PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA
(Oleh:
Drs. H. Junaidi T. Noor, M.M)
Sultan Thaha Saifuddin adalah Pahlawan Nasional yang
dikukuhkan melalui Keputusan Presiden RI No.079/TK/Tahun 1977, tanggal 24
Oktober 1977. Penganugerahan gelar tersebut sebagai penghargaan atas tindak
kepahlawanannya dalam membela bangsa dan Negara. Pengharagaan itu memang layak,
karena masa perjuangan pahlawan Sultan menentang penjajah Belanda berlangsung
lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan yang sedemikian lama dengan luas cakupan
wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi yang mantap. Semua
sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring koordinasi dapat
berfungsi pada status dan kedudukannya masing-masing. Katakanlah sebagai suatu
sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama ditopang oleh kemampuan
strategis dan manajerial yang mumpuni.
Kemampuan mendayagunakan sumber daya
perangkat perang atau pasukan, dalam suatu perang gerilya dukungan lingkungan
masyarakat di kantong-kantong perlawanan ikut menentukan sifat gerilya itu
sendiri. Kekuatan pemukul pada serangan tiba-tiba atau penghadangan pasukan
Sultan terhadap pasukan dan patroli Belanda. Selain kemampuan “hit
and run”, juga dukungan kemampuan strategi dari mata-mata
intelijen dan analisis kekuatan sendiri maupun lawan.
Pengejaran Belanda terhadap
mobilitas kedudukan Sultan Thaha sebagai pemimpin besar pasukan Fisabilillah dapat dideteksi Belanda
sejak dikuasainya Muaro Tembesi di tahun 1901. Itupun di tahun 1903 Belanda
punya keyakinan posisi keberadaan Sultan, yaitu Pematang Tanah Garo.
Terlepas dari legenda adanya tunggangan (kendaraan) dalam wujud dua
ekor harimau peliharaan, Sultan Thaha Saifuddin menunjukkan kemampuannya
sebagai seorang Panglima, pemimpin perang gerilya dengan strateginya yang
terkenal, yaitu bertemu langsung dengan (utusan) Belanda dalam setiap
perundingan yang digagas Belanda. Perundingan tersebut sebenarnya merupakan
wahana lobi menekan Sultan untuk takluk dan diikat oleh perjanjian.
Strategi perjuangan yang dipatri sumpah
setia untuk memegang teguh bahwa “Sultan tidak mati” menimbulkan berbagai versi
ketidakpercayaan bahwa yang dimakamkan di Muaro Tebo bukan jasad Sultan Thaha,
tetapi jasad salah seorang panglima atau pengawalnya. Belanda jelas tidak dapat
memastikan pula karena tidak mengenal wajah dan sosok Sultan Thaha, karena
Sultan berpantang berhadapan muka dengan Belanda.
Strategi pemindahan secara cepat dan
persebaran front perlawanan, menunjukan perlawanan terorganisir, terangkai
dalam komunitas yang fleksibel dan langsung. Strategi pemindahan ini dilakukan
melalui tipe berantai maupun melalui cara yang tak kenal lelah.
Selain itu, mengadakan hubungan
perdagangan dengan perwakilan dagang atau negara, seperti Turki, Inggris atau
Amerika yang ada di Semenanjung Malaka melalui sistem barter hasil hutan dan
perkebunan dengan persenjataan maupun suplai kebutuhan hidup Sultan dan
pasukannya di daerah uluan DAS Batanghari. Penggunaan kamuflase perahu/ kapal
dagang (kapal canon/kenen) ternyata cukup ampuh untuk melewati barikade dan
patrol Belanda di DAS ilir Batanghari, termasuk pusat markas Belanda di Jambi
maupun di Muaro Kumpeh. Simpul-simpul pasokan kebutuhan Sultan dipegang oleh
Pangeran Wiro Kesumo sebagai anggota Pepatih Dalam, sahabat, dan besan Sultan
Thaha Saifuddin beserta beberapa orang lainnya.
Alasan perlawanan Sultan Thaha
Saifuddin bukan saja adanya markas Belanda di Muaro Kumpeh atau tambahan
kekuatan pasukan Belanda. Tambahan pasukan ini didatangkan dari Batavia ke
Muaro Kumpeh di bawah pimpinan Mayor Van Langen dengan 30 buah kapal perang dan
800 personil serdadu Belanda pada 25 September 1858, tetapi jauh melebihi
itu.---- edit sampai sini.
