-naskah
dengan judul Adiswara, Ekalavya,
Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama, beberapa naskah yang memakai
judul krakah (misalnya krakah sastra, krakah modre) dan
sebagainya. Naskah Ekalavya dan Dasanama tidak saja memuat daftar kata,
tetapi malah memuat sejumlah makna sinonimnya, sedangkan naskah-naskah krakah antara lain memuat uraian beserta
makna dari suatu istilah dalam naskah-naskah tertentu. Itulah sebabnya
naskah-naskah ini sangat penting dijadikan pegangan dalam mempelajari
naskah-naskah lontar.
Naskah-naskah
hukum juga ditemukan dalam kepustakaan Bali. Beberapa di antaranya yang penting
adalah : Adigama, Dewagama, Kutara
Manawa, Purwadhigama. Naskah-naskah hukum yang lebih banyak bercorak Bali
di antaranya berjudul Kretasima,
Kertasima, Subak, Paswara, Awig-awig.
Naskah-naskah
yang memuat pengetahuan astronomi biasanya memakai judul wariga dan Sundari.
Naskah-naskah jenis ini banyak dijumpai. Uraian di dalamnya terlait
denganmasalah-masalah pertanian, misalnya penentuan iklim, hari baik atau hari
buruk untuk suatu pekerjaan, sampai pada penenrtuan hari-hari baik untuk
upacara keagamaan.
Pada
bagian yang membicarakan naskah-naskah pengetahuan ini telah ditonjolkan
beberapa kelompok saja. Kami menyadari masih ada kelompok lain yang untuk
membicarakannya perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti terlebih dahulu
(misalnya naskah-naskah mistik dan tenung).
Uraian
tentang jenis-jenis naskah di atas sesungguhnya masih bersifat sangat umum, dan
terhadap pengelompokkannya pun agaknya masih dapat diajukan
keberatan-keberatan.
Adanya banyak naskah dengan berbagai macam isinya, serta
disajikan dalam beberapa bentuk (prosa atau puisi), adalah beberapa sebabnya.
Sekalipun demikian informasi yang diberikan diharapkan merupakan informasi yang
menyeluruh dengan memberi penonjolan pada jenis-jenis naskah yang penting.
III. USAHA
PENYELAMATAN
Usaha
pencatatan naskah-naskah lontar yang dilakukan oleh Dr. Haryati Soebadio dengan
kawan-kawan dari Universitas Indonesia (1973), Institut Hindu Dharma (1975),
dan Jurusan Bahasa dan Sastra Bali Fakultas Sastra Unud (1977 dan 1981)
memberikan gambaran bahwa dalam masyarakat Bali masih tersebar naskah-naskah
klasik yang sebagian besar ditulis di atas daun rontal. Naskah-naskah tersebut
di samping dimiliki oleh orang-orang yang “berminat” pada naskah-naskah
tersebut, tetapi tidak sedikit menjadi koleksi orang-orang yang secara
kebetulan mewarisinya dari orang tuanya. Oleh karena itu naskah-naskah tersebut
sering tidak mendapat perhatian yang semestinya, sehingga ada kecenderungan
untuk rusak, lapuk, atau mungkin terjual kepada orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Sebagaimana diketahui Pulau Bali berada di daerah tropis dan
beriklim lembab, iklim yang demikian akan mempercepat lapuk dan rapuhnya
naskah-naskah rontal tersebut.
Penyelamatan
naskah-naskah rontal sesugguhnya telah dilakukan oleh kolektor-kolektor rontal
di Bali, yang jumlahnya relatif banyak. Adanya peringatan hari suci Saraswati,
yang datang setiap : 210 hari, di mana para kolektor naskah mengumpulkan naskah-naskah
yang dimilikinya (tentunya juga membersihkannya), adalah kegiatan penyelamatan
masal yang penting artinya. Di samping itu adanya usaha menyalin rontal-rontal
tertentu (terutama yang fungsional) olehpara agamawan dan budayawan, adalah
usaha penyelamatan yang cukup penting pula. Tetapi bukan mustahil, sejumlah
rontal (yang mungkin sangat penting) dapat terlepas dari perhatiannya.
Pada tahun
1928 didirikanlah Gedong Kirtya di Singaraja. Tujuan pendiriannya dengan tegas
dinyatakan untuk melacak, menyelamatkan, dan memelihara naskah-naskah rontal,
baik yang berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Bali dan Sasak. Di samping Gedong
Kirtya Singaraja, Lembaga rontal Fakultas Sastra Universitas Udayana memiliki
juga sejumlah rontal (sekitar : 750 buah), sedangkan di luar Bali naskah-naskah
rontal tersimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta (dulu Perpustakaan Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen),
dan Perpustakaan Universitas Negeri Leiden, Negeri Belanda. Kita pun mengetahui
perhatian besar erhadap naskah-naskah rontal diberikan juga oleh beberapa
Universitas di Australia dan India, di samping peneliti-peneliti yang datang
dari Negeri Belanda.
Dr.
Haryati Soebadio pernah menyatakan bahwa usaha penyelamatan naskah Kuna tentu
saja tidak meliputi sekedar penyimpanan atau pembuatan kopy. Dalam hal naskah
asli yang cukup kuna perlu dipikirkan juga preservasi bahan kunanya. Buku
rontal yang sudah tua sekali, sehingga lempir-lempirnya mudah retak, misalnya,
sebaiknya : dipreservasi dengan setiap halaman helai rontal itu dimasukkan
secara vacuum ke dalam selubung
plastik. Dengan demikian setiap helai rontal itu dapat dipegang-pegang untuk
dibaca tanpa bahaya akan retak (1973:14). Dalam kemajuan teknologi sekarang
pasti ada cara-cara penyelamatan naskah-naskah kuna yang lebih baik (pembuatan
mikrofilm?).
Usaha yang
dilakukan oleh Dr. Hooykaas patut dicatat di sini. Menurut J. L. Swellengrobel,
Hooykaas telah berhasil memproduksi 2.500 teks transliterasi naskah rontal
(1980:198). Karena usaha tersebut berlanjut terus, jumlah itu sekarang pasti
bertambah.
Sekalipundemikian
kami masih mempunyai asumsi bahwa di dalam masyarakat Bali masih tersimpan
naskah-naskah rontal yang “penting”. Gedong Kirtya misalnya pernah mengumumkan
penemuannya tentang naskah pembuatan “racun”, serta menyatakan sedang mencari
sejumlah rontal yang diduga masih ada dalam masyarakat. Kasus penemuan rontal Nagarakretagama masih segar dalam
ingatan kita. Begitu lama naskah rontal yang penting itu dianggap sebagai codex uniqus (naskah tunggal) dan
tersimpan di Negeri Belanda. Baru saja naskah tersebut dikembalikan kepada
Bangsa Indonesia lewat Bapak Presiden Suharto, tiba-tiba Prof. Dr. I Gusti
Ngurah Bagus mengumumkan penemuan rontal Nagarakretagama
yang usianya diduga lebih tua kalau dibandingkan dengan naskah yang ditemukan
J. L. A. Brandes pada tahun 1894 di puri Cakranagara Lombok. Sampai saat ini
tidak diketahui ada tidak kurang dari lima buah naskah rontal Nagarakretagama.
Oleh
karena itu di samping usaha penyelamatan dan pemeliharaan terhadap
naskah-naskah yang telah ada dan tersimpan dalam beberapa Perpustakaan tersebut
di atas, usaha pelacakandan pengumpulan naskah-naskah yang masih “tercecer”
dalam masyarakat perlu segera dilakukan. Transliterasi naskah sebagaimana
dilakukan oleh Dr. C. Hooykaas dan anak buahnya, dengan mengikuti cara kerja
ilmiah perlu diteruskan.
IV. PENUTUP
Pada
bagian penutup informasi ini kita ingin menyegarkan ingatan kita tentang
perlunya usaha melestarikan dan menyebarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
naskah-naskah kuna tersebut. Ucapan Dr. Harsja W. Bachtiar pertama-tama ingin
lkami catat. Dikatakannya bahwa kita harus merasa bersyukur karena kita
termasuk bangsa yang memiliki tulisan-tulisan sendiri, malah sejumlah cara
penulisan, sehingga banyak hasil pemikiran nenek moyang kita di berbagai
daerah, dapat tersimpan lama sesudah pencipta-pencipta hasil pemikiran ini
meninggal, bersatu dengan tanah, air dan udara. Karya-karya yang ditinggalkan oleh
para nenek moyang ini dapat dipelajari untuk emperoleh gambaran, meskipun tidak
lengkap dan tidak pula menyeluruh, mengenai kebudayaan pada waktu mereka hidup
(1974:39). Sedangkan menurut Dr. S. O. Robson, dalam karya-karya sastra klasik
Indonesia terkandung sesuatu yang penting dan berharga, yaitu sebagian warisan
rohani Bangsa Indonesia. Lebih lanjut sasrtra klasik adalah perbendaharaan
pikiran dan cita-cita yang dahulu kala menjadi pedoman kehidupan mereka dan
diutamakan. Lantas kalau pikiran dan cita-cita tersebut penting untuk para
nenek moyang, tentulah penting pula untuk zaman sekarang ini (1978:5-6).
Kemudian Dr. A. Teeuw dengan lebih tegas menyatakan bahwa kekayaan rohani yang
tersimpan dalam sastra lama itu sampai sekarang baru hanya sebagian kecil
digali dan disajikan untuk diselidiki dan dinikmati oleh kalangan luas. Rakyat
Indonesia dalam tahap pembangunan ini memerlukan warisan yang tinggi nilainya
ini, sedangkan dunia internasional juga mengharapkan sarjana Indonesia akan
membuka khazanah itu, ...... (1975:11).
