Opini Mahasiswa : PR Pemerintah Jambi,Selesaikan Konflik Agraria




(Foto:ilustrasi)
The Jambi Times - Opini - Berlarutnya konflik agraria yang terus menelan korban jiwa, membuktikan bahwa pemerintah daerah dan pusat hingga sekarang belum berkomitmen untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di tanah air, tidak terkecuali di Propinsi Jambi.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang telah menginjak usia 55 tahun terasa hanya sebuah peraturan yang dibuat untuk dilanggar. Sejak diundangkan pada tanggal 24 September 1960, UUPA 1960 ditetapkan menjadi Payung Hukum Agraria di Indonesia, tujuan diundangkannya UUPA
1960 yaitu untuk merombak ketidakadilan struktur agraria warisan kolonial.
Pembangunan di Propinsi Jambi memang berlangsung pesat tidak terkecuali dalam sektor perekonomian. Kebijakan pemerintah membuka kran investasi bagi perusahaan besar adalah satu bukti untuk mengembangkan sektor perekonomian di Propinsi Jambi. Namun kadangkala tidak semua investasi bagi perusahaan memberikan dampak positif bagi Masyarakat. Konflik Agraria merupakan sebuah dampak dari Kebijakan pemerintah yang kurang hati - hati dalam memutuskan sebuah kebijakan. Akibatnya, kini kualitas kehidupan petani semakin menurun karena lahan
garapan semakin menyempit.
Sektor perkebunan dan infrastruktur merupakan dua sektor yang paling banyak konfliknya di Indonesia. Disamping itu, konflik di kedua sektor itu cenderung meningkat dengan tajam. Seperti dikutip dalam situs inkrispena.org Selama 2012-2014, konflik di sektor perkebunan meningkat sebanyak 95 konflik atau 105,6%, sementara konflik di sektor infrastruktur meningkat sebanyak 155 konflik atau 258%.
Pada tahun 2012 dan 2013, perkebunan merupakan sektor yang konfliknya pertama terbanyak. Namun, pada 2014, sektor yang konfliknya pertama terbanyak adalah sektor infrastruktur dengan 215 konflik, sementara sektor perkebunan ada di posisi kedua dengan 185 konflik. Adapun sektor lainnya, seperti kehutanan, pertambangan dan pesisir/perairan, meski konfliknya terus ada, tetapi jumlahnya cenderung fluktuatif.
Di Propinsi Jambi kondisinya tidak jauh berbeda dimana konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur dan perkebunan menjadi isu terhangat. Konflik perampasan tanah (land grabbing) yang kian marak terjadi akhir-akhir ini. Land Grabbing adalah muara dari berbagai konflik yang lama terpendam. Berbagai konflik itu di akibatkan oleh praktik perusahaan besar monopoli. Utamanya oleh perkebunan besar kelapa sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri) dan Tambang.
Akar berbagai konflik agraria di Jambi selama ini di latar belakangi oleh berbagai hal. Seperti perampasan tanah, perebutan lahan, tumpang tindih lahan dan berbagai konflik lainnya. Hampir setiap tahun terjadi berbagai konflik antara Petani dan Perusahaan di banyak tempat. Kejadian semacam ini merupakan manifestasi dari kekecewaan masyarakat terhadap perilaku perusahaan besar nakal serta pengawasan pemerintah yang belum maksimal.
Konflik agraria dan penguasaan sumberdaya alam tidak hanya mengakibatkan tanah yang menjadi tumpuan hidup petani “terampas”. Disamping itu, kadang kala terjadi kriminalisasi dan pengalihan isu yang cenderung menggunakan pendekatan kekerasan. Sementara pemerintah seakan-akan berpangku tangan dan lambat merespons untuk upaya penyelesaian.
Pemerintahan Desa dan lembaga adat desa seharusnya menjadi ujung tombak dalam penyelesaian namun kadang kala tidak berdaya dalam menengahi persoalan tersebut. Berbagai konflik agraria dan korban jiwa terus berjatuhan sudah seharusnya ini menjadi prioritas pemerintah untuk lebih jeli dan tegas dalam pengawasan serta hukum. Pekerjaan Rumah yang tidak mudah bagi Pemimpin di Propinsi Jambi namun harus diselesaikan. Bahkan akan lebih bijaksana bila pemerintah berani menindak tegas perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan lainnya terhadap masyarakat di Propinsi Jambi.
 Ditulis Oleh : Slamet Setya Budi
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo
Baca selengkapnya

Posted on Monday, 20 July 2015 | garis 05:48

Muslimedianews.com ~

Oleh: Slamet Setya Budi*


Kabupaten Tolikara yang terletak di Provinsi Papua sesaat meledak menjadi buah bibir dan menyita perhatian masyarakat di Indonesia bahkan Dunia. Sesaat predikat Indonesia yang dikenal dimata dunia atas Kerukunan Umat Beragamanya mulai luntur akibat konflik antara Agama Minoritas dan Agama Mayoritas di Kabupaten Tolikara. 17 Juli 2015 menjadi tragedi yang menyayat hati Umat Islam, dimana Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia walaupun menjadi minoritas di Tolikara.

Berbondong - bondong media menyorot tragedi ini walaupun kadang kala berita yang disampaikan masih simpang siur. Mendengar kejadian tersebut JK notabene Wapres RI menyataan konflik tersebut diakibatkan oleh Pengeras Suara. Orang nomor dua di Indonesia ini dianggap melakukan pernyataan yang tidak sesuai dengan realita.

Pernyataan dari Pak JK mendapat bantahan dari berbagai pihak setelah beredar Surat dari GIDI (Gereja Injil Di Indonesia) wilayah Tolikara tertanggal 11 Juli 2015 lengkap dengan kop surat, stempel, serta tandatangan Ketua dan Sekretarisnya di Dunia Maya. Surat tersebut disampaikan juga kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD, Kepolisian Resor Tolikara, Komando Rayon Militer TNI. Adapun isi dari Surat tersebut Pemberitahuan bahwa mereka mengadakan seminar dan KKR Pemuda GIDI yg (menurutnya) tingkat Internasional, Pelarangan kegiatan hari raya Idul Fitri (takbir dan shalat Ied) di seluruh wilayah Kab. Tolikara, Jika umat Islam tetap ingin merayakan hari raya Idul Fitri, hendaklah merayakannya di luar Kab. Tolikara, Pelarangan penggunaan jilbab, Bahwa GIDI melarang pendirian tempat ibadah selain mereka, termasuk aliran Kristen yg lain (Katholik dan Protestan lainnya).