Tekanan Belanda melalui perjanjian
Sungai Baung (Rawas) pada 14 November 1833 yang ditandatangani Sultan Muhammad
Fachruddin dengan Letkol Michiels begitu menyakitkan hati Sultan Thaha. Betapa
tidak, Belanda menguasai dan melindungi Kerajaan Jambi. Bahkan penguasaan itu
memberi kebebasan Kerajaan Belanda untuk mendirikan tempat pertahanan di mana
saja yang menurut Belanda strategis dan dapat mendukung kepentingan Belanda.
Dampak perjanjian ini berdirilah markas patrol Belanda di Muaro Kumpeh yang
sejak semula dipandang strategis sebagai pintu keluar masuknya pelayaran DAS
Batanghari. Pendirian di lokasi tersebut cukup taktis untuk mengawasi pusat
pemerintahan Kesultanan Jambi, baik pertahanan maupun ekonomi melalui
perdagangan hasil bumi, perkebuna,n dan hutan.
Perjanjian Sungai Baung ini oleh
Residen Palembang, yaitu Proeforiut dikukuhkan ke dalam bentuk traktat pada 15
Desember 1834. Dalam traktat tersebut dipertegas ikatan penguasaan yang lebih
melebar dengan detail menambah ekspansi sebagaimana dimuat dalam perjanjian
tambahan yang kemudian disyahkan parlemen Belanda pada 21 April 1835.
Perjanjian ini ditandatangani Sultan Muhamad Fachruddin dan Pangeran Ratu
Martaningrat Abdurrahman serta disaksikan para pembesar kerajaan dan keluarga
istana Tanah Pilih.
Perjanjian tanggal 21 April 1835
tersebut memberikan kewenangan Pemerintah Belanda memungut cukai ekspor-impor
barang-barang. Sebagai ganti rugi, Sultan dan Pangeran Ratu menerima f. 8000 setahun, dan Pemerintah Belanda
memiliki hak monopoli penjualan garam. Yang menyakitkan dan ironisnya, dalam
perjanjian tersebut dinyatakan Jambi menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia
Belanda. Selain itu pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan
dalam kerajaan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada
penggelapan berkenaan dengan cukai yang menjadi hak dan kewenangan Pemerintah
Belanda.
Aplikasi perjanjian Sultan Jambi
dengan pemerintah Belanda itu menjadi bahan kajian dan rekaman perbandingan
dalam diri Sultan. Perbandingan baik ketika menuntut ilmu di Tanah Rencong Aceh
Darussalam maupun perjalanan muhibahnya ketika diangkat sebagai Pangeran Ratu
mendampingi pamannya yang dinobatkan sebagai pengganti Sultan Muhamad
Fachruddin, yaitu Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855).
Pada masa Raden Thaha menjadi
Pangeran Ratu ia menyaksikan dan merasakan campur tangan Belanda terlalu jauh,
berlindung pada perjanjian-perjanjian yang ditandatngani ayahnya (Sultan
Muhamad Fachruddin). Jiwa patriotnya mulai menggelembung. Tanpa musyawarah
dengan sang pamannya sebagai Sultan, Pangeran Ratu Thaha Saifuddin mengadakan
kontak dengan misi dagang Amerika (Walter Gibson) untuk pembelian senjata.
Perjanjian ini merupakan wujud persiapan perlawanannya mengusir Belanda dari
Jambi.
Upaya Pangeran Ratu Thaha Saifuddin
dalam mempersiapkan perlawanan bersenjata, pembangkangan, dan
penghindaran pemungutan cukai diketahui Belanda. Walter Gibson ditangkap dan
dibawa ke Batavia. Asisten Residen Strom Vans’Graven Sande dari Palembang
dikirim untuk menginspeksi kantor Belanda di Muaro Kumpeh dan menghadap Sultan
Abdurrahman Nazaruddin untuk memperingati Sultan agar mematuhi perjanjian
(1834,1835) dan melarang memperdagangkan alat persenjataan. Peringatan ini
tidak digubris. Orang Jambi tetap melakukan penghindaran diri dari pemungutan
cukai. Orang Palembang tetap mengadakan hubungan dalam jual-beli bahan peledak,
mesiu, dan senjata api. Pengawasan Belanda terhadap Kesultanan Jambi semakin
keras dan ketat. Akibat tekanan-tekanan Belanda itu menimbulkan ketidaksenangan
dan menuai perlawanan. Perlawanan tersebut masih terselubung karena tidak
diperkuat peralatan dan perlengkapan yang sebanding dengan peralatan Belanda.