Terakhir
kita meresmikan berdirinya Baliologi, Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menekankan harus segera dilakukan pengkajian
terhadap puncak-puncak budaya yang ada di daerah-daerah, mengingat kita berada
dalam proses perubahan sosial yang memerlukan pengimbangan yang bersumber dari
kebudayaan daerah, yang pada akhirnya dapat menjadi kebudayaan nasional dengan
identitas dan kepribadian Indonesia.
Dua
bidanggarapan pokok dari kegiatan Baliologi sudah tentu patut mendapat
dukungan, dalam kaitannya dengan penerusan nilai-nilai budaya kepada generasi
berikutnya. Dua bidang garapan pokok tersebut adalah satu sisi mengadakan
penelitian secara praktis tentang nilai budaya serta bagaimana meneruskan
sistem nilai itu pada generasi berikutnya. Khususnya tentang penerusan
nilai-nilai, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, Pimpinan Baliologi menyatakan
dapat ditempuh melalui pendidikan formal maupun non-formal. Dalam hal ini nilai
budaya yang abstrak itu diteruskan ke dalam bentuk yang konkret. Itulah
sebabnya dalam mengerjakan kegiatan Baliologi dilibatkan tiga komponen, yaitu :
(1) para sarjana, (2) para budayawan, (3) para pendidik (1984:3).
Khusus
tentang penggarapan naskah-naskah Bali, kami ingin menekankan bahwa
garapan-garapan secara filologis terhadap naskah-naskah tersebut perlu
dilakukan, bersamaan dengan itu juga dibuat sajian aktual yang memuat
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam naskah-naskah tersebut (berupa buku
bacaan untuk sekolah-sekolah misalnya). Sesungguhnya pekerjaan itu telah pernah
dilakukan, namun kiranya perlu dilakukan dengan lebih berencana, bersemangat
dan bergairah.
Akhirnya
kami ingin menutup uraian ini dengan memetik beberapa baris sebuah bait kakawin
Nirarthaprakreta yang mungkin dapat
dijadikan bahan renungan.
duran
manduka yan pamuktya wangining tunjung prakirneng banu/
ekhasta
rahineng kulem tathapi tan wruh punyaning pangkaja/
bheda
mwang gantining madhubrata sakeng doh ndan wawang sprasaka/ (I.4).
(Mustahillah
katak dapat menikmati wangi bunga tunjung yang banyak tersebar di air/
siang malam ia berada bersama-sama, namun ia
tidak mengetahui sajian utama yang diberikan oleh bunga tunjung itu/ berbeda halnya dengan si lebah, dari jauh ia telah
mengetahuinya/)
Walaupun
mengumpamakan dirinya seperti itu, pengarang kakawin ini pasti tidak ingin
berkeadaan seperti “katak” ang dilukiskannya itu. Demikian pula agaknya dengan
kita yang telah mengibarkan panji-panji Javanologi, Baliologi dan Sundanologi.
V.
KEPUSTAKAAN
KEADAAN DAN JENIS-JENIS NASKAH SUNDA
Oleh : Edi S. Eka
Ekadjati
I. PENDAHULUAN
Prasasti-Prasasti
Ciaruteun, Kebon Kopi, Pasir Jambu, Cidangiang, dan Tugu merupakan kesaksian
bahwa kepandaian tulis-menulis di daerah Sunda telah mulai ada sejak
pertengahan abad ke-5 Masehi.Pada waktu itu huruf dan bahasa tulisan yang di
gunakannya adalah huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.Baik huruf Pallawa maupun
bahasa Sansekerta berasal dari India. Prasasti-prasasti ini di temukan di
daerah-daerah Bogor, Banten, dan Bekasi.
Walaupun
dalam jumlah yang kecil dan jarak waktu yang sangat jarang, tradisi
tulis-menulis dalam bentuk Prasasti di daerah Sunda itu terus
Berlanjut.Pertama-tama, adalah prasati di Daerah Sunda itu terus
berlanjut.Pertama-tama, adalah prasasti Bantarmuncang (4 buah) yang di temukan
di Cibadak, Sukabumi dan di tulis dalam huruf dan bahasa Jawa Kuna serta
bertitimangsa tahun 955 Saka yang sama dengan tahun 1030 Masehi. Kemudian,
Prasasti Kawali (5buah),prasasti Kebantenan , dan prasasti Batutulis yang di
tulis dengan huruf dan bahasa Sunda Kuna serta masing-masing di temukan di
daerah-daerah Kawali (Ciamis), dan Bogor dan Berasal dari abad ke-14 dan abad
ke-16 Masehi.
Di
tinjau dari lokasi penemuannya yang kiranya juga menunjukkan lokasi
pembuatannya dan jarak antara waktu pembuatannya, maka tampaknya pengetahuan
dan tradisi tulis-menulis di daerah Sunda (Jawa Barat) itu bukan sesuatu yang
kebetulan semata-mata, melainkan benar-benar di kuasai dan di miliki oleh
(kalangan tertentu) masyarakat Sunda yang bahkan penyebarannya meliputi hampir
seluruh wilayah Sunda. Hal itu diperkuat pula oleh kesaksian lain berupa
tradisi tulis-menulis dalam bentuk naskah.
II. KEADAAN NASKAH-NASKAH SUNDA
Yang
di maksud dengan naskah Sunda disini adalah naskah-naskah (manuscripts) yang di buat di daearah Sunda, lepas dari kriteria
jenis isinya, huruf dan bahasa serta bentuk karangan yang di gunankannya.
Jika
perhitungan N.J. Krom benar dan titimangsa itu menunjukkan waktu
penyusunan naskahnya, maka naskah Sunda
yang berangka tahun 1256 Saka yang sama dengan tahun 1334 Masehi merupakan
naskah Sunda tertua yang telah di ketahui ada. Di samping itu, masih ada dua
buah naskah pula yang bertitimangsa tahun 1341 Saka yang sama dengan tahun 1419
Masehi dan bertitimangsa tahun 1357 Saka yang sama dengan tahun 1435 Masehi.
Tetapi keabsahan angka-angka tahun tersebut masih harus menunggu hasil
penelitian yang khusus dan sungguh-sungguh atas naskah-naskah tersebut.
Sedangkan naskah-naskah Sunda tertua yang telah nyata dan jelas di ketahui
waktu penyusunannya berdasarkan penelitian filologi dan sejarah berasal dari
awal abad ke-16 Maehi. Naskah-naskah di maksud adalah Siksa Kanda Ng Karesian (Atja, 1981), Pantun Ramayana (Noorduyn, 1971), Carita Parahiyangan (Noorduyn, 1962, 1965;Atja, 1968), Amanat dari Galunggung (Atja dan Saleh
Danasasmita, 1981), peta tanah Sunda (Holle, 1864), dan Bujangga Manik (Noorduyn, 1982). Selanjutnya, tradisi pembuatan
naskah Sunda itu terus tumbuh dan berkembang seperti tampak dari kesaksian
naskah-naskahnya yang ada hingga dewasa ini (Lihat Ekadjati, 1983).
Berapa
Jumlah naskah Ssunda yang pernah ada secara pasti hingga sekarang belum dapat
di ketahui, karena penelitian yang menyeluruh dan sempurna atas naskah-naskah
tersebut belum dilakukan Edi S.Ekadjati dkk. (1983) yang melakukan
investarisasi naskah Sunda secara agak menyeluruh baru berhasil mencatat 1787
buah naskah.
Belum
dapat di ketahuinya jumlah naskah Sunda secara agak pasti yang di simpan di
koleksi-koleksi naskah sekali pun, di sebabkan belum adanya buku katalogus
naskah Sunda yang lengkap yang mecatat data naskah Sunda secara menyeluruh.
Memang naskah-naskah Sunda telah tersebar ke berbagai tempat, baik yang telah
di simpan di koleksi naskah maupun yang masihada di kalangan masyarakat.
Sejauh pengetahuan saya, tempat-tempat koleksi
yang antara lain menyimpan naskah Sunda dapat di klasifikasikan atas koleksi di
dalam negeri dan koleksi di luar negeri. Di dalam negeri naskah Sunda terdapat
di koleksi-koleksi naskah: Museum Nasional Jakarta, Museum Negeri Jawa Barat di
Bandung, Museum Pangeran Geusan ulun di Sumedang, Museum Cigugur di Kuningan,
Kantor EFEO di Bandung. Di luar negeri naskah Sunda dapat di temukan di
koleksi-koleksi naskah: Universiteits
Bibliotheek Leiden dan KITLV Bibliotheek di negeri Belanda, Bodleian Library, SOAS London Royal Asiatic Society di Inggris, dan
Swedia.
Di
dalam masyarakat naskah-naskah Sunda berada pada tangan-tangan perorangan yang
tersebar di seluruh daerah Jawa Barat dan Luar Jawa Barat, baik di kota-kota
maupun di desa-desa, bahkan di perkampungan yang terpencil di Pegunungan
sekalipun. Pada umumnya mereka memiliki naskah itu karena warisan yang
turun-temurun dari leluhurnya, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Banyak di antara mereka merupakan pemegang naskah generasi ketiga ke
atas. Sering terjadi pergantian generasi pemegang naskah disertai pula dengan
perpindahan lokasi penyimpanan naskah itu tidak mengetahui isinya, bahkan
membacanya pun ada yang tidak bisa lagi.