Surat tersebut dituding menjadi penyebab adanya Konflik di Tolikara. Namun adanya pernyataan mengenai Kelalaian aparat menjadi tambahnya kisruh di Tolikara. Konflik ini seharusnya dapat diantisipasi jika sosialisasi dan toleransi terus dijalankan. Konflik ini meluas dan saling menyalahkan bahkan BIN (Badan Intelijen Negara) dituding menjadi garda terdepan dalam kelalaian mengantisipasi Konflik di Tolikara. Umat muslim di Indonesia sudah terlanjur tersayat hatinya dan mengecam kejadian tersebut. Walaupun di akhir paragraf tercantum larangan kepada umat beragama lainnya namun meletusnya konflik dengan Umat Muslim membuat konflik ini membesar. Dikhawatirkan kejadian ini akan menjadi konflik antar umat beragama yang meluas di seluruh Indonesia ataupun dimanfaatkan sebagai ajang politik. Untuk itu umat Islam seluruh Indonesia ataupun yang menjadi korban perlu adanya Intropeksi dan belajar dari masalah ini.

Islam Toleransi

Tersayatnya hati umat muslim dikarenakan kecintaan terhadap agama mereka. Karena rasa cinta itulah yang menyebabkan kita merasa sakit hati, tersulut emosi, dikhawatirkan menjadi tidak adil. Ditambah lagi, pemberitaan yang belum lengkap yang terus dikonsumsi tanpa melihat hasil nantinya menyebabkan rumitnya permasalahan ini.

Emosi karena kebencian yang terus disuarakan ditakutkan akan menyulutkan api - api kecil yang akan membesar di seluruh penjuru negeri. Bahkan dikhawatirkan memunculkan statemen yang mengatakan dan menghujat agama lain berasal dari kaum yang dibenci Allah. Sebagai umat muslim janganlah kita hanya memandang dari satu arah seperti mengharamkan toleransi sehingga kita memeranginya hanya karena ada ayat yang berbunyi " Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka " (QS Al - Baqarah :120). Kebencian timbul biasanya disebabkan karena ketidakadilan baik oleh umat lain, pemerintah, LSM, pemberitaan, dll. Sehingga kadangkala kita menuntut hal tersebut bahkan berlaku tidak adil juga bahkan sampai melarangnya padahal ada ayat yang menyatakan "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah! karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al - Maidah :8).

Kita sebagai umat muslim juga harus belajar memahami umat minoritas lainnya. Mungkin kadangkala mereka juga merasakan kepenatan yang sama. Untuk itu, kehidupan beragama perlu adanya toleransi, belajar merasa, dan berlaku adil terhadap sesama maupun umat lainnya. Memahami bahwa arti adil mendekati dengan Takwa maka Janji Allah bagi umatnya adalah “Kalau seandainya penduduk-penduduk negeri tersebut mau beriman dan bertaqwa kepada Allah maka pasti Kami akan bukakan untuk mereka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi” (QS. Al - Araf : 96). Umat muslim harus  kembali memahami dan menerapkan syariat Islam Kaffah seperti Rasulullah dan para sahabat beliau menerapkanya Dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jangan hanya karena tragedi Tolikara kita menjadi buta mata dan melakukan Jihad dan Perang terhadap umat lain. Jika kita menuruti ego masing - masing maka setiap ada Agama atau Kaum yang merasa terganggu maka akan melakukan hal yang sama akibat tidak adanya keadilan. Karena Al - Qur'an memang telah memerintahkan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.

Sesuai dengan perintah tersebut juga menerangkan jalannya. Jika terjadi hal yang tidak baik maka bantahlah dengan jalan yang baik seperti yang diterangkan dalam QS. An - Nahl : 125 " Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik ". Untuk itu petiklah pelajaran berharga dalam menyikapi Tragedi di Tolikara dan mulailah ciptakan Toleransi antar umat beragama. Perang terbesar adalah melawan diri sendiri Jihad utama adalah melawan amarah. Islam yang dicintai Allah adalah "Al-Hanifiyyah As-Samhah - Islam Yang Toleran". Sehingga kita harus saling kenal mengenal, memahami, serta memiliki sifat toleransi terhadap suku - suku dan bangsa - bangsa.

*Slamet Setya Budi
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2015/07/berkaca-dari-tragedi-tolikara.html#ixzz3k4s5P0Ht

 

 

Berkaca Dari Tragedi Tolikara



(Foto:Ist)
Kabupaten Tolikara yang terletak di Provinsi Papua sesaat meledak menjadi buah bibir dan menyita perhatian masyarakat di Indonesia bahkan Dunia. 
Sesaat predikat Indonesia yang dikenal dimata dunia atas Kerukunan Umat Beragamanya mulai luntur akibat konflik antara Agama Minoritas dan Agama Mayoritas di Kabupaten Tolikara. 17 Juli 2015 menjadi tragedi yang menyayat hati Umat Islam, dimana Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia walaupun menjadi minoritas di Tolikara.

Berbondong - bondong media menyorot tragedi ini walaupun kadang kala berita yang disampaikan masih simpang siur. Mendengar kejadian tersebut JK notabene Wapres RI menyataan konflik tersebut di akibatkan oleh Pengeras Suara. Orang nomor dua di Indonesia ini dianggap melakukan pernyataan yang tidak sesuai dengan realita.

Pernyataan dari Pak JK mendapat bantahan dari berbagai pihak setelah beredar Surat dari GIDI (Gereja Injil Di Indonesia) wilayah Tolikara tertanggal 11 Juli 2015 lengkap dengan kop surat, stempel, serta tandatangan Ketua dan Sekretarisnya di Dunia Maya. 
Surat tersebut disampaikan juga kepada Bupati Tolikara, Ketua DPRD, Kepolisian Resor Tolikara, Komando Rayon Militer TNI. 
Adapun isi dari Surat tersebut Pemberitahuan bahwa mereka mengadakan seminar dan KKR Pemuda GIDI yang (menurutnya) tingkat Internasional, Pelarangan kegiatan hari raya Idul Fitri (takbir dan shalat Ied) di seluruh wilayah Kab. Tolikara, Jika umat Islam tetap ingin merayakan hari raya Idul Fitri, hendaklah merayakannya di luar Kab. Tolikara, Pelarangan penggunaan jilbab, Bahwa GIDI melarang pendirian tempat ibadah selain mereka, termasuk aliran Kristen yg lain (Katholik dan Protestan lainnya).