Awalnya perlawanan rakyat Jambi
dengan Belanda masih bersifat pemboikotan penjualan hasil bumi, hutan, maupun
perdagangan lain yang dimonopoli Belanda. Akibat pemboikotan ini, kantor dagang
di Muaro Kumpeh ditutup, karena tidak ada transaksi penjualan hasil bumi kepada
Belanda. Kondisi ini tidak diinginkan Belanda. Berbagai upaya untuk mengadakan
perjanjian baru terus dilakukan kendati tidak mendapat tanggapaan, apalagi
Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam kewenangannya sebagai Perdana
Menteri semakin membatasi kemungkinan diadakannya pertemuan dengan
Belanda.
Ketika Pangeran Ratu Thaha Saifuddin
dinobatkan menjadi Sultan pada tahun 1856, ia tidak mengajukan restu ke
Pemerintah Belanda. Sultan hanya memberitahun penobatannya, karena yang dibuat
melalui perjanjian adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Sultan yang mengarah
pada jalan pencaplokan kesultanan. Dengan berani Sultan Thaha membatalkan semua
perjanjian dengan Belanda yang dibuat secara paksa oleh ayahnya.
Sikap perlawanan yang ditujukan
Sultan sangat mengejutkan Belanda. Apalagi beberapa tahun kemudian, yaitu tahun
1857 Belanda mengetahui Sultan mengutus Pangeran Ratu Martaningrat menyampaikan
surat kepada Sultan Turki (masa itu diakui sebagai khalifah dunia Islam)
melalui Perwakilan Kesultanan Turki di Singapura untuk mengumumkan larangan
campur tangan atas urusan dalam negeri Jambi bagi semua kekuatan di kawasan itu
(Taufik Abdullah, 1984). Tak ada jalan lain, Belanda
mengancam menangkap Sultan dan membuangnya ke Batavia. Sultan tak gentar, bahkan mempersiapkan
pasukan menyerang Muaro Kumpeh.
Belanda kembali menawarkan perundingan sambil memperkuat diri dengan
mendatangkan kapal perang dengan 800 personil ke Muaro Kumpeh pada akhir
Agustus 1858. Perundingan gagal dan Belanda memutuskan mengirim pasukan ke
Jambi, sekaligus mengultimatum Sultan Thaha untuk menandatangani
perjanjian baru. Apabila menolak, Sultan akan diganti dan diasingkan ke
Batavia. Ultimatum dan pemaksaan ini dijawab Sultan “Kerajaan Jambi adalah hak
milik rakyat Jambi dan akan kami pertahankan dari perjanjian atau perkosaan
oleh siapapun juga dengan tetesan darah yang penghabisan, tidak ada pedoman
yang lebih celaka dari pada ketakutan“ (A. Mukti Nasrudin,1986). Sultan semakin
gigih mempersiapkan perlawanan.
Tanggal 25 September 1858, Mayor Van Langen dengan kekuatan militernya
menyerbu Jambi. Semama 2 hari terjadi pertempuran
sengit dan pasukan Sultan terpaksa mundur setelah berhasil menenggelamkan kapal
perang Houtman. Istana Tanah Pilih berhasil dikuasai Belanda yang sebelumnya
dibumihanguskan oleh Sultan sendiri.
Sebelum terjadinya penyerangan Belanda ke Tanah Pilih Jambi, Sultan Thaha
Saifuddin mengadakan pertemuan dengan semua pangeran dan pembesar
Kerajaan Jambi. Pertemuan
tersebut membahas persiapan bahan makanan yang cukup di basis-basis pedalaman.
Mereka juga bertekad tidak akan menyerah kepada Belanda dan tidak
berkhianat kepada teman seperjuangan maupun kepada negeri.