Berhubung
dengan statusnya sebagai benda warisan , sedangkan isinya tidak dapat di pahami
, maka banyak di antara naskah itu di anggap keramat sehingga timbul
aturan-aturan untuk memperlakukan naskah tersebut, baik dalam bentuk suruhan
maupun dalam bentuk larangan. Sebaliknya, banyak di antara pemegang naskah
memandang naskah-naskah itu sebagai benda biasa seperti halnya buku. Karena
tidak mengetahui atau tidak tertarik pada kandungan isinya, maka banyak di
antara mereka yang menelantarkan naskah-naskah miliknya sendiri sehingga
akhirnya rusak binasa atau hilang tak tentu rimbanya. Di samping itu, ada pula
penyimpan naskah yang merahasiakan benda-benda yang di simpannya karena
berbagai alasan. Kasus penemuan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari dan
naskah-naskah Pustaka Negarakertabhumi, Pustaka Pararatuan I bhumi Javadvipa,
dan Pustaka Pararatuan I bhumi Nusantara membuktikan hal tersebut terakhir itu.
Pengrahasiaan naskah-naskah itu berakibat banyak naskah-naskah yang baru di
dengar beritanya saja.
Berdasarkan
pengalaman di lapangan , para pemegang naskah Sunda itu secara garis besar
dapat di klasifikasikan , terdiri atas keturunan keluarga para bupati dulu di
tanah Sunda,kalangan tokoh agama (ulama, kiai), pecinta atau keturunan pecinta
kesenian Sunda, terutama seni Beluk, dan keturunan pemelihara tempat yang di
anggap keramat (juru kunci) yang biasanya disertai berbagai penganut
kepercayaan tradisional.
Identities
dan sikap para pemegang naskah Sunda tersebut di atas, kiranya erat hubungannya
dengan fungsi naaskah dalam kalangan masyakat Sunda.Beberapa fungsi naskah di
antaranya ialah pegangan bagi kaum bangsawan untuk naskah-naskah yang berisi
silsilah dan sejarah leluhur serta sejarah daerah mereka; alat pendidikan bagi
naskah-naskah yang berisi pelajaran agama,ajaran etika, nasehat, dan lain-lain;
media menikmati seni budaya bagi naskah-naskah berupa karya sastra, petunjuk
suatu jenis kesenian, alat upacara
ritual untuk mengharapkan keselamatan dan kesejahteraan hidup serta menghindari mara bahaya yang mungkin
menimpa hidup manusia; melesstarikan khazanah kebudayaan, menambah pengetahuan
bagi naskah-naskah yang berisi berbagai informasi ilmu pengetahun; keperluan
Praktis kehidupan sehari-hari bagi naskah-naskah berisi Primbon, sistem
perhitungan waktu, resep masakan, dan lain-lain (Ekadjati, 1982:276-279;
Ekadjati, 1983: 10). Fungsi-fungsi naskah tersebut di atas dewasa ini cendrung
memudar sebagai konsekwensi dari terjadinya perubahan norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Memudarnya
fungsi naskah mengakibatkan jumlah dan peranan naskah makin berkurang.Hal itu di sebabkan karena upaya
pemeliharaan dan penggandaan naskah hampir terhenti. Berkat kemajuan teknologi
di bidang percetakan, pembuatan naskah baru tidak perlu lagi. Yang patut di
khawatirkan adalah adanya sikap acuh, bahkan sikap sengaja, para pemilik naskah
untuk menelantarkan miliknya sendiri sehingga di tambah dengan faktor lain
seperti iklim, ketuaan usia, bencana alam memungkinkan naskah-nasskah yang
telah ada pun cepat rusak dan akhirnya hancur (Ekadjati, 1982). Sebaliknya,
sikap merahasiakan dan memandang benda keramat atas naskah melahirkan dampak
positif dan dampak negatif atas
kelangsungan hidup naskah-naskah itu, Dampak positifnya berupa upaya
diperhatikan dan di peliharanya naskah-naskah itu sehingga kelestariannya dapat
terjamin. Dampak negatifnya adalah ketidaktahuan cara memelihara dan merawat
naskah dengan baik serta tempat penyimpanan naskah yang kurang terjamin
keamanannya, baik dari gangguan alam, bencana, gangguan binatang maupun
gangguan tangan manusia sendiri akan berakibat fatal bagi kelestarian
naskah-naskah itu.
Sejauh
pengetahuan saya, ada empat macam huruf yang pernah di gunakan untuk menuliskan
naskah-naskah Sunda. Keempat macam huruf itu ialah huruf Sunda Kuna, huruf Jawa
Sunda, huruf Arab, dan huruf latin. Urutan penyebutan keempat jenis huruf
tersebut mencerminkan pula urutan waktu pemakaiannya untuk pertama kali. Huruf
Arab merupakan jenis huruf yang paling banyak di gunakan untuk menuliskan
naskah Sunda.
Ada empat macam pula
bahasa yang di gunakan dalam menuliskan naskah-naskah Sunda.Keempat bahasa itu
ialah bahasa Sunda Kuna, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Melayu. Bahasa
Sunda Kuna di gunakan untuk menuliskan naskah-naskah pada abad ke-16 Masehi,
sedangkan bahasa Jawa dipakai guna menuliskan naskah Sunda sekitar abad ke-17
sampai dengan pertengahan abad ke-19 Masehi. Sejak pertengahan abad ke-19
Masehi bahasa Sunda di gunakan untuk menuliskan naskah Sunda (Ekadjati dkk.,
1980). Pada akhir abad ke-19 Masehi di jumpai pula naskah-naskah Sunda
berbahasa Melayu.
Daun
lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, daulang, dan kertas merupakan
bahan yang digunakan untuk menulis naskah-naskah Sunda (Atja, 1970:5).
Naskah-naskah yang ditulis dengan daun lontar umumnya berasal dari periode yang
lebih tua, sedangkan naskah yang di tulis dengan kertas berasal dari periode
yang lebih muda. Naskah pada daun lontar, janur, daun enau, pandan, dan nipah
dikerjakan dengan menggunakan alat pengerat (penggores) yang disebut Peso Pangot. Sedangkan naskah-naskah
yang di tulis pada kertas menggunakan alat pena, tinta atau pensil. Daluang dan
kertas merupakan bahan yang paling banyak di gunakan oleh naskah-naskah Sunda.
Diatas
telah dikemukakan bahwa upaya penggandaan atau penyalinan naskah dan pembuatan
atau penyusunan naskah baru telah hampir terhenti. Pada tahun 1950-an kegiatan
penyalinan naskah masih terdapat di beberapa tempat di wilayah Priangan, tetapi
pada tahun 1970-an saya hanya menjumpai di tiga tempat saja, yaitu di Cidadap
(Kotamadya Bandung),
di Cicalengka (Kabupaten Bandung), dan Garut. Sedangkan upaya penyusunan naskah
baru , kiranya aktivitas tersebut dapat di katakan terhenti sama sekali. Namun hal itu tidak
berarti bahwa kegiatan kreatif karang-mengarang di daerah Sunda terhenti.Sejak
awal abad ini hasil karya tulis masyarakat Sunda pada umumnya langsung di
terbitkan melalui percetakan dan konsepnya pun banyak yang sudah ditik. Konsep
yang ditulis tangan (naskah) pada umumnya dihancurkan setelah ditik atau
dicetak.
III. JENIS-JENIS NASKAH SUNDA
Klasifikasi
naskah-naskah Sunda dapat di lakukan melalui tinjauan atas wujud naskah, huruf
dan bahasa yang di gunakan, wilayah naskah, usia naskah, bentuk karangan, wujud
karangan,dan jenis karangan. Dalam makalah ini pembicaraan atas jenis-jenis
naskah itu tidak dilakukan secara mendalam dan mendetil. Disamping tentu saja
tidak mungkin dilakukan dalam suatu makalah yang waktu pembahasannya terbatas,
juga data-data yang terkumpul belum banyak. Dalam hal ini uraian itu hanya
dilakukan secara garis besar dan bersifat informatif.
Ditinjau
dari sudut wujudnya, naskah-naskah Sunda dapat di klasifikasikan berdasarkan
ukuran naskahnya, tebal naskah, keadaan naskah, dan bahan naskah. Berdasarkan
ukurannya, naskah-naskah Sunda di bedakan atas naskah berukuran kecil,
menengah, dan berukuran besar. Naskah-naskah berukuran kecil adalah
naskah-naskah yang berukuran di bawah 15 X 20 cm. Naskah menengah adalah
naskah-naskah yang berukuran antara 15 X 20 cm sampai dengan 23 X 35 cm. Naskah
berukuran besar adalah naskah-naskah yang berukuran di atas 23 X 35 cm. Naskah
berukuran menengah jumlahnya paling banyak dalam khazanah naskah Sunda.
Selanjutnya diikuti oleh naskah berukuran kecil dan naskah berukuran besar.
Sejauh pengetahuan saya, naskah yang paling besar ukurannya adalah
naskah-naskah Pustaka Rajyarajya I bhumi Jawadwipa, Pustaka Negarakertabhumi,
dan Pustaka Rajyarajya I bhumi Nusantara.Naskah lotar tergolong ke dalam naskah
kecil.
Berdasarkan
tebalnya, nasskah-naskah Sunda dapat pula di bagi atas naskah tebal, naskah
menengah, dan naskah tipis, meskipun sulit untuk menentukan kriterianya. Yang
jelas sepengetahuan saya belum dijumpai sebuah naskah Sunda yang tebalnya lebih
dari 1.00 halaman. Memang naskah Pustaka Rajyarajya I bhumi Nusantara yang
seluruhnya 25 Jilid dan naskah Pustaka Rajyarajya I bhumi Jawadwipa yang
seluruhnya 15 jilid serta naskah Pustaka Negarakertabhumi yang seluruhnya 10
jilid, jika masing-masing di jumlahkan atau disatukan akan lebih dari 1.000
halaman tebalnya. Namun pada umumnya naskah Sunda itu telah dianggap naskah tebal,
jika jumlah halamannya telah melebihi 250 halaman. Naskah Sunda yang paling
tipis ialah naskah setebal 1 halaman misalnya peta tanah Sunda, silsilah Seh
Abdulmuhyi. Naskah setebal di atas 100 halaman kiranya dapat di pandang sebagai
naskah menengah tebalnya. Tampaknya yang paling banyak adalah naskah Sunda yang
tebalnya antara 50-250 halaman.
