Opini Mahasiswa : PR Pemerintah Jambi,Selesaikan Konflik Agraria
![]() |
(Foto:ilustrasi) |
The Jambi Times - Opini - Berlarutnya konflik agraria yang terus menelan
korban jiwa, membuktikan bahwa pemerintah daerah dan pusat hingga
sekarang belum berkomitmen untuk menyelesaikan konflik agraria yang
terjadi di tanah air, tidak terkecuali di Propinsi Jambi.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang telah menginjak usia 55 tahun
terasa hanya sebuah peraturan yang dibuat untuk dilanggar. Sejak
diundangkan pada tanggal 24 September 1960, UUPA 1960 ditetapkan menjadi
Payung Hukum Agraria di Indonesia, tujuan diundangkannya UUPA
1960 yaitu untuk merombak ketidakadilan struktur agraria warisan kolonial.
Pembangunan di Propinsi Jambi memang berlangsung pesat tidak terkecuali
dalam sektor perekonomian. Kebijakan pemerintah membuka kran investasi
bagi perusahaan besar adalah satu bukti untuk mengembangkan sektor
perekonomian di Propinsi Jambi. Namun kadangkala tidak semua investasi
bagi perusahaan memberikan dampak positif bagi Masyarakat. Konflik
Agraria merupakan sebuah dampak dari Kebijakan pemerintah yang kurang
hati - hati dalam memutuskan sebuah kebijakan. Akibatnya, kini kualitas
kehidupan petani semakin menurun karena lahan
garapan semakin menyempit.
Sektor perkebunan dan infrastruktur merupakan dua sektor yang paling
banyak konfliknya di Indonesia. Disamping itu, konflik di kedua sektor
itu cenderung meningkat dengan tajam. Seperti dikutip dalam situs
inkrispena.org Selama 2012-2014, konflik di sektor perkebunan meningkat
sebanyak 95 konflik atau 105,6%, sementara konflik di sektor
infrastruktur meningkat sebanyak 155 konflik atau 258%.
Pada tahun 2012 dan 2013, perkebunan merupakan sektor yang konfliknya
pertama terbanyak. Namun, pada 2014, sektor yang konfliknya pertama
terbanyak adalah sektor infrastruktur dengan 215 konflik, sementara
sektor perkebunan ada di posisi kedua dengan 185 konflik. Adapun sektor
lainnya, seperti kehutanan, pertambangan dan pesisir/perairan, meski
konfliknya terus ada, tetapi jumlahnya cenderung fluktuatif.
Di Propinsi Jambi kondisinya tidak jauh berbeda dimana konflik agraria
akibat pembangunan infrastruktur dan perkebunan menjadi isu terhangat.
Konflik perampasan tanah (land grabbing) yang kian marak terjadi
akhir-akhir ini. Land Grabbing adalah muara dari berbagai konflik yang
lama terpendam. Berbagai konflik itu di akibatkan oleh praktik
perusahaan besar monopoli. Utamanya oleh perkebunan besar kelapa sawit,
HTI (Hutan Tanaman Industri) dan Tambang.
Akar berbagai konflik agraria di Jambi selama ini di latar belakangi
oleh berbagai hal. Seperti perampasan tanah, perebutan lahan, tumpang
tindih lahan dan berbagai konflik lainnya. Hampir setiap tahun terjadi
berbagai konflik antara Petani dan Perusahaan di banyak tempat. Kejadian
semacam ini merupakan manifestasi dari kekecewaan masyarakat terhadap
perilaku perusahaan besar nakal serta pengawasan pemerintah yang belum
maksimal.
Konflik agraria dan penguasaan sumberdaya alam tidak hanya mengakibatkan
tanah yang menjadi tumpuan hidup petani “terampas”. Disamping itu,
kadang kala terjadi kriminalisasi dan pengalihan isu yang cenderung
menggunakan pendekatan kekerasan. Sementara pemerintah seakan-akan
berpangku tangan dan lambat merespons untuk upaya penyelesaian.
Pemerintahan Desa dan lembaga adat desa seharusnya menjadi ujung tombak
dalam penyelesaian namun kadang kala tidak berdaya dalam menengahi
persoalan tersebut. Berbagai konflik agraria dan korban jiwa terus
berjatuhan sudah seharusnya ini menjadi prioritas pemerintah untuk lebih
jeli dan tegas dalam pengawasan serta hukum. Pekerjaan Rumah yang tidak
mudah bagi Pemimpin di Propinsi Jambi namun harus diselesaikan. Bahkan
akan lebih bijaksana bila pemerintah berani menindak tegas
perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM dan tindakan
kekerasan lainnya terhadap masyarakat di Propinsi Jambi.
Ditulis Oleh : Slamet Setya Budi
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo
Bagikan
4/
5
Oleh
Admin
Terima Kasih