Persiapan yang dilakukan dari sisi
perlawanan rakyat adalah penggeseran pusat pemerintahan dan perlawanan ke hulu
DAS Batanghari berjalan dengan baik. Muaro Tembesi ditetapkan sebagai benteng
pertahanan untuk menghadang Belanda dan Markas Komando Pusat Perlawanan,
sebagian lain ke Lubuk Ruso dan Dusun Tengah. Untuk menjalankan roda
pemerintahan Sultan Thaha di Muaro Tembesi, ditunjuk Pangeran Hadi sebagai
Kepala Bala Tentara, Pangeran Singo sebagai Kepala Pemerintahan Sipil, dan
Pangeran Lamong dipercaya menjabat Kepala Keuangan (Zuraima,1996). Upaya
memperkuat mesin perangnya, selain secara estafet menanamkan semangat juang
kepada rakyat, Sultan juga mengadakan kapal dagang pengangkut hasil Jambi ke
luar negeri untuk ditukar dengan senjata. Kapal tersebut diberi nama “Canon
atau Kenen” yang sebagian besar diawaki pelaut Inggris. Kapal Kenen ini adalah
kapal Inggris yang dirombak sedemikian rupa oleh Pangeran Wiro Kusumo dan
Temenggung Jafar menjadi kapal dagang.
Bermodalkan persenjataan yang cukup
modern di masa itu, Sultan membangun pasukan fisabilillah berkekuatan 20.000 personil dibawah asuhan pelatih
yang didatangkan dari Aceh Darussalam. Pasukan fisabilillah ini kemudian dipecah ke dalam tiga Front Komando (Usman Meng, Zuraima: 1996), yaitu wilayah Muaro
Tembesi, Batang Tembesi, Serampas, Sungai Tenang, Merangin, Mesumai, Tantan,
Pelepat, Senamat, Tabir sampai ke Kerinci berada dibawah komando Tumenggung
Mangku Negoro dengan dibantu para Panglima Pangeran H.Umar bin Pangeran H.Yasir
dan Depati Parbo. Mulai dari Muaro Tembesi, sepanjang Sungai Batanghari, Batang Tebo, Batang Bungo, Jujuhan, Tanjung Simalidu
langsung dipimpin Sultan Thaha dan dibantu oleh saudaranya Pangeran Diponegoro
(Pangeran Dipo). Selanjutnya dari Muaro
Tembesi kehilir Kumpeh, Muaro Sabak dan Tungkal dibawah Komando Raden Mattaher, dibantu oleh Raden Pamuk dan Raden Perang.
Kepada para panglima di masing-masing wilayah diamanatkan untuk
memobilisasi kekuatan rakyat, meningkatkan pertahanan di wilayah masing-masing
dan melakukan sabotase atau penyerangan tiba-tiba pada pos-pos atau patroli Belanda tanpa
menunggu komando Sultan. Bahkan Raden Anom berhasil merebut beberapa pucuk
senjata di Balai Pertemuan dan beberapa pos Belanda di Jambi (April 1895).
Serangan mendadak juga terjadi di Sarolangun Rawas (Februari 1890) dibawah
pimpinan H. Kedemang Rantau Panjang dibantu beberapa Hulubalang, Belanda sangat
terkejut oleh serangan tiba-tiba seperti itu, apalagi didukung oleh peralatan
yang cukup modern.
Tidak mengherankan apabila Sultan
melakukan pembagian wilayah penyerangan dan penyerangan secara mobil, juga
terhadap patroli-patroli yang dilakukan Belanda dalam upaya menangkap terhadap
Sultan Thaha. Terjadilah pertempuran sporadis di masing-masing wailayah cukup
memusingkan Belanda dan terpaksa Belanda memperkuat pertahanannya dengan
mendatangkan marsose (pasukan istimewa) dari Aceh dan Palembang.
Sementara itu, di tahun 1893
Pangeran Diponegoro dan Pangeran Kusen membangun kantor bea cukai di Muaro
Sungai Tembesi, Muaro Sikamis, Sungai Aro. Kegiatan ini jelas memukul upaya
Belanda memungut cukai atas barang-barang yang dibawa dari pedalaman. Barter
hasil Jambi yang dilakukan Sultan tetap berjalan melalui DAS Batanghari tanpa
dapat terdeteksi Belanda.