Berdasarkan
keadaannya, naskah-naskah Sunda itu dapat di golongkan atas naskah-naskah yang
telah rusak, naskah-naskah yang sebagian rusak, dan naskah-naskah yang masih
utuh. Naskah-naskah yang telah rusak adalah naskah yang secara keseluruhan
sudah rusak bahannya dan tulisannya pun tak dapat atau sukar sekali untuk
dibaca dan dipahami isinya. Sedangkan naskah yang setengah rusak adalah nasskah
yang telah mengalami gangguan kerusakan sebagian, biasanya bagian depan dan
bagian belakangnya atau berlubang tengahnya kalau kena gangguan binatang
ngengat. Cukup banyak naskah Sunda yang telah mengalami rusak berat, bahkan
banyak pula yang hancur seluruhnya.
Diatas
telah dikemukakan mengenai bahan yang digunakan untuk membuat naskah. Naskah
lontar, janur ,dan daun nipah yang berasal dari periode yang lebih lama
berukuran kecil, sekitar 5 X 20 cm. Jumlah naskah Sunda yang terbuat dari bahan
lontar yang diketahui ada sekarang tidak banyak, tidak sampai lebih dari 250
buah. Naskah yang terbuat dari bahan kertas dapat diklasifikasikan atas kertas
produksi sendiri dan kertas produksi pabrik. Kertass produlsi sendir disebut
daluang atau kertas saeh yang biasa digunakan sebelum pertengahan abad ke-19
Masehi. Sesudah abad ke-19 Masehi nasakh-naskah Sunda di tulis pada kertas
produksi pabrik.
Berdasarkan
wilayahnya, naskah-naskah Sunda dapat diklasifikasikan atas wilayah
pembuatannya dan wilayah penemuannya. Ukuran wilayahnya pun dapat di bagi
secara beertingkat berdasarkan pembagian sosial budaya dan atau pembagian
administrasi pemerintahan. Pengetahuan tentang wilayah pembuatan dan wilayah
penemuan naskah penting, karena erat kaitannya dengan masalah isi naskah dan
lain-lain.
Pengetahuan
mengenai usia naskah sangat penting dalam dalam rangka analisis isi naskah.
Berdasarkan waktu pembuatannya, naskah-naskah Sunda dapat di bagi menjadi tiga
periode. Ketiga periode itu adalah masa kuna, masa abad ke-17 Masehi ke
belakang; masa peralihan, masa sekitar abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-19
Masehi; dan masa baru masa sekitar pertengahan abad ke-19 samapi dewasa ini
(Ekadjati dkk., 1980).
Bentuk
karangan yang di gunakan dalam naskah Sunda dapat digolongkan atas prosa, prosa
lirik, dan puisi. Bentuk puisi dapat di bagi lagi atas pantun (Sunda), tembang,
sindiran, dan bentuk puisi lain. Bentuk prosa telah digunakan untuk menuliskan
naskah-naskah Sunda sejak abad ke-16 Masehi hingga abad ke-20ini. Karena itu
jumlah naskah Sunda yang menggunakan bentuk prosa menempati urutan teratas.
Bentuk prosa lirik digunakan dalam naskah Sunda yang berisi mengenai cerita
pantun, seperti Lutung Kasarung, Mudinglaya. Sedangkan bentuk puisi pantun
digunakan dalam naskah Sunda abad ke-16 Masehi, seperti tentang cerita
Ramayana. Bentuk puisi ini tiap baris terdiri atas 8 suku-kata (Noorduyn,
1971). Bentuk puisi tembang banyak digunakan dalam naskah Sunda yang di sebut wawacan. Jumlah naskah yang berbentuk
puisi tembang cukup banyak. Naskah wawacan biasa di gunakan sebagai alat untuk
pertunjukan seni beluk.
Berdasarkan
wujud karangannya, naskah-naskah Sunda dapat di bagi atas naskah yang
karangannya berwujud kisahan, paparan, dan cakapan. Sering terjadi satu naskah
mengandung karangan yang berwujud kisahan dan cakapan sekaligus atau paparan
dan kisahan, dan pasangan lainnya. Wujud kisahan adalah wujud karangan yang
bercerita, berkisah, seperti pada naskah Carita Parahiyangan, Babad Cirebon,
Wawacan Ranggawulung. Dalam hal ini ada alur cerita, jalan cerita. Wujud paparan
adalah wujud karangan yang membahas sesuatu topik, Seperti wayang Lilingong,
Babad Kawung, Resep Masakan. Dalam hal ini ada topik atau pokok yang di
bahasnya. Sedangkan wujud cakapan adalah wujud karangan yang berdialog antara
Dua Pandita. Bagian terbesar naskah Sunda merupakan perpaduan antara wujud
karangan kisahan dan cakapan.
Dilihat
dari jenis karangannya, naskah-naskah Sunda dapat diklasifikasikan atas 12
kelompok. Ke-12 kelompok itu ialah agama, bahasa, hukum, kemasyarakatan,
mitologi, pendidikan, pengetahuan, primbon, sasstra, sastra sejarah,sejarah,
dan seni. Di tinjau dari kuantitas naskahnya, naskah Sunda yang berisi
keagamaan (Islam) menempati urutan teratas, baru kemudian menyusul
naskah-naskah yang berisi sastra, sastra sejarah, primbon, sejarah,
pengetahuan, dan lain-lain (Ekadjati, 1983:503).
IV. RANGKUMAN
DAN UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN
Dari
seluruh uraian di atas gambaran secara umum dan menyeluruh mengenai keadaan
naskah Ssunda dewasa ini dan jenis-jenis naskah Sunda yang ada telah diperoleh.
Atau dengan kata lain, begitulah keadaan dan jenis naskah Sunda itu.
Gambaran
tersebut membangkitkan dua perasaan bagi kami, setidak-tidaknya bagi
saya.Pertama, perasaan bahagia (bagja, dalam istilah bahasa Sunda) karena
generasi kami telah memperoleh warisan dari leluhur kami berupa kekayaan batin
dan pengetahuan mereka yang di amanatkan lewat naskah. Kedua, perasaan cemas
dan khawatir (hariwang, dalam istilah
bahasa Sunda) Karena sebagian (besar) warisan tersebut belum berada di tangan
kami sepenuhnya, baik fisiknya maupun (lebih-lebih) isinya.
Guna
mengatasi atau menghilangkan perasaan cemas tersebut perlu dilakukan upaya yang
berencana dan bertahap, menurut hemat kami, sebagai berikut.
Pertama,
penyelamatan naskah-naskah yang masih tersebar di kalangan masyarakat dengan
cara mencari dan mengumpulkan naskah aslinya maupun dalam wujud kopinya.
Pengertian kopi di sini adalah hasil fotokopi, foto, mikrofilm atau mikrofis.
Dalam hal ini kiranya perlu ditetapkan, lembaga atau lembaga-lembaga apa yang
diberi tugas atau mempunyai wewenang untuk melakukan kegiatan ini dan
selanjutnya menyimpan naskah-naskah ersebut agar tidak membingungkan di tingkat
bawah.
Kedua,
inventarisasi dan katalogisasi naskah-naskah terrkumpul itu beserta
naskah-naskah yang telah terkumpul ditempat-tempat koleksi naskah untuk
kemudian disusun buku katalognya.
Ketiga,
penelitian dan penerbitan atas naskah-naskah itu berdasarkan prioritas
kepentingan isinya.
Upaya-upaya
tersebut di atas sebagian telah dilakukan, tetapi kiranya masih perlu
ditegaskan dan ditingkatkan lagi, baik kuantitasnya maupun kualitasnya.
CATATAN
Tentang
prasasti-prasasti tersebut beserta tafsirannya serta rekonstruksi sejarah
kerajaan Tarumanagara; lihat: Ajatrohaedi, Tarumanagara,
Suatu Pertemuan Kebudayaan,
Skripsi sardjana, Fakultas Sastra U.I. Djakarta, 1965;……………..,”Tarumanagara”, Sejarah Jawa Barat Dari Prasejarah Sampai
Penyebaran Agama Islam, Pemerintah
Daerah Propinsi Jawa Barat, Bandung, 1975,hal.
Prasasti
ini dikeluarkan oleh Raja Sunda Sri Jayabhupati yang hidup sezaman dengan raja
Erlangga di Jawa Timur. Lebih jauh lihat: C.M. Pleyte, “Maharaja Cri
Jayabhupati, Sunda’s Oudst Bekende Virst” ,TBG, 57, 1915; Saleh Danasasmita, Prasasti Cibadak Sukabumi.
Pembahasan atas prasasti-prasasti tersebut yang mutakhir
dilakukan oleh Muh.Amir Sutaarga, Prabu
Siliwangi, Duta Rakyat, Bandung, 1965; Saleh Danasasmita, Prasasti Batutulis dan Tradisi Megalitiknya,
Lembaga Kebudayaan Unpad, Bandung, 1975.
Tidak
jelas, apakah angka tahun itu menunjukkan waktu penulisan naskah atau
menunjukkan suatu Peristiwa tertentu yang di kemukakan dalam teks naskah.
Lihat: N.J. Krom (1971).