Surat tersebut dituding menjadi penyebab adanya Konflik di Tolikara. Namun adanya pernyataan mengenai Kelalaian aparat menjadi tambahnya kisruh di Tolikara.
 Konflik ini seharusnya dapat diantisipasi jika sosialisasi dan toleransi terus dijalankan. Konflik ini meluas dan saling menyalahkan bahkan BIN (Badan Intelijen Negara) dituding menjadi garda terdepan dalam kelalaian mengantisipasi Konflik di Tolikara. Umat muslim di Indonesia sudah terlanjur tersayat hatinya dan mengecam kejadian tersebut.
 Walaupun di akhir paragraf tercantum larangan kepada umat beragama lainnya namun meletusnya konflik dengan Umat Muslim membuat konflik ini membesar. 
Dikhawatirkan kejadian ini akan menjadi konflik antar umat beragama yang meluas di seluruh Indonesia ataupun dimanfaatkan sebagai ajang politik. Untuk itu umat Islam seluruh Indonesia ataupun yang menjadi korban perlu adanya Intropeksi dan belajar dari masalah ini.

Islam Toleransi

Tersayatnya hati umat muslim dikarenakan kecintaan terhadap agama mereka. Karena rasa cinta itulah yang menyebabkan kita merasa sakit hati, tersulut emosi, dikhawatirkan menjadi tidak adil. Ditambah lagi, pemberitaan yang belum lengkap yang terus dikonsumsi tanpa melihat hasil nantinya menyebabkan rumitnya permasalahan ini.

Emosi karena kebencian yang terus disuarakan ditakutkan akan  menyulutkan api - api kecil yang akan membesar di seluruh penjuru negeri. Bahkan dikhawatirkan memunculkan statemen yang mengatakan dan menghujat agama lain berasal dari kaum yang dibenci Allah. 
Sebagai umat muslim janganlah kita hanya memandang dari satu arah seperti mengharamkan toleransi sehingga kita memeranginya hanya karena ada ayat yang berbunyi " Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka " (QS Al - Baqarah :120). Kebencian timbul biasanya disebabkan karena ketidakadilan baik oleh umat lain, pemerintah, LSM, pemberitaan, dll. 
Sehingga kadangkala kita menuntut hal tersebut bahkan berlaku tidak adil juga bahkan sampai melarangnya padahal ada ayat yang menyatakan "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah! karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al - Maidah :8). 
Kita sebagai umat muslim juga harus belajar memahami umat minoritas lainnya. Mungkin kadangkala mereka juga merasakan kepenatan yang sama. Untuk itu, kehidupan beragama perlu adanya toleransi, belajar merasa, dan berlaku adil terhadap sesama maupun umat lainnya.
 Memahami bahwa arti adil mendekati dengan Takwa maka Janji Allah bagi umatnya adalah “Kalau seandainya penduduk-penduduk negeri tersebut mau beriman dan bertaqwa kepada Allah maka pasti Kami akan bukakan untuk mereka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi” (QS. Al - Araf : 96). Umat muslim harus kembali memahami dan menerapkan syariat Islam Kaffah seperti Rasulullah dan para sahabat beliau menerapkanya Dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Jangan hanya karena tragedi Tolikara kita menjadi buta mata dan melakukan Jihad dan Perang terhadap umat lain.
 Jika kita menuruti ego masing - masing maka setiap ada Agama atau Kaum yang merasa terganggu maka akan melakukan hal yang sama akibat tidak adanya keadilan. Karena Al - Qur'an memang telah memerintahkan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar. Sesuai dengan perintah tersebut juga menerangkan jalannya. 
Jika terjadi hal yang tidak baik maka bantahlah dengan jalan yang baik seperti yang diterangkan dalam QS. An - Nahl : 125 " Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik ". Untuk itu petiklah pelajaran berharga dalam menyikapi Tragedi di Tolikara dan mulailah ciptakan Toleransi antar umat beragama. 
Perang terbesar adalah melawan diri sendiri Jihad utama adalah melawan amarah. Islam yang dicintai Allah adalah "Al-Hanifiyyah As-Samhah - Islam Yang Toleran". 
Sehingga kita harus saling kenal mengenal, memahami, serta memiliki sifat toleransi terhadap suku - suku dan bangsa - bangsa.
 Ditulis Oleh : Slamet Setya Budi
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo
Baca selengkapnya

TANTANGAN MEA, SASTRA DAN BAHASA JANGAN HILANG

F-Slamet Setya Budi
Ditulis Oleh  : Slamet Setya Budi Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Muara Bungo

METROBUTE.COM- Masyarakat Ekonomi Asean tinggal menghitung hari sudah siapkah kita.Sebuah permasalahan besar bagi masyarakat yang belum siap akan adanya Masyarakat Ekonomi Asean atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Bebas Asean. Permasalahan terus melanda negeri ini mulai dari gonjang ganjing politik ditmbah aspek pendidikan yang semakin rumit hingga masyarakat kecil yang mulai tercekik. Bagaimana masyarakat akan siap jika dari segi pemerintahan belum stabil, pendidikan belum merata, dan kesejahteraan terasa semakin langka.
Tentunya ini bukanlah tugas pemerintah semata namun ini tugas kita semua. Menyoroti kinerja media yang terfokus kepada Pendidikan, Politik dan Kesejahteraan masyarakat namun kadangkala aspek sastra dan bahasa terlupakan. Kemungkinan karena Sastra dan Bahasa tidak begitu berpengaruh kepada masyarakat dibanding ekonomi, politik, dan pendidikan. Menyikapi permasalahan Sastra dan Bahasa tentunya tidak hanya dikaji dari keindahan kata – kata maupun teori belaka. Dimana sastra memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Seperti pendapat Mursal Esten, sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan). Kita tentu mengetahui bahwa dari sebuah karya sastra kita dapat mengetahui keadaan kultur budaya suatu bangsa.

Dengan bergulirnya Masyarakat Ekonomi Asean tentunya berbagai kesusasteraan dari luar negeri bebas masuk ke Indonesia. Tentunya menimbulkan berbagai pemasalahan ketika para generasi muda bersifat konsumtif tanpa memfilter terlebih dahulu. Doktrin, Budaya hingga pola hidup hedonis yang tecurah dalam sebuah karya sastra tentunya dengan cepat mempengaruhi generasi muda Indonesia. Ini merupakan ancaman terhadap penggiat Kesusastraan di Indonesia dikala masyarakat sendiri tidak menghargai hasil dari negaranya sendiri. Namun dari banyaknya hal negatif, tentunya memberikan dampak positif bagi penggiat kesusastraan Indonesia, tanpa harus kehilangan identitas. Bercampurnya berbagai hasil Kesusastraan Asing menimbulkan persaingan yang positif untuk lebih kreatif namun kontrol pemerintah juga harus diperketat serta penggiat sastra dituntut mampu memperkenalkan ke dunia internasional.