Pihak Belanda pun tidak mengetahui
bahwa di jantung Batang Tabir terbangun rumah
besak (istana) di Pematang Tanah Garo yang sebagian bahan bangunannya
dipasok dari Jambi dan Singapura oleh Pangeran Wiro Kusumo. Bahkan lepas dari
pengamatan Belanda di Jambi, Sultan pun sempat melaksanakan pernikahan anaknya
dengan Putra Said Idrus gelar Pangeran Wiro Kusumo di rumah besak Pematang Tanah Garo selama satu bulan secara meriah.
Ketertutupan pertahanan dan kediaman keluarga Sultan dari pengamatan Belanda
ini antara lain adanya kesetiaan pengikut dan rakyatnya atau kemungkinan
pengalihan perhatian Belanda yang lebih besar ke daerah lain.
Sumpah setia (Setih Setio) para pengikut mengikuti anjuran Sultan bahwa “Apabila
keadaan memaksa untuk menyerah kepada Belanda, berpura-pura lah kamu menyerah. Apabila
ada kesempatan Belanda menanyakan dimana tempat Sultan Thaha Saifuddin,
janganlah kamu menunjukan tempat itu. Sumpah ini tetap dipegang kuat dan
menyebabkan Belanda kewalahan mendeteksi keberadaan Sultan dan pertahanannya.
Medan pertempuran Sultan Thaha
berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai garis strategis perlawanannya.
Pusat komando tersebar dalam mobilitas kepemimpinan seorang panglima yang konon
didukung oleh kemampuan spiritual dan hewan kendaraan (harimau) yang juga setia
mendampingi Sultan bergerak dari satu front ke front lain.
Menghadapi ketidakmampuan operasi
militer belanda lewat patroli yang sering diserang dengan tiba-tiba atau adanya
aral rintang di permukaan sungai, anak-anak sungai DAS, pihak belanda selalu
mengupayakan mengadakan perundingan. Sultan dengan teguh hati tetap menolak
upaya Belanda tersebut. Sultan tidak mau berunding dan menyatakan: “Saya
tidak mau berunding dengan Belanda. Apabila saya berunding (tatap muka) dengan
mereka, hilanglah amal saya selama 40 hari “.
Pada tahun 1894, Sultan Thaha
akhirnya mengizinkan Pangeran Ratu mengadakan pertemuan dengan Roodt Van
Oldenber Nepelt di Muaro Ketalo. Sultan mengikuti perundingan dari kamar
sebelah ruang pertemuan. Perundingan tersebut gagal, karena Belanda tetap menghendaki
kesultanan Jambi berada dibawah kekuasaan Belanda. Sebaliknya Sultan tetap pada
pendiriannya, bahwa urusan Kesultanan Jambi sepenuhnya tidak dapat dicampuri
Belanda.
Gagalnya perundingan tersebut,
Belanda tetap berupaya menangkap Sultan. Untuk itu penguasa Belanda dengan
gencar mengadakan patroli dan menambah personil untuk menggempur pusat
pertahanan Sultan di Muaro Tembesi. Sebelum tindakan militer,
Belanda mengirim kepala staf angkatan perangnya G.W. Beeger ke Jambi
untuk mengkoordinasikan data intelijen dan informasi yang mendukung operasi
militer besar-besaran. Peta-peta topografi disempurnakan, terutama mengenai
sungai, jalan-jalan tikus antar dusun di daerah Jambi, maupun jalan kecil yang
menghubungi Rawas dengan Jambi. Data dan informasi tersebut segera diolah,
karena Belanda mendapat informasi yang cukup merisaukan, yaitu adanya
penyelundupan senjata api repeater sampai 1500 buah. Pada 4 September 1890
kembali tim intel Belanda dikirim ke sekitar Muaro Tembesi untuk mengamati dan
membuat perhitungan strategis militer menyusul adanya informasi pedagang dari
Sumatera Barat yang diharuskan membayar cukai di Sungai Aro.
Awal November 1900, kapal-kapal
penyelidik bersenjata sudah dekat Muaro Tembesi, tapi show of force itu tidak dilanjutkan, karena Belanda masih tetap
berupaya mengadakan perundingan. Selain itu pihak Belanda sedang merampungkan
program pembangunan jalan darat dari Jambi ke Muaro Tembesi sebagai sarana
pendukung mobilisasi pasukan infantri dan peralatan serta perbekalan perang. Alur-alur
sungai pun semakin disempurnakan untuk pengerahan kapal-kapal perangnya dari
Jambi.