Lihat:
N.J. Krom, Ibid., hal.71.
Lihat:
N.J. Krom, Ibid., 71-72, 45-46, 60.
Dalam
naskah ini tertera candrasangkala yang berbunyi “nora catur sagara wulan” yang
berarti tahun 1440 Saka yang sama dengan tahun 1518 Masehi. Lihat: Atja &
Saleh Danasasmita, Sanghyang Ssiksakanda
Ng Karesian, Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, Bandung, 1981.
Keharusan
mengeluarkan dan membersihkan naskah pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
tanggal 12 Maulud (Rabi’ul Awal) bagi naskah-naskah di Cisondari (Kabupaten
Bandung) dan Panjalu (Kabupaten Ciamis); pada hari Rabu Wakasan bulan Sapar
bagi naskah-naskah di Ciburuy (Kabupaten Garut). Naskah itu harus dibungkus
dengan kain putih dan di simpan di bagian atas rumah.
Dilarang
mengeluarkan naskah, selain pada waktu-waktu tertentu. Dilarang mengambil
naskah dan jika ada yang mengambil, walaupun sebagian, maka orang itu akan
gila, dan lain-lain.
Berulangkali
saya alami bahwa naskah milik seseorang hilang tanpa sepengetahuan pemiliknya,
karena naskah itu di simpan begitu saja tanpa dihiraukan, berhubung dengan
pemiliknya merasa tidak memerlukan lagi.
Alasan-alasan
itu antara lain karena benda warisan, amanat dari leluhurnya, agar tidak jatuh
ketangan pemerintah kolonial, kalau yang akan melihatnya tidak seikhwan.
Naskah
tersebut ditemukan pada tahun 1969 di daerah Indramayu. Naskah itu terpaksa
dikeluarkan oleh pemiliknya untuk diperlihatkan dan dijual kepada orang lain,
karena ia jatuh sakit dan memerlukan biaya untuk perawatan dirinya. Naskah itu
kini berada di Museum Negeri Jawa Barat.
Menurut
Atja, penemuan naskah-naskah tersebut diperoleh melalui jaringan rahasia.
Berita tentang adanya naskah-naskah Sunda, Lihat: Ekadjati dkk., Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan, Lembaga
Kebudayaan Unpad, Bandung,
1983, hal. 492-502.
Misalnya,
naskah-naskah yang terdapat di Cisondari (Kabupaten Bandung), Panjalu
(kabupaten Ciamis), Ciburuy (kabupaten Garut).
Misalnya,
naskah milik Rohendy Sumardinata hancur sewaktu terjadinya banjir di kota
Bandung pada Bulan Desember 1945, naskah milik penduduk Cijenuk (Kbupaten
Bandung) sebagian terbakar sewaktu rumahnya di bakar oleh gerombolan
Kartosuwiryo, naskah milik penduduk Astanajapura (kabupaten Cirebon) sebanyak
satu peti hancur karena disembunyikan di dalam tanah agar tidak jatuh ke tangan
pemerintah kolonial.
Kegiatan
tersebut merupakan kegiatan individual karena kesenangan semata-mata. Padahal
sebelum Perang Dunia II kegiatan penyalinan naskah itu merupakan usaha bisnis.
Naskah Wawacan Suryaningrat, misalnya, dissalin dengan biayanya tiga dacin (180
kg) padi.
Di
bagian naskah Universitas Bibliotheek
Leiden terdapat satu bundel map yang berisi sejumlah karangan yang katanya
berasal dari karangan untuk Balai Pustaka. Agaknya karangan-karangan tersebut
termasuk yang ditolak untuk diterbitkan oleh Balai pustaka.
Menurut
Atja, nasskah Sunda lontar yang ada di Miseun Nasional Jakarta berjumlah 40
buah, tetapi menurut sumber lain ada 150 naskah. Saya sendiri menemukan iga
buah naskah lontar yang masih berada di kalangan masyarakat.
Urutan
kriteria itu ialah Jawa Barat-Luar Jawa Barat, berdasarkan keresidenan,
kabupaten,kecamatan,desa, kampung.
Misalnya,
terjadi versi-versi suatu cerita. Lihat, Ekadjati, 1983.
BIBLIOGRAFI
Atja, 1968. Tjarita
Parahijangan. Bandung;
Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
………….. 1970. Tjarita Ratu Pakuan. Bandung:
Lembaga Bahasa dan Sedjarah.
………….. 1972. Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari. Djakarta: Ikatan
Karjawan Museum
Pusat.
Atja &
Saleh Danasasmita, 1981. Amanat Dari
Galunggung. Bandung:
Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
………….. 1981.
Sanghyang Siksakanda Ng Karesian. Bandung: Proyek
Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Ayatrohaedi.
1965. Tarumanagara; Pertemuan Kebudajaan.
Skripsi Sardjana, Fakultas Sastra UI, Djakarta.
………….. 1975.
“Tarumanagara”, Sejarah Jawa Barat; Dari
Prasejarah hingga Penyebaran Agama
Islam. Bandung:
Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat.
Danasasmita,
Saleh. 1970. Hubungan antara Prasasti
Batutulis dengan Kerajaan Padjadjaran.
Bandung;
Skripsi Sardjana, FKIS-IKIP.
………….. 1975. Prasasti Batutulis dan Tradisi Megalitiknya.
Bandung lembaga
Kebudayaan Unpad.
………….. 1975. Prasasti Cibadak Sukabumi dan Geger Hanjuang.
Bandung:
Lembaga Kebudayaan Unpad.
………….. 1975. Hubungan antara Sri Jayabhupati dengan
Prasasti Geger Hanjuang. Bandung:
Lembaga Kebudayaan Unpad.
Ekadjati dkk,
Edi S.1980. Naskah Sunda Lama; Pendataan
dan Analisis Pendahuluan. Bandung:
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Barat,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
………….. 1982. Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Bandung: Proyek
Penelitian Bahasa dan Satra Indonesia
dan Daerah Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
………….. 1983. Naskah Sunda Lama Di Daerah Kotamadya dan
Kabupaten Bandung. Bandung; Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah Jawa Barat, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
………….. 1984. Naskah
Sunda Lama Di Kabupaten Sumedang. Bandung: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah Jawa Barat, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
………….. 1982. Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah
Sunda. Jakarta:
Pustaka Jaya.
………….. 1983. Naskah Sunda; Inventarisasi dan Pencatatan.
Bandung:
Lembaga Kebudayaan Unpad-The Toyota
Foundation.
Holle, K.F.
1867.”Vlugtig Berigt Omtrent Eenige Lontar Handschriften afkomstig uit
Soenda-landen”, TBG,15.
Noorduyn, J.
1962. “Over het Eerste Gedeelte van de oud-Sundase Carita Parahiyangan”, BKI, 118,
hal. 374-383.
…………..
1962.”Het begin gedeelte van de Carita Parahiyangan, Tekst, Vertaling,
Commentaar”, BKI, 118, hal. 405-432.
…………..
1965.”Eenige nadere gegevens over tekst en inhoud van de Carita Parahiyangan”,
BKI, 122, hal. 366-374.
………….. 1971.
“Traces of an old Sundanese Ramajana, Tradition”, Indonesia,
Cornell Modern Indonesia Project, 12. Hal. 151-157.
………….. 1982.
“Bujangga Manik’s Journeys Through Java; Topographical data from an old
Sundanese Source”, BKI, 138, hal. 413-442.
Pleute, C.M. 1915.
“Maharaja Cri Jayabhupati, Sunda’S Oudst Bekende Vorst”, TBG, 57.
Sutaarga, Moh.
Amir.1965. Prabu Siliwangi. Bandung, Duta Rakyat.
Krom, N.J. 1971. Laporan
Kepurbakalaan Jawa Barat Tahun 1914. (Terjemahan Drs. Budiaman dan Drs.
Atja). Bandung:
Proyek Penunjang Peningkatan Pendidikan Kesenian Sekolah Dasar Propinsi Jawa
Barat.
BAB I
KAIDAH PENULISAN HURUF ARAB MELAYU
Penulisan huruf Arab Melayu dapat dirumuskan menjadi
beberapa kaidah, yaitu :
Kaidah
ke-1 : setiap suku kata yang diawali dan
diakhiri dengan konsonan, cukup dituliskan konsonannya (tidak diberi saksi).
Contoh :
Tem-pat :
ﺗﻤﻓﺖ
Ham-pir : ﻫﻣﻓﺮ
Pin-tar :
ﻓﻧﺗﺮ
Tang-kas : ﺗﻌﮑﺲ
Cer-mat : ﭽﺮﻤﺖ
Kaidah ke-2 :
a)
Suku
kedua dari berbagai hidup berbunyi “a”, mendapat saksi alif (ﺍ), tetapi suku
pertama dari belakang hidup berbunyi “a” tidak mendapat saksi.
Contoh :
ba-dan : ﺑﺎ ﺪ ﻥ
ka-lam :
ﮐﺎ ﻠﻢ
ra-ja : ﺮﺍﺝ
den-da : ﺪ ﻧﺪ
la-ba : ﻻ ﺐ
b)
Suku
kedua dari belakang hidup berbunyi “e” dan suku pertama dari belakang berbunyi
“a”, maka suku kesatu dari belakang mendapat alif saksi. Contoh :
ke-ra :
ﮐﺮﺍ
re-da :
ﺭﺪﺍ
pe-ta : ﻓﺗﺎ
je-da : ﺠﺪﺍ
le-ga : ﻠﮑﺎ
Kaidah ke-3 : bila
suku pertama dan kedua terdiri dari vokal i, o, dan ai, maka huruf atau
konsonan Arab itu diberi saksi “yak” (ﻱ).