Dalam bergulirnya Masyarakat Ekonomi Asean tentunya bukan hanya kesusastraan yang berpengaruh namun segi kebahasaan juga berpengaruh. Slogan jika kita ingin menguasai dunia maka kuasai bahasa ternyata bukan hanya sebuah slogan. Bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional memberikan dampak serius bagi eksistensi bahasa daerah. Padahal selain fungsi bahasa untuk berkomunikasi namun satu sisi bahasa juga memiliki fungsi sebagai Perdamaian abadi, diciptakan dengan menjadikan fungsi bahasa sebagai strategi, baik strategi untuk memahami diri setiap anggota komunitas maupun strategi untuk memahami cara pandang komunitas lain. Disamping itu, potensi bahasa sebagai bentuk diplomasi terus digali serta diterapkan dalam rangka keikutsertaan Indonesia mewujudkan perdamaian dunia.

Apresiasi perlu ditujukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendirikan Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDB). Namun ini perlu didukung dengan pengembangan Bahasa di daerah – daerah, dimana di Indonesia memiliki berbagai macam ragam bahasa. Permasalahan ini tentunya sangat serius dimana permasalahan dalam penggunaan bahasa dapat menimbulkan kesalah pahaman dan konflik. Penguatan identitas bahasa daerah maupun bahasa nasional harus lebih ditonjolkan dalam setiap pertemuan internasional serta pendirian kursus – kursus bahasa Indonesia di luar negeri. Disamping itu Peningkatan kompetensi berbahasa asing strategis dan penerjemah. Dimana para ahli bahasa harus fokus terhadap pendidikan dan pelatihan kebahasaan, diplomasi bahasa, juru bahasa, penerjemahan dokumen strategis, karya sastra, dan buku ipteks.


Editor: dbr
Baca selengkapnya
Kerajaan Kuntala

Kerajaan Kuntala

Kerajaan Kuntala merupakan kerajaan yang belum dapat diidentifikasi lokasi keberadaannya. Mayoritas sejarawan berpendapat, Kuntala terdapat di pantai timur Sumatera di sekitar Jambi sekarang. Kerajaan ini muncul pada abad ke-5 - 6 Masehi, dimana hal ini merujuk dari sumber Cina, yang menyatakan bahwa Kuntala telah berkali-kali mengirim utusan mulai tahun 441 – 563 Masehi. Pada abad ke-7 kerajaan ini menghilang, mungkin dikarenakan munculnya dua kerajaan lain di pantai timur Sumatera yakni; Melayu (Jambi) dan Sriwijaya (Palembang).
Kerajaan Kuntala diperkirakan berdiri sejak abad ke 5 Masehi. Terbentuknya kerajaan ini oleh ahli – ahli sejarah dinyatakan sebagai akibat pendangkalan yang terjadi di Teluk Wen.  Sementara itu Negeri Ko-ying sebagai penguasa Teluk Wen  terpaksa memindahkan pelabuhan dagang dari Teluk Wen ke daerah pantai timur sekitar Kuala Tungkal.
Dalam perkembangannya, Negeri Ko-ying melepaskan daerah pantai timur, hal itu mendorong terbentuknya pemerintahan baru yang disebut Kerajaan Kantoli. Prof. Slamet Mulyana dalam buku yang berjudul ”Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara – Negara Islam di Nusantara” (LKIS Yogyakarta,2005) menyatakan bahwa di muara sungai Tembesi ada sebuah kerajaan bernama Kuntala yang mengirim utusannya ke negeri Cins di tahun 455,502,519, dan 563.
Prof. Slamet Mulyana berkesimpulan toponim Kan-to-li sama dengan Kuntala atau Tungkal dan keberadaannya terdapat di pedalaman sungai Tungkal antara Jambi dengan Palembang. Dalam Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt ke dalam bahasa Inggris bahwa kerajaan Kantoli atau Kuntala telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina pada tahun 454-464. Raja yang mengirim utusan itu bernama Sri Varanarendra sedangkan utusannya bernama Rudra berasal dari India. Pada tahun 502 kerajaan Kantol dipimpin oleh Gautama Subhadra ia adalah putera dari Pyravarman Vinylavarman yang mengirim utusan ke Cina tahun 519. Di bidang perekonomian kerajaan Kantoli sangat bergantung pada ekspor hasil hutan karena letaknya berada di pulau Sumatera dan memiliki hasil hutan yang melimpah ruah serta sangat laku di pasaran.
Kerajaan ini mulai menunjukkan tanda – tanda kemunduran akibat serangan dari Cina, tetapi pihak kerajaan Cina tidak secara langsung menguasai kerajaan Kuntala. Penguasa Cina hanya membentuk sebuah pemerintahan otonomi di Kuntala, sehingga pihak kerajaan masih dapat mengekspor kembali hasil hutan mereka. Namun hasil dari keuntungan itu digunakan oleh para bangsawan di kerajaan Kuntala untuk berfoya – foya. Sementara hasil komoditi ekspor hutang semakin kurang laku di pasaran. Akibatnya lambat laun kerajaan Kuntala mengalami kemunduran.
Source : Diolah
Baca selengkapnya
PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA

PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA



PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA
(Oleh: Drs. H. Junaidi T. Noor, M.M)