Kapal-kapal penyelidik belanda yang
berlayar sampai hulu Batanghari (Teluk Kayu Putih) tidak mendapat gangguan.
Sikap penduduk pun cukup bersahabat, tidak memusuhi Belanda. Rupanya sikap itu
sesuai perintah Sultan Thaha agar Belanda tidak mencurigai adanya pos-pos
pertahanan pasukan Sultan.
Sultan menilai gangguan terhadap
kapal penyelidik tersebut akan berdampak pada mobilisasi pasukan yang lebih
besar, sementara itu Sultan sendiri sedang menghimpun kekuatan dan persiapan
kemungkinan serangan besar-besaran ke Muaro Tembesi.
Pada 21 Maret 1901 pasukan Belanda
dari Palembang tiba dan membangun benteng di Muaro Tembesi tanpa ada bentrokan
dengan pasukan Sultan atau Pangeran Diponegoro. Kendati pendudukan Belanda di
Muaro Tembesi berlangsung cepat, tapi Belanda tidak berhasil mendapatkan
informasi tentang keberadaan Sultan dan pasukannya. Para kepala dusun atau
rakyat yang dipanggil ambtenar
Belanda tetap bersahabat tapi tetap membungkam.
Pencarian terus dilakukan atas dasar
laporan Christian tertanggal 20 Februari 1901, bahwa Sultan Thaha berada di
Pematang Dipo di Parunusan yang terletak di tepian sungai Tabir. Sungai itu
ditebari batang-batang kayu sehingga kapal kecil pun tak dapat melayarinya.
Laporan lain, kepada komando angkatan darat menginformasikan posisi penting
jalan setapak antara Parunusan ke Pematang yang harus dikuasai untuk masuk ke
tempat berkumpulnya para pembesar Kesultanan. Patroli harus sering dilakukan
untuk mengganggu konsentrasi Sultan. Dalam laporan tertanggal 12 Juni
1901 disarankan untuk bertindak tegas terhadap Sultan dan menutup Muaro Tabir.
Operasi penangkapan terus dijalankan dengan pengerahan pasukan bersenjata atau
setidak-tidaknya mendorong Sultan keluar dari persembunyiannya.
Suasana yang dianggap tenang oleh
Belanda dalam pendudukan di Muaro Tembesi, ternyata terganggu oleh penyerangan
kedudukan kontroler di Sarolangun pada 30 Mei 1901. Pada 6 Juni 1901 beberapa
pos di tepi sungai Batanghari juga diserang. Lampu-lampu di seberang Muaro
Tembesi berhasil dilenyapkan oleh pasukan Sultan pada 11 Juli 1901 dan pada 27
Juli 1901 pasukan patrol Belanda ditembaki dengan gencar oleh pasukan Sultan.
Pada 13 Juli 1901 pasukan Belanda yang sedang berpatroli di Singkut ditembaki
sehingga satu orang juru tembak Belanda tews dan dua orang lainnya menderita
luka.
Serangan-serangan di Singkut
tersebut mendorong Belanda menambah kekuatan pasukan Ambon dari Batalyon
Garnizun Magelang. Perlawanan semakin seru walau akhirnya pasukan
Sultan meninggalkan Singkut dan tidak seorang pun yang menyerah.
Benteng-benteng perlawanan, seperti Tanjung Limbur, Limbur, Merangin, Pelayangan, Sekancing, Limbur Tembesi,
Datuk Nan Tigo, Kuto Rayo, Sungai Manau, Sungai Alai, dan Muaro Siau
berturut-turut berhasil diduduki pasukan Belanda. Walaupun demikian
Sultan Thaha dan pasukannya masih tetap melakukan serangan-serangan bergerilya.
Belanda akhirnya menggerakan
pasukan-pasukan yang ada di Bayung Lincir, Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi,
Sijunjung, Tebo, dan Jambi untuk melakukan serangan serentak ke wilayah Tabir
setelah didapat kepastian posisi Sultan berada disana.