Contoh :
ki-ri : ﮐﻴﺭﻱ
mi-ni : ﻤﻴﻧﻲ
se-ri : ﺴﻴﺭﻱ
ni-lai : ﻧﻴﻟﻲ
li-hai : ﻠﻴﻬﻲ
Kaidah ke-4 : bila
suku pertama dan atau kedua hidup berbunyi “o”, “u”, dan “au” ditulis dengan
wau (ﻭ ) saksi.
Contoh :
ro-da : ﺭﻮﺪ
lu-bang : ﻠﻮﺒﻊ
pu-lau : ﻓﻮﻟﻮ
ki-cau : ﮐﻴﭽﻮ
su-rau : ﺴﻮﺭﻮ
Kaidah ke-5 : bila
suku terakhir berbunyi “wa”, ditulis dengan huruf wau (ﻮ ) dan alif (ﺍ).
Contoh :
de-wa :
ﺪ
ﻴﻮﺍ
bah-wa : ﺒﻬﻮﺍ
ke-ce-wa :
ﮐﭽﻴﻮﺍ
ji-wa : ﺟﻴﻮﺍ
Si-wa :
ﺴﻴﻮﺍ
Kaidah ke-6 : bila huruf awal pada suku kata
pertama terdiri dari vokal, maka :
a)
Kalau
vokal itu terus diikuti dengan konsonan, maka dituliskan alif saja.
Contoh :
an-tar : ﺍﻧﺗﺭ
in-tan : ﺍﻧﺗﻦ
un-tung : ﺍﻧﺗﻊ
un-ta : ﺍﻧﺖ
en-teng : ﺍﻧﺗﻊ
b)
Kalau
suku kata pertama itu berbunyi “a” saja ditulis dengan alif. Contoh :
a- bang : ﺍﺒﻊ
a-man : ﺍﻤﻦ
a.
Kalau
suku kata pertama berbunyi ”i” atau “e” ditulis dengan huruf alif dan yak.
Contoh :
i-par : ﺍﻴﻓﺭ
e-dar : ﺍﻴﺪ ﺭ
(ni-lai) :
ﻧﻴﻟﻲ
b.
Kalau
suku kata pertama berbunyi “o” dan “u” ditulis dengan alif dan wau.
u-bah : ﺍﻮﺒﻪ
o-bat : ﺍﻮﺒﺖ
Kaidah ke-7 : bila
suku kata satu dengan yang lain berbentuk “a-i” dan tanda hamzah di atas wau
sesudah alif saksi untuk bentuk “a-u”.
Contoh :
ka-il : ﮐﺎﻳﻞ
sa-ing : ﺳﺎﻳﻊ
sa-uh : ﺳﺎﺆﻩ
ma-u : ﻣﺎﺆ
Kaidah ke-8 : bila suku kata satu dengan yang lain berbentuk “i-a”, maka
penulisannya dengan cara menghubungkan huruf yak dengan huruf sesudahnya (atau
boleh dengan memberikan tanda alif gantung di atas yak).
Contoh :
di-an : ﺪ ﻳﻦ atau ﺪ ﻳﻦ
ki-an : ﮐﻳﻦ atau ﮐﻳﻦ
Kaidah ke-9 : bentuk
“u-a” harus dinyatakan dengan huruf alif sesudah huruf wau.
Contoh :
bu-at : ﺒﻮﺍﺕ
tu-an : ﺗﻮﺍﻦ
Kaidah ke-10 : bentuk
“i-u” dinyatakan dengan memberikan huruf wau sesudah yak,.
Contoh :
li-ur : ﻠﻳﻮﺮ
be-li-ung : ﺒﻠﻳﻮﻉ
nyi-ur :
ﭘﻳﻮﺮ
Kaidah ke-11 : bentuk
“u-i” dinyatakan dengan huruf wau dan yak.
Contoh :
ku-il : ﮐﻮ ﻳﻞ
bu-ih : ﺒﻮ ﻳﻪ
pu-ing :
ﻓﻮ ﻳﻊ
Bentuk
“o-i” juga dapat memakai cara tersebut, misal :
bo-ing : ﺒﻮ ﻳﻊ
Kaidah ke-12 : Awalan
me, ber, per, pe, ter, di, se, ke, ku, dan kau tidak menimbulkan perubahan
ejaan, penulisannya dengan merangkaikan saja. Untuk awalan se, ke, dank u, bila
dirangkaikan dengan sesuatu kata yang diawali oleh vokal penulisannya dengan
cara menambahkan atau menggantikan alif dengan hamzah.
Contoh :
mengambil : ﻤﻌﻣﺒﻞ
berbunyi : ﺒﺮ ﺒﻮ ﭘﻲ
perkasa :
ﻓﺮ
ﮐﺎ ﺲ
pedagang : ﻓﺪﺍ ﮐﻊ
terlepas :
ﺗﺮﻠﻔﺲ
didera : ﺪ ﺪ ﺮﺍ






Kaidah ke-13 : partikel lah, kah, tah dan pun penulisannya tidak mengubah
ejaan (tinggal merangkaikan).
Contoh :
baca-lah : ﺑﺎ
ﭽﻠﻪ
makan-kah : ﻣﮑﻧﮑﻪ
apa-tah : ﺍﻓﺗﻪ
bunyi-pun : ﺑﻮﭘﻴﻓﻮﻥ
Penulisannya “pun” tidak mengikuti kaidah ke-1 yaitu (ﻓﻥ ) melainkan dengan ditambahkan wau saksi (ﻓﻮﻥ ), penulisan partikel ini mengalami perkecualian.
Kaidah
ke-14 : tentang bentuk (klitik) kan, ku, mu, dan nya.
1)
Bila
suku kata terakhir diawali dan diakhiri oleh konsonan, maka penulisannya tidak
mengalami perubahan ejaan.
Contoh :
ta-nam : ﺗﺎ ﻧﻢ tanamkan : ﺗﺎﻧﻣﮑﻥ
ram-but : ﺮﻤﺑﺖ rambutmu :ﺮﻤﺑﺗﻤﻮ
2)
Suku
kata terakhir berbunyi “ai” dan “au” tidak mengalami perubahan ejaan.
Contoh :
tu-pai : ﺗﻮﻓﻲ tupaiku : ﺗﻮﻓﻴﮑﻮ
ker-bau: ﮐﺮﺑﻮ kerbaunya :ﮐﺮﺑﻮﺙ
3)
Suku
terakhir terdapat sebuah vokal, perangkaian dengan akhiran itu mengubah ejaan.
Contoh :
bu-ku : ﺑﻮﮐﻮ bukumu : ﺑﮐﻮﻤﻮ
ha-ti : ﻫﺎﺗﻲ hatinya :ﻫﺗﻴﺙ
Kata yang sudah berakhiran an,
i, dan kan tidak mengalami perubahan ejaan jika dirangkaikan dengan imbuhan yan
lain.
Contoh :
pergaulan-nya : ﻓﺮﮐﺎﺅﻟﻧﺙ
menjalani-nya : ﻤﻧﺠﻼ ﻧﻴﺙ
perkataan-mu : ﻓﺮﮐﺗﺄ ﻧﻤﻮ
Kaidah ke-15 : perihal akhiran an dan i.
1)
Kata
yang huruf terakhirnya konsonan berubah ejaan.
Contoh :



2)
Kata
yang huruf terakhirnya terdiri dari ﺍperubahan
ejaan, dan penulisannya disertai dengan huruf hamzah.
Contoh :
su-ka : ﺳﻮﮎ kesuka-an :
ﮐﺳﮑﺄﻥ
lu-pa : ﻟﻮﻒ kelupa-an : ﮐﻠﻔﺄﻥ
3)
a.
Kata yang huruf terakhirnya terdiri dari
vokal “u” mengalami perubahan ejaan dan penulisannya disertai dengan penambahan
huruf alif.
Contoh :
ra-mu :
ﺭﺍﻣﻮ — ramu-an : ﺭﻣﻮﺍﻥ
b. Akhiran i merubah ejaan bila disambung dengan
vokal “u”, penulisannya
dirangkaikan saja.
Contoh :
ra-mu : ﺭﺍﻣﻮ — ramu-i :
ﺭﻣﻮﻱ
4)
Vokal
“i” bersambung dengan akhiran an mengubah ejaan, penulisannya dengan cara
merangkaikan saja atau dengan menambah alif gantung.
Contoh :
duri : ﺪﻮﺭﻱ — durian : ﺪ ﺭﻴﻥ
gali : ﮐﺎﻠﻲ — galian : ﮐﻠﻴﻥ
5)
Akhiran
an dan i mengubah ejaan bila disambung dengan diftong ai dan au, tetapi
penulisannya ke dalam huruf Melayu a dan i, a dan u dipisahkan menjadi suku
baru.
Contoh :
Pakai : ﻔﺎﮐﻲ — pakaian : ﻓﮑﺎﻴﻥ
Lampau : ﻠﻣﻔﻮ —kelampauan :ﮐﻠﻣﻔﺎﻮﻥ
(ke-lam-pa-uan) lampaui :
ﻠﻣﻔﺎﻮﻱ (lam-pa-ui)
6)
Akhiran
an dan i tidak mengubah ejaan bila suku kata satu dengan yang lain vokal : a/u
atau a/i atau yang memakai hamzah.
Contoh :
Laut : ﻻﺆﺖ lautan : ﻻﺆﺘﻥ
Kail : ﮐﺎﻴﻞ kaili : ﮐﺎﻴﻠﻲ
Catatan :
Huruf p kadang-kadang ditulis (ﻒ ) atau ( ﻒ
)
Huruf g kadang-kadang ditulis ( ﮎ
) atau ( ﮎ )
Bunyi ny kadang-kadang ditulis (ﺚ ) atau (ﭗ )
“Perhatikan penjelasan pada waktu
perkuliahan.”