Sultan Thaha Saifuddin adalah Pahlawan Nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden RI No.079/TK/Tahun 1977, tanggal 24 Oktober 1977. Penganugerahan gelar tersebut sebagai penghargaan atas tindak kepahlawanannya dalam membela bangsa dan Negara. Pengharagaan itu memang layak, karena masa perjuangan pahlawan Sultan menentang penjajah Belanda berlangsung lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan yang sedemikian lama dengan luas cakupan wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi yang mantap. Semua sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring koordinasi dapat berfungsi pada status dan kedudukannya masing-masing. Katakanlah sebagai suatu sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama ditopang oleh kemampuan strategis dan manajerial yang mumpuni.
Kemampuan mendayagunakan sumber daya perangkat perang atau pasukan, dalam suatu perang gerilya dukungan lingkungan masyarakat di kantong-kantong perlawanan ikut menentukan sifat gerilya itu sendiri. Kekuatan pemukul pada serangan tiba-tiba atau penghadangan pasukan Sultan terhadap pasukan dan patroli Belanda. Selain kemampuan “hit and run”, juga dukungan kemampuan strategi dari mata-mata intelijen dan analisis kekuatan sendiri maupun lawan.
Pengejaran Belanda terhadap mobilitas kedudukan Sultan Thaha sebagai pemimpin besar pasukan Fisabilillah dapat dideteksi Belanda sejak dikuasainya Muaro Tembesi di tahun 1901. Itupun di tahun 1903 Belanda punya keyakinan posisi keberadaan Sultan, yaitu Pematang Tanah Garo.
Terlepas dari legenda adanya tunggangan (kendaraan) dalam wujud dua ekor harimau peliharaan, Sultan Thaha Saifuddin menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Panglima, pemimpin perang gerilya dengan strateginya yang terkenal, yaitu bertemu langsung dengan (utusan) Belanda dalam setiap perundingan yang digagas Belanda. Perundingan tersebut sebenarnya merupakan wahana lobi menekan Sultan untuk takluk dan diikat oleh perjanjian.
Strategi perjuangan yang dipatri sumpah setia untuk memegang teguh bahwa “Sultan tidak mati” menimbulkan berbagai versi ketidakpercayaan bahwa yang dimakamkan di Muaro Tebo bukan jasad Sultan Thaha, tetapi jasad salah seorang panglima atau pengawalnya. Belanda jelas tidak dapat memastikan pula karena tidak mengenal wajah dan sosok Sultan Thaha, karena Sultan berpantang berhadapan muka dengan Belanda.
Strategi pemindahan secara cepat dan persebaran front perlawanan, menunjukan perlawanan terorganisir, terangkai dalam komunitas yang fleksibel dan langsung. Strategi pemindahan ini dilakukan melalui tipe berantai maupun melalui cara yang tak kenal lelah.
Selain itu, mengadakan hubungan perdagangan dengan perwakilan dagang atau negara, seperti Turki, Inggris atau Amerika yang ada di Semenanjung Malaka melalui sistem barter hasil hutan dan perkebunan dengan persenjataan maupun suplai kebutuhan hidup Sultan dan pasukannya di daerah uluan DAS Batanghari. Penggunaan kamuflase perahu/ kapal dagang (kapal canon/kenen) ternyata cukup ampuh untuk melewati barikade dan patrol Belanda di DAS ilir Batanghari, termasuk pusat markas Belanda di Jambi maupun di Muaro Kumpeh. Simpul-simpul pasokan kebutuhan Sultan dipegang oleh Pangeran Wiro Kesumo sebagai anggota Pepatih Dalam, sahabat, dan besan Sultan Thaha Saifuddin beserta beberapa orang lainnya.
Alasan perlawanan Sultan Thaha Saifuddin bukan saja adanya markas Belanda di Muaro Kumpeh atau tambahan kekuatan pasukan Belanda. Tambahan pasukan ini didatangkan dari Batavia ke Muaro Kumpeh di bawah pimpinan Mayor Van Langen dengan 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada 25 September 1858, tetapi jauh melebihi itu.---- edit sampai sini.
Tekanan Belanda melalui perjanjian Sungai Baung (Rawas) pada 14 November 1833 yang ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin dengan Letkol Michiels begitu menyakitkan hati Sultan Thaha. Betapa tidak, Belanda menguasai dan melindungi Kerajaan Jambi. Bahkan penguasaan itu memberi kebebasan Kerajaan Belanda untuk mendirikan tempat pertahanan di mana saja yang menurut Belanda strategis dan dapat mendukung kepentingan Belanda. Dampak perjanjian ini berdirilah markas patrol Belanda di Muaro Kumpeh yang sejak semula dipandang strategis sebagai pintu keluar masuknya pelayaran DAS Batanghari. Pendirian di lokasi tersebut cukup taktis untuk mengawasi pusat pemerintahan Kesultanan Jambi, baik pertahanan maupun ekonomi melalui perdagangan hasil bumi, perkebuna,n dan hutan. 
Perjanjian Sungai Baung ini oleh Residen Palembang, yaitu Proeforiut dikukuhkan ke dalam bentuk traktat pada 15 Desember 1834. Dalam traktat tersebut dipertegas ikatan penguasaan yang lebih melebar dengan detail menambah ekspansi sebagaimana dimuat dalam perjanjian tambahan yang kemudian disyahkan parlemen Belanda pada 21 April 1835. Perjanjian ini ditandatangani Sultan Muhamad Fachruddin dan Pangeran Ratu Martaningrat Abdurrahman serta disaksikan para pembesar kerajaan dan keluarga istana Tanah Pilih.
Perjanjian tanggal 21 April 1835 tersebut memberikan kewenangan Pemerintah Belanda memungut cukai ekspor-impor barang-barang. Sebagai ganti rugi, Sultan dan Pangeran Ratu menerima f. 8000 setahun, dan Pemerintah Belanda memiliki hak monopoli penjualan garam. Yang menyakitkan dan ironisnya, dalam perjanjian tersebut dinyatakan Jambi menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam kerajaan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan berkenaan dengan cukai yang menjadi hak dan kewenangan Pemerintah Belanda.
Aplikasi perjanjian Sultan Jambi dengan pemerintah Belanda itu menjadi bahan kajian dan rekaman perbandingan dalam diri Sultan. Perbandingan baik ketika menuntut ilmu di Tanah Rencong Aceh Darussalam maupun perjalanan muhibahnya ketika diangkat sebagai Pangeran Ratu mendampingi pamannya yang dinobatkan sebagai pengganti Sultan Muhamad Fachruddin, yaitu Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855).