Tampaknya strategi penyempitan
wilayah pertahanan dan perlawanan Sultan yang dilakukan Belanda cukup efektif
menjerat posisi Sultan Thaha. Rupanya anti gerilya belanda memutus komunikasi
Sultan, Belanda menerapkan serangan ovensif agresif dengan dukungan personil
yang banyak dan persenjataan yang kuat. Personil intel yang fleksibel dan
akurat prajurit pribumi dan isyarat seorang Demang yang dipaksa Belanda membuka
rahasia keberadaan Sultan Thaha..
Pasukan infantri yang dipimpin
Letnan G.Badings menyelusuri Sungai Tabir menuju Bangko Pintas pada 23 April
1904. Juga dari penapalan, Remaji, dan Muaro Sunga Api (Rantau Api) bergerak
pasukan infantr pada 25 April 1904. Semua pasukan tersebut serentak maju ke
Betung Bedaro. Situasi tersebut disadari Sultan yang pada saat itu berada di
Rumah Besak Pematang Tanah Garo. Malam itu tanggal 26 April 1904 Sultan
berpesan pada Hulubalang “Menurut gerak perasaan saya kemungkinan besar malam
ini akan terjadi pertempuran. Kalau itu terjadi musuh tidak akan dapat
menyentuh badan saya hidup-hidup, karena saya tidak rela kulit saya disentuh
oleh musuh dan ditawan adalah pantang besar bagi saya”. Malam itu terbukti
tekad perjuangan Sultan Thaha yang berjuang sampai titik darah penghabisan ke
bumi persada ibu pertiwi. Seiring munculnya mentari di ufuk timur pada 27 April
1904, Sultan Thaha gugur dalam kancah desingan peluru Belanda dengan pedang
masih tergenggam di tangan. Benarlah tak ada kata menyerah bagi sang panglima.
Sebagai seorang Panglima, Sultan
Thaha Saifuddin memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau
berunding dengan pihak Belanda. Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan
dengan Belanda pada intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap
kedaulatan kesultanan Jambi.
Untuk menghadapi siasat licik
Belanda melalui perjanjian yang dipaksakan, Sultan melancarkan perlawanan
gerilya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya di bawah pimpinan hulubalangnya
dalam tiga front. Selain itu, sikap tidak mau bertemu Belanda semakin memoles
sikap politik Sultan dalam menggelorakan semangat perjuanggannya yang
belakangan menimbulkan keraguan atas wafatnya Sultan di medan laga Betung
Bedaro.
Strategi gerilya Sultan dalam format
modern ternyata mendapatkan prlawanan anti gerilya yang cukup ampuh menekan dan
mempersempit posisi Sultan yang ditutup dengan serangan frontal ovensif
berkekuatan besar. Walapunu kemudian Belanda meyakini
perang dengan Sultan adalah perang tanpa perdamaian.
Pada saat terakhir ada upaya perlindungan terhadap Sultan yang dilakukan
oleh Pangeran Ratu Martadiningrat pada bulan Desember 1903. Pangeran Ratu
kembali ke Jambi dan menyerahkan keris kepangeranan Ratunya “Singamarjayo”
kepada Residen Palembang. Tindakan ini dilakukan karena usia Sultan sudah
lanjut (87 tahun dan selama 46 tahun dari umurnya dalam perjuangan). Menurut Belanda bersama
penyerahan keris Singamarjayo, Pangeran Ratu juga menyerahkan keris “Siginje”
sebagai perlambang kekuasaan Kesultanan.
Alur cerita ini seperti pertanda takdir berakhirnya perlawanan Sultan.
Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap dirinya dari Pangeran Ratu
Martadiningrat, sedangkan Belanda
menyikapi langkah itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun
Sultan Thaha akan tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai
Sultan. Oleh karena itu Belanda tetap
melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tidak menyerah sampai titik darah
penghabisan.
Nilai kejuangan Sultan ini tetap relevan bagi kita dalam pembangunan daerah
di segala bidang, yaitu tanpa kenal menyerah terhadap berbagai kendala dan
keterbatasan. Sistem zoning dalam
perkuatan sumber daya merupakan salah satu perkuatan di dalam kita menyikapi
wilayah kerja yang terlalu luas. Manajerial dan skill Sultan patut menjadi pegangan dalam penanganan wilayah (bpx).