RANGKUMAN
1.
Setiap
suku kata yang diawali dan diakhiri oleh konsonan, cukup dituliskan konsonannya
(tidak diberi saksi).
2.
Suku
kata kedua dari belakang hidup berbunyi “a”, mendapat saksi alif (ﺍ ), tetapi suku
kata pertama dari belakang hidup berbunyi “a” tidak mendapat saksi.
3.
Suku
kedua dari belakang hidup berbunyi “e” dan suku pertama dari belakang berbunyi
“a”, maka suku kesatu dari belakang mendapat alif saksi.
4.
Bila
suku pertama dan kedua terdiri dari vokal i, e dan ai, maka huruf atau konsonan
Arab itu diberi saksi “yak” (ﻱ
).
5.
Bila
suku pertama dan atau kedua hidup berbunyi “o”, “u” dan “au” ditulis dengan
“wau” (ﻮ ) saksi.
6.
Bila
suku terakhir berbunyi “wa”, ditulis dengan huruf wau (ﻮ
) dan alif (ﺍ ).
7.
Suku
kata pertama terdiri dari vokal “a” ditulis dengan alif.
8.
Suku
kata pertama terdiri dari vokal “i” dan
“e” ditulis dengan alif dan yak.
9.
Suku
kata pertama terdiri dari vokal “u” dan “o” ditulis dengan alif dan wau.
10.
Bila
suku kata satu dengan yang lain berbentuk “a-i” atau “a-u”, maka untuk “a-i”
ditulis dengan alif dan hamzah di atas yak; bentuk “au” ditulis dengan alif dan
hamzah di atas wau.
11.
Suku
kata satu dengan yang lain berbentuk “i-a” maka penulisannya dengan cara
menggabungkan yak dengan konsonan berikutnya atau diperjelas dengan alif
gantung di atas yak.
12.
Bentuk
“u-a” dituliskan dengan huruf wau dan alif, dan bentuk “i-u” dituliskan dengan
huruf yak dan wau.
13.
Bentuk
“u-i” dan “o-i” dituliskan dengan wau dan yak.
14.
Awalan
me, ber, per, pe, ter, di, se, ke, ku, dan kau tidak menimbulkan perubahan
ejaan, sedangkan untuk awalan se, ke, dan ku bila dirangkaikan dengan sesuatu
kata yang diawali oleh vokal penulisannya dengan cara menambahkan atau
menggantikan alif dengan hamzah.
15.
Partikel
lah, kah, tah, dan pun penulisannya tidak mengubah ejaan.
16.
Penulisan
akhiran kan, ku, mu, dan nya tidak mengalami perubahan ejaan bila : diawali dan
diakhiri dengan konsonan ; suku kata terakhir berbunyi ai dan au ; suku kedua
dari belakang terdiri dari vokal ; dan kata dasar yang sudah berakhiran an dan
i.
BAB II
PENGUASAAN KATA-KATA ARAB
MELAYU
Tujuan
Umum
Agar mahasiswa dapat menguasai penulisannya dan
pembacaan teks Arab Melayu.
Sasaran
Belajar (SASBEL)
1.
Mahasiswa
dapat menjelaskan tata cara penulisan kata-kata Arab Melayu.
2.
Mahasiswa
dapat membuat transliterasi teks Arab Melayu.
3.
Mahasiswa
dapat menjelaskan isi teks Arab Melayu.
BAB II
PENGUASAAN KATA-KATA ARAB MELAYU
Bacaan
pertama : penulisan suku kata yang diawali
dan diakhiri oleh konsonan— dan penggunaan alif saksi.
ﺮﺪﺍ ﺍﻴﻡ ﻤﻠﺲ ﺑﻧﺠﺮ
ﺪﺭﺍ ﺍﺭﻩ ﺗﺎ ﻠﻡ ﺗﻤﺑﻞ
ﻠﮑﺎ ﺍﺴﻪ ﺗﺎ
ﻧﻡ ﺗﻤﻔﺭ
ﺟﺭﺍ ﺍﺑﻊ ﻔﺎ
ﺪ ﻡ ﺴﻧﺗﻥ
ﺑﺭﺑﺎﺭﻉ ﺍﺴﻡ ﻻ
ﻟﺖ ﺪ ﻧﺪﻉ
ﻣﻣﺎﺴﻊ ﺍﻧﻡ ﻗﺎﺪﻉ ﺗﻧﺪ
ﻖ
ﺗﺭﺍﺗﺭ ﺍﻧﺗﻪ ﻗﺎﺴﻊ ﻗﻧﺗﻊ
ﺍﻧﺪ ﺭﺍ ﺍﻣﺒﻥ ﻣﺎﻫﺭ ﺪ ﻧﺪ ﻥ
ﺒﻬﺗﺭﺍ ﺍﺭﺖ ﺒﺎﺗﺲ ﺒﻣﺒﻊ
ﺗﻧﺗﺭﺍ ﺍﺴﺎ ﻫﺎﺒﺲ ﺗﺭﺒﻊ
Bacaan
Kedua : penggunaan wau saksi.
ﺪ ﺭﻮ ﻣﻠﻮﻠﻮ ﮐﻣﻮﻧﻊ ﺒﻮﮎ
ﺗﺒﻮ ﻣﻣﺒﻮﺭﻮ ﻣﻧﻮﺭﺕ ﺒﺗﻮ
ﺴﺭﻮ ﻣﻧﻮﺟﻮ ﺪ ﺴﻮﺴﻦ ﺒﻮﮐﻮ
ﻣﻮﺪ ﻩ ﺪﻫﻮﻟﻮ ﺪ ﺭﻮﻣﻪ ﻫﻮﺗﻦ
ﻣﻌﻮﺭﺲ ﺗﺭﺒﻮﺭﻮ ﺒﮑﻮ ﺒﻟﻮﮐﺭ
Bacaan
Ketiga : penggunaan yak saksi.
ﺴﺒﺎ ﮐﻲ ﺪﻱ ﺍﻴﺭ ﻤﺎ ﺭﻱ
ﺒﺎ ﺪﻱ ﺪﺍﻤﻲ ﮐﺎ ﻴﻞ ﻤﺎ
ﺭﻴﻟﻪ
ﮐﻮﺍ ﻟﻲ ﻗﻧﺪﻱ ﻤﻧﺎ ﺆﻏﻲ ﺒﻴﻞ
ﻗﻳﺎ ﺮ ﻟﻧﺗﻲ ﻤﺮﺍ ﺅﺗﺊ ﺒﻳﻟﮑﻪ
ﺗﻳﺎﺪ ﺴﻤﻗﻲ ﻗﺮﻤﺎﻳﻧﻦ ﻻ
ﻳﻦ
ﮐﺎ ﻳﺗﻦ ﻤﻮﺮﻱ ﺪ ﻠﮑﺎ ﻳﺚ ﺪ
ﻧﻤﺎ ﻳﺚ
ﻗﺮﺗﻧﺪ ﻳﻌﻦ ﻤﺮﺍ ﻤﻲ ﺪ ﮐﺗﺎﻳﺚ ﻤﻧﻤﺎﺌﻲ
ﮐﺮﻤﺎﻳﻦ ﻤﺮﺍﺟﻲ ﺒﺎﻳﮏ ﺪ
ﻧﻤﺎ ﻳﺚ
ﻤﻼ ﺌﻲ ﺒﻟﻳﻮ ﺗﻳﻊ ﺒﺮﻻ
ﻳﻧﻦ
ﻤﻤﻗﺮﭽﻳﺎﺌﻲ ﻫﺮﻳﻤﻮ ﺗﻳﻒ ﺪ ﻤﻼ ﻳﺚ
ﺪ ﺮﻳﮑﻮ ﺪ ﻳﺮﻱ
Bacaan
Keempat : penggunaan huruf kaf, qaf, dan
hamzah sebagai penanda bunyi “k”.
ﻤﻟﺗﻗﮑﻦ ﺪ ﻮﺪ ﺆ ﺳﮑﺲ ﺳﻗﺳﻲ
ﻤﻧﮑﻗﮑﻦ ﭽﻴﺮﻱ ﺗﻴﺗﮏ ﺪ ﻗﺗﺮ
ﻤﻤﺒﻴﻠﺆﮐﻦ/ ﮐﻴﻠﺆ ﺴﮑﺗﺮ
ﻗﻧﺪ ﻖ/ ﻗﻧﺪ ﺆ
ﻤﻤﺒﻴﻠﻗﮑﻦ ﻤﻤﺒﺎ ﻠﮏ ﻧﻴﻧﻴﮏ/ ﻧﻴﻧﻲ ﺳﻗﻢ
ﻤﻤﺒﺎﻠﮑﮑﻦ/ ﻻ ﮐﺄ ﻠﻧﺪ ﻖ/ ﻠﻧﺪﺃ ﺒﺎﺗﻖ
ﻤﻤﺒﺎﻠﻴﮑﻦ ﺒﺮﮐﻮﮐﺆ ﮐﺎﺗﻖ/ ﮐﺎﺗﺄ ﺪ ﻗﺗﺕ
ﻤﻧﻴﺗﻴﮑﻦ/ ﻟﺗﺄ ﻤﻮﻟﮏ/ ﻤﻮﻟﻲ ﻤﻮﺪﻖ
ﻤﻧﻴﺗﮑﮑﻦ
Bacaan
Kelima : penggunaan kata ulang dan kata
majemuk.