Pada masa Raden Thaha menjadi Pangeran Ratu ia menyaksikan dan merasakan campur tangan Belanda terlalu jauh, berlindung pada perjanjian-perjanjian yang ditandatngani ayahnya (Sultan Muhamad Fachruddin). Jiwa patriotnya mulai menggelembung. Tanpa musyawarah dengan sang pamannya sebagai Sultan, Pangeran Ratu Thaha Saifuddin mengadakan kontak dengan misi dagang Amerika (Walter Gibson) untuk pembelian senjata. Perjanjian ini merupakan wujud persiapan perlawanannya mengusir Belanda dari Jambi.
Upaya Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam  mempersiapkan perlawanan bersenjata, pembangkangan, dan penghindaran pemungutan cukai diketahui Belanda. Walter Gibson ditangkap dan dibawa ke Batavia. Asisten Residen Strom Vans’Graven Sande dari Palembang dikirim untuk menginspeksi kantor Belanda di Muaro Kumpeh dan menghadap Sultan Abdurrahman Nazaruddin untuk memperingati Sultan agar mematuhi perjanjian (1834,1835) dan melarang memperdagangkan alat persenjataan. Peringatan ini tidak digubris. Orang Jambi tetap melakukan penghindaran diri dari pemungutan cukai. Orang Palembang tetap mengadakan hubungan dalam jual-beli bahan peledak, mesiu, dan senjata api. Pengawasan Belanda terhadap Kesultanan Jambi semakin keras dan ketat. Akibat tekanan-tekanan Belanda itu menimbulkan ketidaksenangan dan menuai perlawanan. Perlawanan tersebut masih terselubung karena tidak diperkuat peralatan dan perlengkapan yang sebanding dengan peralatan Belanda.
Awalnya perlawanan rakyat Jambi dengan Belanda masih bersifat pemboikotan penjualan hasil bumi, hutan, maupun perdagangan lain yang dimonopoli Belanda. Akibat pemboikotan ini, kantor dagang di Muaro Kumpeh ditutup, karena tidak ada transaksi penjualan hasil bumi kepada Belanda. Kondisi ini tidak diinginkan Belanda. Berbagai upaya untuk mengadakan perjanjian baru terus dilakukan kendati tidak mendapat tanggapaan, apalagi Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam kewenangannya sebagai Perdana Menteri semakin membatasi kemungkinan diadakannya pertemuan dengan Belanda.
Ketika Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dinobatkan menjadi Sultan pada tahun 1856, ia tidak mengajukan restu ke Pemerintah Belanda. Sultan hanya memberitahun penobatannya, karena yang dibuat melalui perjanjian adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Sultan yang mengarah pada jalan pencaplokan kesultanan. Dengan berani Sultan Thaha membatalkan semua perjanjian dengan Belanda yang dibuat secara paksa oleh ayahnya.
Sikap perlawanan yang ditujukan Sultan sangat mengejutkan Belanda. Apalagi beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 1857 Belanda mengetahui Sultan mengutus Pangeran Ratu Martaningrat menyampaikan surat kepada Sultan Turki (masa itu diakui sebagai khalifah dunia Islam) melalui Perwakilan Kesultanan Turki di Singapura untuk mengumumkan larangan campur tangan atas urusan dalam negeri Jambi bagi semua kekuatan di kawasan itu (Taufik Abdullah, 1984). Tak ada jalan lain, Belanda mengancam menangkap Sultan dan membuangnya ke Batavia. Sultan tak gentar, bahkan mempersiapkan pasukan menyerang Muaro Kumpeh.
Belanda kembali menawarkan perundingan sambil memperkuat diri dengan mendatangkan kapal perang dengan 800 personil ke Muaro Kumpeh pada akhir Agustus 1858. Perundingan gagal dan Belanda memutuskan mengirim pasukan ke Jambi, sekaligus mengultimatum Sultan Thaha untuk menandatangani perjanjian baru. Apabila menolak, Sultan akan diganti dan diasingkan ke Batavia. Ultimatum dan pemaksaan ini dijawab Sultan “Kerajaan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan akan kami pertahankan dari perjanjian atau perkosaan oleh siapapun juga dengan tetesan darah yang penghabisan, tidak ada pedoman yang lebih celaka dari pada ketakutan“ (A. Mukti Nasrudin,1986). Sultan semakin gigih mempersiapkan perlawanan.
Tanggal 25 September 1858, Mayor Van Langen dengan kekuatan militernya menyerbu Jambi. Semama 2 hari terjadi pertempuran sengit dan pasukan Sultan terpaksa mundur setelah berhasil menenggelamkan kapal perang Houtman. Istana Tanah Pilih berhasil dikuasai Belanda yang sebelumnya dibumihanguskan oleh Sultan sendiri.
Sebelum terjadinya penyerangan Belanda ke Tanah Pilih Jambi, Sultan Thaha Saifuddin mengadakan pertemuan dengan semua pangeran dan pembesar Kerajaan Jambi. Pertemuan tersebut membahas persiapan bahan makanan yang cukup di basis-basis pedalaman. Mereka juga bertekad tidak akan menyerah kepada Belanda dan tidak berkhianat kepada teman seperjuangan maupun kepada negeri.
Persiapan yang dilakukan dari sisi perlawanan rakyat adalah penggeseran pusat pemerintahan dan perlawanan ke hulu DAS Batanghari berjalan dengan baik. Muaro Tembesi ditetapkan sebagai benteng pertahanan untuk menghadang Belanda dan Markas Komando Pusat Perlawanan, sebagian lain ke Lubuk Ruso dan Dusun Tengah. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sultan Thaha di Muaro Tembesi, ditunjuk Pangeran Hadi sebagai Kepala Bala Tentara, Pangeran Singo sebagai Kepala Pemerintahan Sipil, dan Pangeran Lamong dipercaya menjabat Kepala Keuangan (Zuraima,1996). Upaya memperkuat mesin perangnya, selain secara estafet menanamkan semangat juang kepada rakyat, Sultan juga mengadakan kapal dagang pengangkut hasil Jambi ke luar negeri untuk ditukar dengan senjata. Kapal tersebut diberi nama “Canon atau Kenen” yang sebagian besar diawaki pelaut Inggris. Kapal Kenen ini adalah kapal Inggris yang dirombak sedemikian rupa oleh Pangeran Wiro Kusumo dan Temenggung Jafar menjadi kapal dagang.
Bermodalkan persenjataan yang cukup modern di masa itu, Sultan membangun pasukan fisabilillah berkekuatan 20.000 personil dibawah asuhan pelatih yang didatangkan dari Aceh Darussalam. Pasukan fisabilillah ini kemudian dipecah ke dalam tiga Front Komando (Usman Meng, Zuraima: 1996), yaitu wilayah Muaro Tembesi, Batang Tembesi, Serampas, Sungai Tenang, Merangin, Mesumai, Tantan, Pelepat, Senamat, Tabir sampai ke Kerinci berada dibawah komando Tumenggung Mangku Negoro dengan dibantu para Panglima Pangeran H.Umar bin Pangeran H.Yasir dan Depati Parbo. Mulai dari Muaro Tembesi, sepanjang Sungai Batanghari, Batang Tebo, Batang Bungo, Jujuhan, Tanjung Simalidu langsung dipimpin Sultan Thaha dan dibantu oleh saudaranya Pangeran Diponegoro (Pangeran Dipo). Selanjutnya dari Muaro Tembesi kehilir Kumpeh, Muaro Sabak dan Tungkal dibawah Komando Raden Mattaher, dibantu oleh Raden Pamuk dan Raden Perang.
Kepada para panglima di masing-masing wilayah diamanatkan untuk memobilisasi kekuatan rakyat, meningkatkan pertahanan di wilayah masing-masing dan melakukan sabotase atau penyerangan tiba-tiba pada pos-pos atau patroli Belanda tanpa menunggu komando Sultan. Bahkan Raden Anom berhasil merebut beberapa pucuk senjata di Balai Pertemuan dan beberapa pos Belanda di Jambi (April 1895). Serangan mendadak juga terjadi di Sarolangun Rawas (Februari 1890) dibawah pimpinan H. Kedemang Rantau Panjang dibantu beberapa Hulubalang, Belanda sangat terkejut oleh serangan tiba-tiba seperti itu, apalagi didukung oleh peralatan yang cukup modern.
Tidak mengherankan apabila Sultan melakukan pembagian wilayah penyerangan dan penyerangan secara mobil, juga terhadap patroli-patroli yang dilakukan Belanda dalam upaya menangkap terhadap Sultan Thaha. Terjadilah pertempuran sporadis di masing-masing wailayah cukup memusingkan Belanda dan terpaksa Belanda memperkuat pertahanannya dengan mendatangkan marsose (pasukan istimewa) dari Aceh dan Palembang.
Sementara itu, di tahun  1893 Pangeran Diponegoro dan Pangeran Kusen membangun kantor bea cukai di Muaro Sungai Tembesi, Muaro Sikamis, Sungai Aro. Kegiatan ini jelas memukul upaya Belanda memungut cukai atas barang-barang yang dibawa dari pedalaman. Barter hasil Jambi yang dilakukan Sultan tetap berjalan melalui DAS Batanghari tanpa dapat terdeteksi Belanda.
Pihak Belanda pun tidak mengetahui bahwa di jantung Batang Tabir terbangun rumah besak (istana) di Pematang Tanah Garo yang sebagian bahan bangunannya dipasok dari Jambi dan Singapura oleh Pangeran Wiro Kusumo. Bahkan lepas dari pengamatan Belanda di Jambi, Sultan pun sempat melaksanakan pernikahan anaknya dengan Putra Said Idrus gelar Pangeran Wiro Kusumo di rumah besak Pematang Tanah Garo selama satu bulan secara meriah. Ketertutupan pertahanan dan kediaman keluarga Sultan dari pengamatan Belanda ini antara lain adanya kesetiaan pengikut dan rakyatnya atau kemungkinan pengalihan perhatian Belanda yang lebih besar ke daerah lain.
Sumpah setia (Setih Setio) para pengikut mengikuti anjuran Sultan bahwa “Apabila keadaan memaksa untuk menyerah kepada Belanda, berpura-pura lah kamu menyerah. Apabila ada kesempatan Belanda menanyakan dimana tempat Sultan Thaha Saifuddin, janganlah kamu menunjukan tempat itu. Sumpah ini tetap dipegang kuat dan menyebabkan Belanda kewalahan mendeteksi keberadaan Sultan dan pertahanannya.
Medan pertempuran Sultan Thaha berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai garis strategis perlawanannya. Pusat komando tersebar dalam mobilitas kepemimpinan seorang panglima yang konon didukung oleh kemampuan spiritual dan hewan kendaraan (harimau) yang juga setia mendampingi Sultan bergerak dari satu front ke front lain.
Menghadapi ketidakmampuan operasi militer belanda lewat patroli yang sering diserang dengan tiba-tiba atau adanya aral rintang di permukaan sungai, anak-anak sungai DAS, pihak belanda selalu mengupayakan mengadakan perundingan. Sultan dengan teguh hati tetap menolak upaya Belanda tersebut. Sultan tidak mau berunding dan menyatakan: “Saya tidak mau berunding dengan Belanda. Apabila saya berunding (tatap muka) dengan mereka, hilanglah amal saya selama 40 hari “.
Pada tahun 1894, Sultan Thaha akhirnya mengizinkan Pangeran Ratu mengadakan pertemuan dengan Roodt Van Oldenber Nepelt di Muaro Ketalo. Sultan mengikuti perundingan dari kamar sebelah ruang pertemuan. Perundingan tersebut gagal, karena Belanda tetap menghendaki kesultanan Jambi berada dibawah kekuasaan Belanda. Sebaliknya Sultan tetap pada pendiriannya, bahwa urusan Kesultanan Jambi sepenuhnya tidak dapat dicampuri Belanda.
Gagalnya perundingan tersebut, Belanda tetap berupaya menangkap Sultan. Untuk itu penguasa Belanda dengan gencar mengadakan patroli dan menambah personil untuk menggempur pusat pertahanan Sultan di Muaro Tembesi. Sebelum tindakan  militer,  Belanda  mengirim kepala staf angkatan perangnya G.W. Beeger ke Jambi untuk mengkoordinasikan data intelijen dan informasi yang mendukung operasi militer besar-besaran. Peta-peta topografi disempurnakan, terutama mengenai sungai, jalan-jalan tikus antar dusun di daerah Jambi, maupun jalan kecil yang menghubungi Rawas dengan Jambi. Data dan informasi tersebut segera diolah, karena Belanda mendapat informasi yang cukup merisaukan, yaitu adanya penyelundupan senjata api repeater sampai 1500 buah. Pada 4 September 1890 kembali tim intel Belanda dikirim ke sekitar Muaro Tembesi untuk mengamati dan membuat perhitungan strategis militer menyusul adanya informasi pedagang dari Sumatera Barat yang diharuskan membayar cukai di Sungai Aro.
Awal November 1900, kapal-kapal penyelidik bersenjata sudah dekat Muaro Tembesi, tapi show of force itu tidak dilanjutkan, karena Belanda masih tetap berupaya mengadakan perundingan. Selain itu pihak Belanda sedang merampungkan program pembangunan jalan darat dari Jambi ke Muaro Tembesi sebagai sarana pendukung mobilisasi pasukan infantri dan peralatan serta perbekalan perang. Alur-alur sungai pun semakin disempurnakan untuk pengerahan kapal-kapal perangnya dari Jambi.
Kapal-kapal penyelidik belanda yang berlayar sampai hulu Batanghari (Teluk Kayu Putih) tidak mendapat gangguan. Sikap penduduk pun cukup bersahabat, tidak memusuhi Belanda. Rupanya sikap itu sesuai perintah Sultan Thaha agar Belanda tidak mencurigai adanya pos-pos pertahanan pasukan Sultan.
Sultan menilai gangguan terhadap kapal penyelidik tersebut akan berdampak pada mobilisasi pasukan yang lebih besar, sementara itu Sultan sendiri sedang menghimpun kekuatan dan persiapan kemungkinan serangan besar-besaran ke Muaro Tembesi.
Pada 21 Maret 1901 pasukan Belanda dari Palembang tiba dan membangun benteng di Muaro Tembesi tanpa ada bentrokan dengan pasukan Sultan atau Pangeran Diponegoro. Kendati pendudukan Belanda di Muaro Tembesi berlangsung cepat, tapi Belanda tidak berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Sultan dan pasukannya. Para kepala dusun atau rakyat yang dipanggil ambtenar Belanda tetap bersahabat tapi tetap membungkam.