ﻤﺗﻬﺎﺭﻱ ﺒﺭﮐﺠﺭ ﺭﻦ
ﺠﺭﺗﻮﻠﺲ ﺒﺭﻠﻤﻗﺖ ﺗﻦ
ﺒﮑﻳﻤﺎﻦ ﺒﻮﺍﻩ ﻫﻦ
ﺒﺭﻏﮑﺎﻟﻲ ﺒﺭﺴﻮﺍ ﻖ ﻗﻦ
ﻗﺭﺒﮑﺎﻞ ﻣﺎﺖ ﺌﻲ
ﺒﺎﺗﻮﺗﻮﻟﺲ ﺭﻮﻖ ﺚ
ﺒﺳﺭﮐﻗﺎﻞ ﺒﺭﻻﺭﻱ ﻳﻦ
ﺭﻮﻣﻪ ﻣﺎﮐﻦ ﮐﻮﺪﺍ ﻣﻮ
ﻗﻮﺗﻪ
ﮐﻮﻧﻎ ﮐﺑﻳﺭﻮ ﻮﻦ
LATIHAN I
Tuliskan kata-kata di bawah ini :
1.
batas
mahir tangis
marah taruh habis
memasang menanam berbaring
atas arah asah
enam entah embun
berangin terasah teratur
2.
tera esa kena
dera reda tega
kera jera lega
indera mantera bahtera
tentara semena duta
3.
bisa itik melihat
sisa beri bohong
itu delima toko
mengira besi terdorong
ini isap menolong
beli seni menggalang
4.
hendak
merusak duduk
tusuk mengusik rokok
cerdik membalik juluk
belok berkokok belok
biduk merokok kelok
usik tak titik
batuk bapak bilik
tabuk lagak mudik
korok tekak tarik
musik letak lurik
5.
bau lautan buah
daun kehausan tuan
haus menaungi tiang
baur merauti tiap
kait dilukainya dia
air dinamainya dia
kail berlainan tua
sais dikatainya dua
6.
gua perbuatan
kira-kira
ruas rahasia merah muda
sekian berpuasa putih bersih
perbuatan kalau perbandingan
tuang kacau rumah makan juang jikalau sopir mobil sekalian menuju istimewa muda menurut belukar
LATIHAN
II
1.
Transliterasikan
teks berikut ini :
ﺪﻏﻦﺍﺧﻼ
ﺺ ﺴﺎﻯ ﻤﻤﺑﺭﻳﮑﻦ ﻓﻄﺭﻩ ﮐﻔﺪ ﻓﻗﻳﺭﻤﺳﮑﻳﻦ -
ﺳﺑﺐ
ﺳﺎﮐﺖ, ﻧﻖﺍﻳﺖ ﺗﺄ ﺪﺍﻗﺖ ﺤﺎ ﻀﺭ -
ﺳﺆﺭﻍ
ﮐﻭﺭﻭﻫﺎﺭﺲ ﺒﺭﻻ ﮐﻭﻋﺎﺪ ﻞ ﮐﻔﺪ ﻣﻭﺭﺪ ﺙ -
ﺪﻏﻥ
ﺳﮑﺭﺍ ﮐﺎﻣﻲ ﻗﺭﮐﻲ ﮐﻗﻟﺒﻭﻫﻥ ﻣﻧﭽﺎﺭﻱ ﮐﺎ ﻗﻞ ﮐﺎﻣﻲ -
ﺴﺗﻟﻪ
ﺑﺎﺭﻍ ﮐﺎﻣﻲ ﺩ ﻧﺎﻳﮑﮑﻦ ﮐﺄ ﺗﺲ, ﺑﻬﺎﺭﻮﮐﺎﻣﻲ
ﻧﺎﻳﮏ -
ﻮﻗﺖ
ﺴﺎﻱ ﻣﻟﻳﻬﺖ ﺑﺭﻳﺑﻮﺍ ﻟﻣﻐﻮ ﻳﻎ ﺗﺭﻍ ﺍﻳﺖ
ﺗﺭﭽﻐﻐﻟﻪ ﺴﺎﻱ -
ﺒﻮﺍﻩ ﻫﻥ ﺪﺍﻧﺪ ﻮﻧﺴﻲ ﺍﻳﻥ ﺒﺮﺍﻧﮏ ﻮﺮﻥ -
ﺴﺒﻟﻢ
ﻣﺗﻬﺎﺮﻱ ﺗﺮﺒﺖ ﺗﺮﺪﻏﺮﺍﻮﺮﻍ ﺍﺫﺍﻥ ﺪ ﻣﺴﺠﺪ -
ﺗﻴﻖ ﺍﻱ ﻣﻧﺪﺍﻗﺖ ﺮﺯﻗﻰ ﻣﻐﻮﭽﻖ ﺷﮑﻮﺮﮐﻔﺪ ﺗﻮﻫﻥ -
ﮐﺗﻳﮏ ﺒﻳﺖ ﻤﻤﺒﻮﮎ ﺟﻧﺪ ﻳﻞ ﺗﺭﺴﻧﺗﻬﻠﻪ ﻗﻮﭽﻖ ﮐﻤﺒﻎ ﻗﻐﻧﺗﻦ
-
ﮐﺎﺏ ﺴﺪﻩ ﺗﺮﻓﺎﺴﻎ - ﮐﺎﺌﻦ ﺒﻮﮐﺲ ﺗﮑﻪ ﺴﮑﺎﻟﻲ -
ﻣﺎﻫﻞ
ﺗﻣﺒﺎﮎ ﺪ ﺮﻓﺪ ﺗﻳﻣﻪ - ﺒﺮﺍﻓﮑﻪﻫﺮﮎ ﺳﺗﺮﺍ ﺍﻳﺖ -
2.
Bacalah
teks berikut ini :
ﺍﻧﺼﺎﻒ ...!
ﺳﺗﻟﻪ ﺳﻤﻗﻲ ﺪﺍﻜﻮﺪ ﻗﻧﭽﻖ ﻜﻮﻧﻎ ﺣﻴﺎﺓ ﺪﻏﻥ ﻜﺴﻐﮑﻮﻫﻥ ﻫﺗﻴﮑﻮ ﻤﻧﺪﺍ ﻜﻲ ﺒﻮﻜﺖ ﻴﻎ ﺒﺮﻻ ﺛﺲ ﺪﺍﻥ ﻤﻧﻮﺮﻧﯽ ﻟﻤﺒﻪ ﺪﺍﻥ ﻟﻮﺮﺓ ﺴﺮﺖ ﺴﺮﻮﮐﻦ
ﺍﻴﺮﻴﻎ ﺒﺮﺴﺮﺍﺴﻪ, ﺍﮐﻮﺒﻮﮐﻟﻪ ﻮﻓﺗﺮﻫﻴﺪ ﻓﮑﻮﺴﺮﺍﻱ ﮐﺒﺎﭺ ﺴﻬﻟﻲ ﻫﻼ ﻣﻦ ﻫﻳﺩ ﻒ ﻳﻎ ﺘﻟﻪ ﮐﺠﻼ ﻧﻰ.
ﺍﻧﺻﺎ ﻓﻟﻪ ﺍﮐﻭﺩ ﺭﻓﺩ ﺘﺭﻟﻳﻥ ﺴﻼ ﻢ ﺍﻳﻥ, ﺴﺴﺩﻩ ﺩ ﺑﻭﺍﻱ ﺩﺃ ﻳﻨﮑﻥ ﺍﻭﻟﻪ ﺍﻤﻔﻳﻥ ﻗﻨﺠﻎ ﺍﻏﻥ ﺩﺍﻥ
ﻗﻨﻪ ﺩﻏﻥ ﭽﻳﺖ ﻳﻎﻫﻤﻒ ﺒﻼ ﮎ ﺒﺭﻫﻨﺗﻳﻟﻪ ﺍﮐﻮﺪ ﺭﺒﺭﮐﻼ ﻦ ﻤﭘﺒﺭﺍ ﻏﻲ
ﺴﻤﺪ ﺭﺍ ﻳﻎ ﺒﺭﮐﻟﻤﺒﻎ ﻟﻮﺍﺱ, ﮐﻮﻗﻧﭽﻐﻟﻪ ﻗﻬﻡ ﺪ ﺭﺗﻘﻴﻦ ﮐﺎﺖ ﻟﻮﺑﻕ ﻫﺗﻴﮑﻮﺪﺍﻦ ﺪ ﺭﮐﻮﻟﻡ ﺭﻏﮏ
ﺪﺪﺍﮐﻮﻤﺎ ﮎ ﺗﺎﻫﻮﻟﻪ ﺍﮐﻮﺒﻬﻮﺍ ﺍﮐﻮﺗﻟﻪ ﺪﺍﻤﺒﻎ ﺍﻤﺒﻐﮑﻦ ﺍﻮﻟﻪ ﮐﻟﻤﺒﻎ ﻤﺎ ﺪ ﻮﺴﮑﺎ ﺭﺭﺍﻱ, ﺪ ﻗﻮﮐﻞ
ﻄﻮﻓﺎﻦ ﺒﺎﺪﻱ ﻫﻮﺍﺀ ﻧﻔﺲ ﺪﺍﻦ ﺪﻫﺎ ﭙﺘﮑﻦ ﺁﺮﺲ ﺘﻴﻒ ﻔﻮﺪﺍﻱ ﺪ ﻧﻴﺎ
(Iih. Aidit Rosadi, 1960 : 75)
LATIHAN
III
Transliterasikan teks berikut ini :

Disusun
oleh: Drs.Istadiyantha, M.S.
Fakultas
Sastra dan Seni Rupa UNS
2008
Bagikan
FILOLOGI
4/
5
Oleh
Admin
Terima Kasih