Pencarian terus dilakukan atas dasar laporan Christian tertanggal 20 Februari 1901, bahwa Sultan Thaha berada di Pematang Dipo di Parunusan yang terletak di tepian sungai Tabir. Sungai itu ditebari batang-batang kayu sehingga kapal kecil pun tak dapat melayarinya. Laporan lain, kepada komando angkatan darat menginformasikan posisi penting jalan setapak antara Parunusan ke Pematang yang harus dikuasai untuk masuk ke tempat berkumpulnya para pembesar Kesultanan. Patroli harus sering dilakukan untuk mengganggu konsentrasi Sultan. Dalam laporan tertanggal  12 Juni 1901 disarankan untuk bertindak tegas terhadap Sultan dan menutup Muaro Tabir. Operasi penangkapan terus dijalankan dengan pengerahan pasukan bersenjata atau setidak-tidaknya mendorong Sultan keluar dari persembunyiannya.
Suasana yang dianggap tenang oleh Belanda dalam pendudukan di Muaro Tembesi, ternyata terganggu oleh penyerangan kedudukan kontroler di Sarolangun pada 30 Mei 1901. Pada 6 Juni 1901 beberapa pos di tepi sungai Batanghari juga diserang. Lampu-lampu di seberang Muaro Tembesi berhasil dilenyapkan oleh pasukan Sultan pada 11 Juli 1901 dan pada 27 Juli 1901 pasukan patrol Belanda ditembaki dengan gencar oleh pasukan Sultan. Pada 13 Juli 1901 pasukan Belanda yang sedang berpatroli di Singkut ditembaki sehingga satu orang juru tembak Belanda tews dan dua orang lainnya menderita luka.
Serangan-serangan di Singkut tersebut mendorong Belanda menambah kekuatan pasukan Ambon dari Batalyon Garnizun Magelang. Perlawanan semakin seru walau akhirnya pasukan Sultan meninggalkan Singkut dan tidak seorang pun yang menyerah. Benteng-benteng perlawanan, seperti Tanjung Limbur, Limbur, Merangin, Pelayangan, Sekancing, Limbur Tembesi, Datuk Nan Tigo, Kuto Rayo, Sungai Manau, Sungai Alai, dan Muaro Siau berturut-turut berhasil diduduki pasukan Belanda. Walaupun demikian Sultan Thaha dan pasukannya masih tetap melakukan serangan-serangan bergerilya.
Belanda akhirnya menggerakan pasukan-pasukan yang ada di Bayung Lincir, Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Sijunjung, Tebo, dan Jambi untuk melakukan serangan serentak ke wilayah Tabir setelah didapat kepastian posisi Sultan berada disana.
Tampaknya strategi penyempitan wilayah pertahanan dan perlawanan Sultan yang dilakukan Belanda cukup efektif menjerat posisi Sultan Thaha. Rupanya anti gerilya belanda memutus komunikasi Sultan, Belanda menerapkan serangan ovensif agresif dengan dukungan personil yang banyak dan persenjataan yang kuat. Personil intel yang fleksibel dan akurat prajurit pribumi dan isyarat seorang Demang yang dipaksa Belanda membuka rahasia keberadaan Sultan Thaha..  
Pasukan infantri yang dipimpin Letnan G.Badings menyelusuri Sungai Tabir menuju Bangko Pintas pada 23 April 1904. Juga dari penapalan, Remaji, dan Muaro Sunga Api (Rantau Api) bergerak pasukan infantr pada 25 April 1904. Semua pasukan tersebut serentak maju ke Betung Bedaro. Situasi tersebut disadari Sultan yang pada saat itu berada di Rumah Besak Pematang Tanah Garo. Malam itu tanggal 26 April 1904 Sultan berpesan pada Hulubalang “Menurut gerak perasaan saya kemungkinan besar malam ini akan terjadi pertempuran. Kalau itu terjadi musuh tidak akan dapat menyentuh badan saya hidup-hidup, karena saya tidak rela kulit saya disentuh oleh musuh dan ditawan adalah pantang besar bagi saya”. Malam itu terbukti tekad perjuangan Sultan Thaha yang berjuang sampai titik darah penghabisan ke bumi persada ibu pertiwi. Seiring munculnya mentari di ufuk timur pada 27 April 1904, Sultan Thaha gugur dalam kancah desingan peluru Belanda dengan pedang masih tergenggam di tangan. Benarlah tak ada kata menyerah bagi sang panglima.
Sebagai seorang Panglima, Sultan Thaha Saifuddin memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau berunding dengan pihak Belanda. Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan dengan Belanda pada intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap kedaulatan kesultanan Jambi.
Untuk menghadapi siasat licik Belanda melalui perjanjian yang dipaksakan, Sultan melancarkan perlawanan gerilya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya di bawah pimpinan hulubalangnya dalam tiga front. Selain itu, sikap tidak mau bertemu Belanda semakin memoles sikap politik Sultan dalam menggelorakan semangat perjuanggannya yang belakangan menimbulkan keraguan atas wafatnya Sultan di medan laga Betung Bedaro.
Strategi gerilya Sultan dalam format modern ternyata mendapatkan prlawanan anti gerilya yang cukup ampuh menekan dan mempersempit posisi Sultan yang ditutup dengan serangan frontal ovensif berkekuatan besar. Walapunu kemudian Belanda meyakini perang dengan Sultan adalah perang tanpa perdamaian.
Pada saat terakhir ada upaya perlindungan terhadap Sultan yang dilakukan oleh Pangeran Ratu Martadiningrat pada bulan Desember 1903. Pangeran Ratu kembali ke Jambi dan menyerahkan keris kepangeranan Ratunya “Singamarjayo” kepada Residen Palembang. Tindakan ini dilakukan karena usia Sultan sudah lanjut (87 tahun dan selama 46 tahun dari umurnya dalam perjuangan). Menurut Belanda bersama penyerahan keris Singamarjayo, Pangeran Ratu juga menyerahkan keris “Siginje” sebagai perlambang kekuasaan Kesultanan.
Alur cerita ini seperti pertanda takdir berakhirnya perlawanan Sultan. Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap dirinya dari Pangeran Ratu Martadiningrat, sedangkan Belanda menyikapi langkah itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun Sultan Thaha akan tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai Sultan. Oleh karena itu Belanda tetap melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tidak menyerah sampai titik darah penghabisan.
Nilai kejuangan Sultan ini tetap relevan bagi kita dalam pembangunan daerah di segala bidang, yaitu tanpa kenal menyerah terhadap berbagai kendala dan keterbatasan. Sistem zoning dalam perkuatan sumber daya merupakan salah satu perkuatan di dalam kita menyikapi wilayah kerja yang terlalu luas. Manajerial dan skill Sultan patut menjadi pegangan dalam penanganan wilayah (bpx).
Baca selengkapnya